Ada suatu negara, di mana gedung-gedung pencakar langit sudah menjangkau atmosfir bumi. Dimana kilau bintang-bintang dikalahkan oleh gemerlap batu permata.
Di sini, matahari tidak terlihat lagi. Dan aurora buatan mengelilingi sebuah galeri terbesar di negara Amethyst.
"Welcome to LOA Fair, malam ini kita akan mengapresiasi jewelry dalam perayaan Luxury Of Amethyst Fair. Para hadirin sekalian..." Suara merdu dan datar Kevin Revano memenuhi sebuah aula berdesain elegan tampak menyapa para tamu undangan yang mulai berdatangan. Lampu remang klasik berpendar menambah citra berkelas acara pada malam ini.
Semua perhiasan telah tertata di gallery dan runaway, dimana para supermodel akan memamerkan perhiasan yang dikenakannya juga telah selesai dipersiapkan.
***
Shifani duduk di depan meja rias dengan kedua mata tertutup. Riasan dan rambutnya telah selesai, tinggal menunggu waktunya untuk tampil di atas runaway bersama para model lainnya.
"masih ada dua puluh menit sebelum kamu keluar. Istirahat saja dulu. Ada air mineral dan sandwich vegetarian di meja. Kamu bisa memakannya nanti. Aku letakkan di meja."
"ok."
Callie duduk disampingnya sambil melihat layar ponsel untuk memeriksa pekerjaannya. Tiba-tiba segerombol pria berjas hitam memasuki ruang rias. Beberapa supermodel yang berada di ruangan itu serentak berdiri. Callie mendongakkan kepalanya dan memegang bahu Shifani tanpa menatapnya.
"Shifani, buka matamu."
Gadis itu membuka mata, dan melihat bayangan pria-pria itu dari dalam cermin.
"Shifani," salah seorang pria menyebutkan namanya.
Callie berdiri,
"Apa yang kalian inginkan?"
"Tuan muda kami ingin bertemu dengan nona Shifani."
"Shifani tidak membuka jumpa fans saat ini. Juga sebentar lagi dia harus tampil di runaway."
Pria yang berbicara tadi melepas kacamata hitamnya, ia berjalan mendekati manager itu.
"Ada perbedaan tipis antara berani dan bodoh. Sebaiknya anda tidak mencoba menghalangi tugas kami sekarang." Tatap pria itu tajam. Callie balas menatapnya.
"Bos, mereka memakai baju dan gaya rambut yang sama. Kita harus membawa Shifani yang mana?"
Semua orang menoleh ke asal suara. Pernyataan macam apa itu?
Pria yang dipanggil bos itu memejamkan mata kesal. Kenapa Radley memberikannya pasukan seperti ini. Baru saja ia memperingatkan gadis dihadapannya untuk diam dan sekarang anak buahnya sendiri yang tidak punya otak. Ia menatap tajam anak buahnya.
"bagaimana kalian mencari seseorang dalam keadaan tidak siap? Mafia amatir." Callie kembali bersuara.
"Siapa yang kau panggil amatir?" suaranya meninggi.
"Kalian berisik sekali. Di mana tuan mudamu?" Shifani beranjak dari tempat duduk. Semua beralih melihatnya.
"Shifani..." Callie terlihat khawatir. Shifani tersenyum dihadapan managernya. "Tenang saja. Aku hanya ingin tahu, tuan muda manja manalagi yang ingin bermain hari ini."
"Shifani tidak bisa pergi." Gadis yang tak memiliki jarak usia begitu jauh dengan model itu memegang lengan Shifani erat.
"Callie," sahutnya lembut. Ia melepaskan tangan Callie dengan perlahan.
"Aku akan ikut."
"Bukankah kekhawatiran mu itu berlebihan nona Callie?"
"Jangan sebut namaku!" tunjuk manager di depan wajah bos itu."
Wow...
