Isfan berlarian di lobi hotel dan mengedarkan pandangan ke segala arah. Ia berhenti setelah menyadari nafasnya terengah-engah. ia mengambil ponsel dari balik jasnya.
Tuuuutt...kresssk
"Ricky" Isfan masih mengatur nafasnya.
"Isfan, kau kemana saja..."
"Dengarkan aku Ricky, Kalian harus tetap siaga. Jangan biarkan pasukanmu lengah! Pasukan gagak hitam sedang berada di hotel ini. Mereka mengawasi tuan muda..."
"Aku mengerti."
Isfan mengangguk. Ia mengakhiri panggilannya kemudian duduk di antara beberapa tamu hotel lainnya.
*
"Hantu tua itu," Ricky mendengus. Ia mengenakan earphone dan melihat sekeliling.
"Ya, bos?" sekarang Ricky telah terhubung dengan semua pasukannya.
"Elang hijau masuk. Gagak hitam memasuki sarang, ganti."
"Elang hijau masuk. Dimengerti. Siaga. Ganti!"
Pasukan yang Ricky komando telah menyebar di seluruh penjuru hotel. Mata yang setajam mata elang bagai pemangsa yang mengintai buruannya. Namun ada satu komando yang paling sulit dilakukan, yaitu bagaimana mereka tidak terlihat sedang bertugas di antara banyaknya orang di hotel itu. Mereka harus membaur dan tidak membuat pihak lawan merasa curiga.
Sementara di ruang kamar Radley,
"Apa kamu memiliki penyakit, bagaimana kamu bisa pingsan seperti ini?" Shifani berbaring dipelukan Radley, Ia merasa nyaman beralaskan dada bidang pria itu. Kedua tangannya mengelus punggung telapak tangan pria itu yang terpasang infus.
"Aku hanya kelelahan." Radley mengelus rambut wanita itu sambil sesekali mengecup puncak kepalanya. " kamu mengingatku?"
"Aku mengingatmu sejak awal kita bertemu. Aku hanya sangat marah. Aku pikir kita tidak bisa bertemu kembali."
"Sangat sulit mencarimu...apalagi setelah kabar kebakaran di panti asuhan tempat kita bersama dulu. Aku pikir kamu..." mata Radley berkaca-kaca.
"Suuuuut," Shifani menempelkan telunjuknya di bibir Radley, "aku disini,"
Radley mempererat pelukannya. Ia merasa bisa bersantai sekarang. Ia menutup kedua matanya.
"Aku menunggumu sangat lama, Are..." Shifani mengelus liontin yang ada di lehernya. "Aku ingin selalu bersamamu seperti ini."
"Kita akan selalu bersama, aku bisa melindungimu sekarang..."
"Kamu berjanji?"
"Aku berjanji,"
Shifani tersenyum. Dia ikut memejamkan mata.
"Biarkan kita tetap dalam posisi ini sampai cairan infusnya habis."
"Aku setuju."
.
.
.
15 tahun yang lalu
"Calista, nyonya dan tuan Arya ingin mengadopsi mu. Kamu akan memiliki rumah baru dan keluarga baru." Kata ibu panti asuhan ramah.
"Kamu juga akan memiliki saudari. Kamu mau?"
Calista menggenggam erat liontin di lehernya. Nyonya dan tuan Arya saling berpandangan.
"Ah liontin itu pemberian sahabatnya." Ibu panti mengelus tangan Calista, "begini, Calista...meski kamu sudah tinggal bersama mereka kita akan terus berhubungan, kamu juga bisa sesekali mengunjungi kami disini."
"Betul nak...kami akan mengantarmu kemari kapanpun kamu mau." Tambah tuan Arya.
Klak...Kreekk,
Seorang gadis seumuran dengan Calista muncul dari balik pintu. Ia tersenyum lebar, nampak serasi dengan wajah cantik nya. Keringat bercucuran dipelipis dan nafasnya terengah-engah menandakan ia berlari sampai ke tempat ini. Semua mata tertuju padanya.
"Disini rupanya... My little Callie, adikku!"
.
