Shifani terbangun dari tidurnya. Matanya menatap ke sekeliling. Tirai mahal, lampu-lampu dan ornamen mewah,
"Huh..." Shifani terperanjat. Ia terduduk di tempat tidur.
Tak lama pintu ruangan terbuka, dua orang pelayan hotel masuk ke dalam ruangan disusul pria berjas hitam.
"Anda sudah bangun?" tanya pria itu. Ia memberi isyarat kepada pelayan untuk melakukan tugas mereka.
"Mereka berdua akan mencukupi kebutuhan anda selama ada disini, sarapan sudah siap. Anda bisa mandi terlebih dahulu, mereka akan membantu anda untuk mandi."
"Tidak, aku lebih memilih mandi sendiri,"
"Baiklah,"
Salah satu pelayan meletakkan sarapan di meja.
"Kau, siapa namamu?" tanya Shifani.
"Saya Isfan, anda bisa mengatakan apapun yang anda butuhkan."
Shifani menganggukkan kepala. "Dimana tuan muda?"
"Dia memiliki meeting di ruangan sebelah."
"Kapan dia selesai?"
"Tiga puluh menit lagi."
Shifani tersenyum menyeringai, ia turun dari tempat tidur dan berjalan ke pintu. Isfan menghalanginya, wanita itu menoleh ke arah Isfan dengan reaksi tidak suka.
"Apa yang kau lakukan?"
"Sebaiknya anda mengganti piyama dengan pakaian yang kami sediakan terlebih dahulu." Pria itu terus menunduk.
"Beraninya kamu mengaturku, minggir!" Shifani mendorong Isfan. Tidak cukup untuk merobohkan Isfan, tapi cukup untuk membuat jalan bagi Shifani.
Pukul satu tadi malam Radley mengajak Shifani pindah dari hotel ke villa di pinggiran negara Amethyst.
Shifani tidak merasakan ketegangan saat kepindahan karena ia tertidur dipelukan Radley.
Wanita itu berkeliling ruangan dalam villa, ia tidak pernah melihat ruangan dengan dekorasi seunik ini. Kemudian ia membelokkan langkah ke lorong lain. Terdapat sebuah pigura foto besar tertempel di dinding lorong. Foto seorang pria berjas diakhir tiga puluhan tahun dan wanita yang tampak elegan gaun berpayetkan permata.
Shifani terpesona melihat wanita secantik itu.
Lalu terdengar suara orang berbicara, Shifani mengalihkan pandangan dan mencari asal suara. Ia membuka sebuah pintu dan melihat Radley sedang berbincang dengan seseorang di layar laptop. Dia sedang berada dalam meeting? Shifani tersenyum licik, Ia mengendap-endap masuk ke dalam ruangan itu. Ia melambaikan tangan yang membuat Radley mengangkat kepalanya.
Tampak dengan jelas wajah Radley terkejut. Ia kembali melihat ke layar laptop.
"Maaf, ada sesuatu yang mendesak. Saya akan menghubungi anda kembali." Ia menutup layar laptop nya.
"Apa yang kamu lakukan disini? Kamu tidak bertemu Isfan?"
Shifani berhambur memeluknya. "Kamu yakin ingin meninggalkanku dengan pelayan itu?"
Radley terdiam,
"Kamu tidak menjawab ku?" ulang Shifani.
"Shifani, Isfan adalah adikku."
"Tapi dia bekerja untukmu jadi..."
"Dia tetap adikku. Dia sudah sangat membantuku melewati masa-masa yang sulit."
"Baiklah, baiklah. Aku hanya bercanda."
Radley melepas pelukan Shifani.
"Kamu bersiaplah, lalu kita akan sarapan bersama." Kata Radley.
"Kamu akan membantuku bersiap?" tanya Shifani manja, ia mendekatkan bibirnya pada tengkuk Radley. Pria itu menjauh dari gadis itu. Ia menyangga kedua tangannya di meja. Shifani sedikit terkejut.