"Hentikan, Callie. Aku bukan anak kecil yang harus kamu lindungi." Shifani melihat bos dihadapan mereka.
"Tunjukan aku jalannya."
*
Mereka berjalan melewati lorong panjang,
"Siapa namamu?" Shifani angkat bicara.
"Ricky."
"sapa pekerjaan kamu?"
"Seorang pengawal."
"Siapa bosmu?"
Pria itu diam sejenak, "anda akan tahu saat bertemu dengannya."
Shifani menoleh Ricky. Pria itu tak bergeming dan terus memandu jalan. Para anak buah berjalan di belakang mereka.
Mereka sampai,
Tok tok tok, Ricky mengetuk pintu di ujung lorong. Shifani mulai mengerti dia sedang berurusan dengan orang yang tidak biasa.
Tidak lama kemudian pintu terbuka, Shifani mulai memasuki ruang VVIP tersebut. Ia melihat sekeliling ruangan. Sesosok pria tinggi berdiri menghadap kaca jendela besar yang mengarah ke pemandangan kota, sedang menerima panggilan telpon. Di sofa ruangan seorang pria sedang sibuk dengan laptop dan berkas-berkas di meja.
Tiba-tiba pria kaca itu berbalik mengulurkan tangannya ke belakang, "Isfan,"
Entah telepati semacam apa yang mereka miliki, pria yang duduk di sofa itu menyerahkan sebuah berkas kepadanya. Pria kaca itu mulai menahan ponselnya dengan bahu dan telinganya sambil membuka berkas dan mulai berbicara kembali.
Siapa yang ada di telpon itu?
Muncul pertanyaan aneh. Ia tahu tidak perlu ada jawaban dari itu. Shifani menahan napas, ia mulai melangkah melihat suasana ruangan meski tidak terlalu menjauh dengan pintu masuk. Ia mulai mengagumi bunga Arum lily di dalam vas kaca besar di sudut ruangan. Di bawah lukisan besar, ia tidak tahu siapa yang melukisnya dan ia tidak ingin tahu. Shifani hanya tahu...pria kaca itu tidak asing baginya. Setidaknya saat dua puluh tahun yang lalu...
.
.
.
"Dia bilang dia akan datang, Callie. Dia tidak akan mengabaikan ku, dia akan datang menjemputku..."
"aku tidak akan membiarkan dia membawamu."
"Dia orang baik, Callie. Tenanglah..."
"Baiklah. Tapi aku harus melihatnya terlebih dahulu."
.
.
.
Shifani tersenyum kecil.
"Maaf, membuatmu menunggu." Suara rendah yang khas dari seorang pria membuatnya berbalik. Pria itu berjalan ke arahnya. Ia mengangkat sebelah tangan, dengan begitu para pengawal keluar dari ruangan. Kecuali pria bernama Isfan yang telah berdiri di sudut kaca jendela.
"Maaf mengundangmu dengan cara seperti ini, Saya Radley." Dia mengulurkan tangannya.
Shifani hanya menatapnya dingin.
"Saya harus tampil sebentar lagi."
Suara dingin Shifani seakan merayap di lengan Radley. Ia kesulitan untuk menurunkan lengan yang hendak menyapa gadis itu. Gadis kecil yang kini telah tumbuh dewasa.
Mereka saling bertatap.
Radley menyadari bahwa ia harus memulai dari awal lagi. Ia harus bersabar sampai akhirnya udara di antara mereka menjadi lebih santai. Ia menyadari kecanggungan yang melubangi rongga dadanya, membuatnya kesulitan bernapas.
"Ricky akan mengantarmu ke dalam galeri tepat waktu."
Shifani tersenyum kecut, "ya, dan aku harus berjalan panjang menuju galeri." Gadis itu kembali mengelilingi ruangan.
Radley menghela napas pendek, ia mengikuti Shifani.
"Saya minta maaf. Saya adalah penggemar anda dan terlalu antusias untuk bertemu sehingga tidak memperhatikan waktu. Hanya ingin secepatnya bertemu begitu mendengar berita tentang mu."