Karena perjalanan jauh, keluarga Arya memutuskan menginap di panti asuhan itu. Shifani dan Calista begadang sampai larut malam, mereka bercerita dan saling mengenal masing-masing. Shifani sangat menginginkan seorang adik.
"Kalung itu? Apa milik ibumu?"
Callie menggeleng.
"Aku tidak pernah tahu orang tuaku, dan mereka tidak meninggalkan apapun untukku.." Callie mengelus kalungnya "ini pemberian sahabatku,"
"seorang pria? Pangeran kecil? Sweetheart?" Shifani antusias. Callie tersipu malu. Apa yang dia katakan?
"Dia berjanji akan kembali,"
"Aku tahu dia akan menepati janjinya. Karena dia memberikan kalung itu."
*
Klak klak, brughhh krckkkk....entah dari mana datangnya, ada kobaran api yang mulai membara mengepung bangunan panti asuhan.
"Calistaaaaa banguuunnnn" Shifani menggoyang-goyangkan tubuh gadis itu.
"Kebakarannnnnn kebakarannnn..."
"Shifaniii..."
"Papa, mama..."
Kedua orang tua itu menggiring Shifani dan Calista menuju pintu keluar...
Kretekkkk
"Papa awas!" Brukkk
Mama dan Shifani berhasil mencapai pintu masuk, sementara Calista dan papa terhalang oleh rangka kayu yang terjatuh.
"Papa..."
"Kalian cepat keluar! Panggil bantuan!"
"Tidak,"
"Shifani tidak ada waktu!!!" bentak papa. Dengan berat hati mereka menurut dan berhasil keluar. Beberapa pemadam kebakaran masuk ke gedung panti asuhan.
Tapi api semakin membesar. Udara panas menyebar. Kedua kaki Shifani menyerah dan ia terduduk lemas.
Seorang pemadam kebakaran berhasil keluar dengan membopong Callie yang sudah tidak sadarkan diri. Tapi dimana papanya, dimana petugas yang lain.
Bommm, terdengar ledakan sekali lagi. Air mata Shifani merembes keluar dan membanjiri pipinya.
"Tidaaakkkk!" Ia mendengar suara mamanya berteriak dan itu terakhir kalinya ia mendengar suara wanita yang telah melahirkankannya, karena Nyonya Arya mengalami serangan jantung saat itu juga.
Shifani kehilangan kesadarannya, ia tidak bisa menerima apa yang baru saja terjadi.
Segalanya sirna dalam satu malam
Andai aku tahu ini terjadi, aku tidak akan pernah meminta seorang adik.
*
Jiwa Shifani terguncang. Ia tidak berbicara dan hanya berbaring di rumah sakit selama satu bulan. Ia menolak melihat Callie yang mengunjunginya, tidak jarang ia mengamuk saat Callie terlalu lama berada di sana, dan buntutnya Shifani mencoba untuk bunuh diri.
.
Di suatu sore Shifani berjalan ke belakang rumah sakit, Callie mengikutinya dari belakang. Ada hamparan ilalang liar dan dandelion yang beterbangan diakibatkan angin sore yang kencang. Dengan piyama rumah sakit Shifani melipat tangannya ke depan dan memandang jauh ke depan.
"Kamu selalu mengatakan aku harus hidup, Callie. Sekarang katakan bagaimana aku harus hidup?"
Callie tak bergeming dibelakangnya.
"Hidupku selalu penuh kasih sayang dan dalam sekejap aku kehilangan segalanya. Kau tidak tahu rasanya itu karena kau tidak tahu rasanya kehilangan." teriak Shifani. Ia melepas lipatan tangannya dan menunjuk Callie, "Kau tidak mengenal orang tuamu maka kau tak pernah merasakan rasa sakitku lalu dengan mudahnya kau bilang bahwa aku harus hidup, katakan padaku bagaimana aku harus hidup????" airmata yang telah mengering beberapa hari kembali mengalir. Shifani mengusapnya.
"Ambil hidupku."
Gerakan tangan Shifani berhenti,
"Apa katamu?"
"Kamu mengatakan aku tidak pernah kehilangan apapun dalam hidupku, sekarang ambillah hidupku. Mimpiku. Cita-citaku."
"Dan pangeran berkuda putihmu?"