"Are, kamu...apa kepalamu pusing lagi?"
"Pelayan!" teriak Radley. Dua orang pelayan memasuki ruangan itu. "Bantu nona untuk bersiap!"
"Baik tuan,"
"Shifani, aku sedikit pusing. Aku ingin istirahat sejenak. Kita akan bertemu saat sarapan."
"Ok, istirahatlah..."
Mereka menuntun Shifani keluar. Shifani menurut walau sesuatu mengganjal dalam hatinya.
***
"Mereka masih mencoba mencariku?"
"Ya. Orang-orang dari tuan Chaiden masih berada di luaran sana." Isfan memberi laporan.
Radley menghela nafas dengan berat. "Asalkan mereka tidak sampai di tempat ini."
"Tuan, mereka telah mengetahui informasi tentang nona Shifani."
Radley berbalik menghadap jendela kaca besar sambil melonggarkan ikatan dasi di lehernya.
"Kau benar, Amethyst sudah tidak aman lagi baginya."
"Tuan, anda juga harus istirahat. Anda tidak tidur semalaman!" Isfan memberanikan diri. Ia yang paling tahu bahwa tadi malam Radley memberikan obat tidur di minuman Shifani. Dan ia bersama Ricky menjaga mobil mereka agar selamat sampai villa. Pukul empat dini hari mereka baru sampai di villa kemudian Ricky langsung bergegas membantu anak buahnya.
Radley menggeleng. "majukan semua meeting hari ini, dan pastikan lusa kita bisa kembali ke Emerald. Kita tidak bisa meninggalkan istana terlalu lama."
"Tidak tuan muda, itu bisa..."
"Yang lainnya tidak penting, Isfan! Kita harus menyelesaikan kerjasama secepatnya atau Chaiden yang lebih cepat menyerangku. Aku tidak bisa membiarkan mereka menyakiti orang-orang ku lagi. Kita harus secepatnya kembali ke istana," Radley menerawang. Ia tidak tahu bahwa urusan pribadinya bisa menjadi peluang bagi musuhnya. Hanya demi menemukan cinta masa kecilnya, lebih dari belasan pasukan terluka parah. Apa yang harus ia lakukan agar orang-orang yang dicintainya tetap aman? Semahal inikah yang harus ia membayar untuk memperoleh kehidupan normal? Tidak, bahkan berdua dengan Shifani pun ia harus waspada agar tidak menyinggung hati wanita itu.
Brakkkkkkk,
Radley dan Isfan menoleh ke pintu ruangan. Seorang pelayan masuk dengan wajah cemas,
"Tuan muda, Nona Shifan....."
***
"Callie, seseorang mencarimu di lobi!" Callie yang sedang berada di perusahaan agensi menoleh.
"Siapa?"
"Seorang pria tampan?" ujar rekan kerjanya antusias, "apa kamu diam-diam berkencan?"
"Jangan bicara omong kosong," Callie berjalan menuju lobi. Ia melihat Ricky sedang duduk di sofa lobi dengan satu kaki diangkat. Wajahnya tampak tanpa beban. Callie melanjutkan langkah mendekatinya. Ia melipat kedua tangannya kedepan.
"Apa yang kamu inginkan?"
Ricky menoleh ke atas dan tersenyum ketika mengenali wajah wanita dihadapannya. Ia berdiri.
"Kau bisa tersenyum saat melihatku, aku tidak melarangmu."
"Aku tidak ingin melihatmu."
Wajah Ricky berubah muram, ia mendekatkan bibirnya pada telinga gadis itu,
"Tapi aku ingin melihatmu." Bisiknya setengah menggoda. Jantung Callie berdetak cepat. Ia menjauhkan diri, wajahnya bersemu merah.
Ponsel Ricky berdering membuyarkan mood mereka berdua. Ricky berbalik dan menerima panggilan telpon.
"Apalagi yang kau inginkan? Aku sedang..."