Shifani tersenyum, walau tentu saja Radley yang ada di belakangnya tidak mengetahui itu. Ia pandai dalam membuat orang disekitarnya menjadi gelisah dan bertanya-tanya apa yang sedang ia pikirkan.
"Kamu penggemarku?" Shifani berhenti tersenyum dan berbalik. Mereka kembali bertatap.
Radle mengangguk.
"Bagaimana aku mempercayaimu? Kamu bukan satu-satunya orang yang mengatakan hal itu."
"Bagaimana aku membuktikannya?" pandangan Radley beralih pada liontin kecil di lehernya, berbentuk hexagon berwarna hijau emerald yang melambangkan keanggunan. Elegency of Emerald.
"Apa yang paling aku sukai?"
"Liontin yang kamu kenakan, kamu tidak pernah melepaskannya meski dalam busana dan perhiasan apapun. Tidak ada yang berani melepaskannya darimu."
Sontak Shifani memegang erat liontinnya. Jantungnya mulai berdegup sangat kencang.
Dia...
...
"Aku akan kembali. Kalau kamu lupa aku akan mengingatkanmu kembali."
.
"Pakai ini. Liontin ini akan menghubungkan mu denganku. Aku akan langsung mengenali kamu."
...
Dia memiliki mata biru yang sangat jernih. Tidak ada noda disana. Dia menepatinya. Dia yang bisa melepaskan semua belenggu yang mengikatnya. Dia mata air yang melepaskan seluruh dahaga.
Apa yang membuatmu begitu lama?
***
Peragaan di mulai. Seluruh galeri menjadi sangat berkilau akan banyaknya cahaya yang terbiaskan permata.
Shifani mulai berjalan dengan anggunnya di runaway. Semua tamu undangan tahu siapa wanita cantik itu. Semua orang terpukau olehnya.
Sejujurnya, jantung Shifani belum sepenuhnya pulih. Ia hampir tidak menyadari bagaimana ia sampai di galeri. Pikirannya terus tertuju pada Radley. Pangeran berjas eboni dengan mata birunya. Ia semakin terpesona.
Ia memutar tubuhnya, menampilkan pose andalan yang membuat semua orang terpukau. Permata di rambut hitam panjangnya berkilauan. Ia mendengar semua tepuk tangan semua yang hadir. Ia mendengarnya walau tidak sejelas detak jantungnya.
Apa yang membuatmu begitu gelisah?
Sedangkan kamu telah hidup baik-baik saja tanpanya selama ini
Apa yang membuatmu ketakutan
Sedangkan kamu telah menjadi pemberani di muka bumi
Aku ingin menemuinya...
Karena aku mulai merindukannya lagi...
***
Brakkkkkkk
"Hisss," Radley meringis kesakitan. Ia mengibaskan tangannya yang terkena sebatan pisau. Ia menatap tajam pria yang tersungkur dihadapannya.
Tak lama Ricky sampai. Di gang kecil belakang galeri.
"Tuan muda..."
Radley mengangkat sebelah tangannya. Mengisyaratkan nya untuk diam. Ricky menunduk.
"Arkana?" Radley bertanya dengan suara rendah dan dingin.
"Hahahaha..."Pria yang sudah terluka parah itu tertawa. Tangan Radley mengepal erat. Darah segar mengucur dari genggaman tangan kanannya.
"Kau terlalu banyak musuh hingga harus bertanya siapa yang menyerangmu... uhuk..uhk?" pria itu tersedak. Radley menyeringai dan mendekat, membuat orang yang sudah terluka parah itu bergidik.
Yankkk...sebelah tangan Radley menjambak rambut pria itu hingga wajahnya menengadah ke atas. "aku terlalu banyak musuh, hingga bisa menghilangkanmu tanpa jejak dengan mudah. Bukan hanya dirimu, tapi seluruh keluargamu..."