"Ya, ambil dia juga!"
Shifani tersentak, tidak ada getaran sama sekali di dalam suara Callie.
Mulai waktu itu, Callie berhenti untuk hidupnya sendiri. Ia hanya hidup untuk orang-orang disekitarnya,
Ia berhenti bermimpi,
Ia berhenti melanjutkan cita-cita nya menjadi seorang model,
Ia berhenti memikirkan sahabat masa kecilnya,
Ia hanya berjalan sejauh kakinya melangkah,
Ia berhenti untuk tertidur nyenyak karena mimpi buruk selalu menghantuinya.
Laki-laki itu tidak mengenal nama, dia hanya tahu gadis kecil yang memberinya roti dan mengenakan kalung berliontin emerald di lehernya. Bukti itu sudah cukup baginya. Are, little Bun sudah tidak ada lagi. Sekarang tinggal liontin itu dan gadis impian yang akan mendampingi mu.
***
"Kamu menyimpan rahasia sebesar itu sendirian selama dua puluh tahun, bagaimana ada wanita sepertimu? Bagaimana kamu masih bisa hidup bersama Shifani?"
Kevin dan Callie berdiri di balkon apartemennya saat malam menjelang. Shifani belum juga pulang dan Kevin protes dengan keadaan Callie yang seperti mayat hidup. Wanita itu baru saja pulang dari pertempuran di lokasi syuting, benar saja Shifani tidak muncul hingga para crew pulang setelah lima jam menunggu. Callie ditegur habis-habisan oleh produser pelaksana. Seperti tidak cukup akan hal itu, Kevin menyaksikan peristiwa memalukan itu saat dia akan memulai show di hotel itu juga,
Beberapa saat setelahnya Kevin mendekati Callie dan berkata dengan suara pelan.
"Kita harus bicara, jangan coba menghindar. Atau aku akan langsung meminta penjelasan kepada Shifani. Kamu tahu apa yang akan terjadi saat aku berbicara kepadanya!" katanya dengan nada serius. Kemudian ia melangkah pergi menemui rekan kerjanya dan kembali dengan senyuman profesional nya.
"Shifani, kau, dan tuan muda itu....agh," Kevin berbalik dan menyandarkan tubuhnya pada pembatas balkon. "Bagaimana jika aku menyewa pembunuh bayaran untuk melenyapkan pria itu. Aku bisa mencairkan rekeningku di hari sabtu, bukan?"
Callie tertawa.
"Dia akan membunuhmu terlebih dahulu sebelum kamu berhasil melenyapkannya."
Kevin menoleh Callie kemudian tersenyum, ah...aku suka saat wanita itu tersenyum.
"Benar juga, lihat saja batu-batu besar berkacamata yang mengelilinginya. Aku bisa dihabisi bahkan hanya karena mengotori jas mewah mereka."
Callie menatap bintang-bintang di langit Amethyst. Dari balkon lantai atas itu ia merasa sangat dekat dengan langit.
"Kau bertanya bagaimana aku masih bisa hidup bersama Shifani setelah hari itu. Mungkin Shifani sudah lupa, tapi aku tidak ingin lupa."
Kevin mulai memahami kenapa Callie diam selama ini. Dia tidak memiliki semangat dan gairah dalam hidupnya. Ia telah kehilangan kebahagiaan dan dukungan. Dia telah menyerah. Dia hanya terus berjalan karena itu adalah satu-satunya cara ia membayar rasa bersalah dalam hatinya.
"Berjanjilah, Kevin! Untuk tidak mengatakan pembicaraan kita malam ini kepada siapapun. Bantu aku!"
Kevin merangkul bahu Callie,
"Kamu harus membayar mahal jika meminta ku untuk diam!"
"Kamu ingin aku membayar? Berapa banyak?"
"Sebanyak bintang di atas sana," Kevin menunjuk bintang-bintang di langit. Callie ikut mendongak. "Kita harus tetap bersama sampai kita selesai menghitung bintang di langit Amethyst..."
"Harus di langit Amethyst?"
"Ya, harus di langit Amethyst...langit yang penuh kedamaian dan impian..."
Mereka saling bertatap dan tersenyum.