"Butuh berapa lama lagi kau mengurus kontrak Shifani? Pasukan gagak hitam sampai di villa....bantu kami setelah kau selesai!"
"Sial!!?" Ricky hampir melempar ponselnya ke lantai. Ia berbalik yang disambut pandangan heran Callie. "Kau harus membantuku. Batalkan semua kontrak kerja Shifani mulai detik ini. Hitung semua pinaltinya dan beritahukan padaku. Aku akan membayarnya. Dimana ruangan mu?" Ricky berjalan mendahului Callie menuju asal kedatangan wanita itu. Callie mengejarnya.
"Kau sudah gila? Setidaknya jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?"
"Modelmu akan mati tepat setelah aku menjelaskan padamu." Ricky kebingungan melihat keseluruh lorong. Jantung Shifani berdenyut nyeri mendengar kata-kata Ricky. Wajahnya memerah padam, kali ini ia menjadi marah.
"Kalian mafia amatiran, kau ikut aku dan jangan coba pergi tanpa membawaku!" Callie menggandeng tangan Ricky dan memandu jalan mereka. Ricky melihat Callie tak percaya.
.
.
Dunia dimana kalian tinggali mungkin lebih besar dari duniaku, tapi bukan berarti disana lebih aman...
.
.
Ia menatap genggaman tangan Callie. Jantungnya berdegup kencang, mungkinkah karena ia sedang berada dalam misi? Ah, ia tidak merasakan sesak seperti misi-misi sebelumnya. Jantung nya hanya berdegup lebih cepat, itu saja.
***
Ciiiiittttttt, brummmmmm.
Radley sudah merasa aneh sejak ia membiarkan emosi mengendalikan keputusannya. Keadaan menjadi lebih buruk. Kini ia sedang mengejar mobil yang membawa Shifani pergi dari villa. Tidak seharusnya ia meninggalkan Shifani dalam keadaan seperti ini.
.
.
"Bagaimana bisa seseorang menyelinap ke dalam villa??? Apa perintah ku tidak cukup jelas? Bunuh semua penyusup yang berani masuk ke dalam villa!"
Semua pengawal dan pelayan tertunduk ketakutan di hadapan Radley yang mulai kehilangan kendali atas kemarahannya.
Tangan Isfan menjulur meremas bahu Radley, Radley menoleh dengan beringas.
"Kakak,"
Mata mereka bertemu dan perlahan api di mata Radley berangsur redam.
"Mereka belum jauh, kita masih bisa mengejar."
.
.
KreEEsss, brakkk
Semakin banyak mobil yang mengejar mobil hitam yang membawa Shifani. Segala hiruk pikuk lalu lintas membangunkan Shifani dari pingsan. Ia melihat ke sekeliling dan dua orang berjas hitam duduk dikedua sisinya dan dua orang lagi di kursi depan mobil.
"Aaaaaaaaaaaaaaa, siapa kalian?" Shifani menjerit.
"Kau sebaiknya diam!" bentak salah seorang dari mereka. Shifani tersentak, ia melihat ke belakang kaca, beberapa mobil mengejar mereka. Ia melihat ke salah satu mobil.
"Areeeeeeee!!!"
"Lakukan sesuatu, telingaku sudah hampir tuli." Kata si pengemudi. Pria di sisi kanan Shifani membekap mulutnya. Shifani memberontak.
"Cepat keluar dari kekacauan ini!" ujar yang lain.
"Kau pikir aku tidak berusaha?" si pengemudi kesal.
Dua mobil berhasil menjajari kedua sisi mobil hitam. Empat orang itu semakin panik. Adu hantam bamper mobil tidak dapat dihindari. Suara gesekan yang membuat ngilu di dada berulang kali terjadi.
"Aku lebih memilih mati daripada jatuh di tangan malaikat kegelapan itu!"
"Hei jangan patah semangat dulu."
"Diamlah kalian!!!" si pengemudi bertambah panik.
Brakk, salah satu sisi mobil terhantam kembali.