Pria itu terkejut hingga menoleh ke arah Radley. Kini tampak jelas wajah tampan dan halus orang yang ia coba habisi tadi berubah menjadi beringas.
"Ini...hanya antara ki...t"
Tangan Radley satunya mencekik leher pria itu. "aghk..."
"kau tidak tahu, pertarungan tidak bisa dimenangkan oleh satu orang. Setiap perbuatan memiliki karma. Mereka keluargamu, tentu mereka bersedia mendapat balasan dari perbuatanmu."
"akhh, uhuk..."
Radley melepaskan cekikannya, Ia berdiri dan berbalik. Pria itu merangkul sebelah kaki Radley, dia mulai menangis.
"Kau tidak bisa seperti ini, lepaskan mereka. Bunuh aku saja..." ratapnya diantara tangisan.
Radley menendang tubuh pria itu hingga terpental menghantam tembok. "Ricky, bereskan dia."
"Baik, Tuan muda."
"Radley kau tidak bisa melakukan iniiiii..!!!." pria itu meronta-ronta, mencoba lepas dari kuncian lengan Ricky. "Lepaskan akuuuu,...Fidaaaa, Saniaaaa..uhkkkk akhhhhh!!!."
Ssskkk
Radley berbelok ke sisi lain gang. Ia mencoba memampatkan luka di telapak tangannya dengan sapu tangan. Ia meringis kesakitan. Tiba-tiba langkahnya berhenti. Radley melihat kembali ke sisi gang lalu berdecak kesal. Pengawal amatiran itu...
***
Kita tahu dalam dunia dongeng, bahwa pangeran yang tampan dan baik hati adalah pahlawan. Dia memiliki kuda putih dan jubah yang panjang dengan permata dan rantai emas yang mengait di depannya. Pangeran impian setiap putri.
.
Tatapannya menggangguku. Mata yang membuatku merasa bersalah.
Radley merogoh saku belakangnya, dengan tangan penuh darah ia mengarahkan pistol ke arah kepala wanita yang berdiri dihadapannya.
"Kau melihat semuanya?"
Wanita itu mengangguk,
Lengan Radley lurus dihadapan wanita itu. Ia melihat pupil mata wanita itu bergerak. Dia ketakutan. Tentu saja. Tapi dia tidak bergeming dan terus menatap Radley.
"Kau percaya aku bisa membunuhmu sekarang juga?"
Wanita itu tidak menjawab.
"Aku akan memberimu kesempatan. Kau mau uang? Aset?Kau bisa hidup tenang kembali jika kau melupakan apa yang terjadi malam ini"
Wanita itu hanya terus memandangi mata Radley. Pria itu menjadi gelisah...
"Katakan sesuatu, kau mengangguk tadi itu artinya kau bisa mendengar. Heiiiii...!!!!!." Radley menurunkan pistolnya dengan kasar. Sial. Kenapa dia terus menatapku.
Tak lama Ricky muncul dari gang sebelumnya. Radley menoleh.
"Anda bisa membunuhnya, tuan muda." Ricky membersihkan jasnya yang kotor oleh debu. Radley mengangkat alis.
"Kau mengenalnya?"
"Huh...aku tidak ingin mengenalnya. Dia manager Shifani. Dia terlalu banyak bicara dan mengesalkan."
Radley kembali melihat wanita itu. "Kupikir dia bisu, dia tidak menjawab pertanyaanku dari tadi."
"Ckk,,,dia sedang mengalami syok sampai ketakutan untuk berbicara..."
"Hmm," Radley memasukkan pistolnya kembali. "Sepertinya kau lebih familiar dengannya. Urus dia! Aku akan kembali ke hotel."
Radley meregangkan otot lengannya lalu berjalan meninggalkan tempat itu.
Ricky menyeringai. "Kau melihat ke arah mana? Lihat kemari kita masih memiliki urusan yang perlu didiskusikan, Callie."