Brummmmmm, pengemudi menambah kecepatan nya. Ia tidak lagi melihat speedometer, jantungnya juga seakan mendesak keluar dari tenggorokannya. Sttttt, mobil hitam itu berhasil melesat jauh meninggalkan dua mobil yang mengapitnya...
Mereka tertawa angkuh,
"Hahaha, hanya segitu saja kemampuan Elang hijau...."
Orang yang baru saja berbicara menoleh ke salah satu sisi simpang empat dan melihat sebuah truk besar menuju ke arah mereka, ia tidak sempat bereaksi dan....
Crashhhh
Brakkk, dummm
. . .
Semua aktivitas kendaraan dan orang yang berlalu lalang berhenti. Mobil pasukan elang hijau dan mobil putih yang Radley kendarai juga berhenti. Hening.
Ricky menghentikan laju mobilnya, ia melihat Callie yang tampak shock disampingnya selanjutnya melihat ke lokasi kejadian.
Radley keluar seorang diri dari mobil. Langkahnya pasti namun jika melihat raut wajahnya maka kita akan langsung tahu, ada yang hancur disana. Ia mendekati mobil hitam itu
Pranggg "Aghhh,"
Radley memecahkan kaca mobil dengan tangan kosong. Darah segar langsung mengucur deras di lengannya. Seperti tidak dirasakan, ia membuka pintu belakang dan mengeluarkan Shifani yang telah bersimbah darah dari dalam mobil. Beberapa orang mulai bergerak membantu dan menit selanjutnya mulai terdengar sirine polisi dan ambulance mendekati lokasi.
"Aku tidak percaya, apa dia semacam Hulk? Segala hal yang ia sentuh akan hancur. Aku sangat membencinya, dia orang terburuk yang ada di dunia ini. Aku tidak ingin melihat orang seperti dia."
"Hei kata-katamu sangat kejam..." Ricky menoleh dan mulai terdiam.
Ini pertama kalinya Ricky melihat air mata di pipi Callie. Wanita itu menampilkan ekspresi sangat terluka meski begitu ia masih menatap lurus lokasi kecelakaan. Satu pertanyaan konyol muncul dikepalanya.
Apakah rasa benci bisa membuatnya meneteskan air mata?
*
Callie berlari keluar dari mobil. Ia berlari kencang menuju lokasi kejadian,
"Singkirkan tangan kalian dari Shifani!" teriak Callie kepada orang-orang berjas hitam yang membawa tubuh Shifani yang bersimbah darah. Tentu saja tidak ada yang mendengarnya dengan posisi yang cukup jauh dari lokasi. Ia tidak memperhatikan Ricky yang sampai dibelakangnya dan memukul bagian belakang leher wanita itu. Tubuh Callie ambruk dipelukan Ricky.
Riiiiiiiing
"Ricky, kita akan kembali ke negara Emerald. Cepatlah!"
Ricky memandang gadis dipelukannya, "Masih ada yang perlu kulakukan. Aku akan berangkat nanti malam."
"Kau yakin bisa sendiri? Aku bisa mengirim beberapa orang untuk membantumu."
"Aku bisa sendiri. Tidak perlu mengkhawatirkanku." Ricky mengakhiri panggilan telponnya dan membopong tubuh Callie yang tidak sadarkan diri.
.
.
"Isfan, katakan padaku...banyak wanita cantik di negara Emerald, kenapa tuan muda harus jauh-jauh datang ke negara yang panas seperti ini?"
"Kau akan tahu ketika kau telah jatuh cinta seperti tuan muda Radley. Saat kau menemukannya jangan sampai melepaskanya."
.
.
.
Semburat sinar matahari berpendar dilangit senja. Kevin sampai dilokasi kecelakaan dengan motor sportnya. Suasana sore yang lengang di simpang empat ini sudah menjadi hal biasa di Amethyst. Kevin membuka helmnya. Tampak keringat dingin mengucur dipelipisnya, "di mana kalian, Callie...Shifani?"