Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Pelita Raka

🇮🇩Raiha_Raisha
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.7k
Views
Synopsis
Kaya, tampan, suara merdu, Raka punya semuanya. Raka tahu pesonanya menggoda banyak wanita. Namun Mia adalah pengecualian baginya. Ego Raka luluh, walau Mia tidak bisa melihatnya. Kebencian Raka pupus, walau Mia tidak menyadarinya. Cahaya Mia sudah lama hilang ditengah kegelapan keluarga besarnya, begitu juga Raka. Namun mereka berdua memberanikan diri, melangkah membentuk pelita baru.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab I

Riuh tepuk tangan sudah Raka biasa dengar seusai nyanyiannya. Senyum manisnya itu servis tambahan, yang selalu membuat pengunjung kafe star ikut mendayu – terutama perempuan –sampai-sampai mereka lupa dengan pacarnya. Memang cuma diiringi alunan akustik dan tabuhan drum sederhana, tapi suara emas Raka menyempurnakan lagu apapun yang dia bawa, yang juga menjadi alasan pengunjung kafe untuk berlama-lama, selain numpang internet-an berjam-jam dengan segelas kopi atau es teh manis dan beberapa batang rokok.

Raka tidak pernah berceloteh lama-lama saat di panggung karena dua alasan. Pertama, dia menikmati bernyanyi tetapi tidak untuk meladeni antusias penontonnya. Kedua, dia malas membalas tatapan mantan-mantannya yang sengaja menjadi penonton hanya untuk menumbuhkan harap yang sudah dia injak dan buang jauh hari.

Bagi Raka, nyanyian itu bukan sekedar unjuk suara, atau cari ketenaran semu, tapi bentuk ekspresi jiwanya, entah itu baik atau buruk di mata orang, tapi dia menyajikannya sebagai suatu seni. Dia tahu betul penontonnya itu bisa merasakan keindahannya, tapi jarang sekali mereka menghargai apapun yang tersirat dalam lantunannya. Yang mereka mau itu ya bagus suaranya, enak didengar, buat mereka lupa akan penatnya hidup, persetan dengan hikmah yang terkandung dalam lagu buatannya itu. Mereka tidak mau repot-repot untuk mengerti. Semuanya memang tidak mau mengerti.

Ah, kenapa Raka malah jengkel? Bukannya hidup itu sejatinya cuma cari senang? Toh orang rela banting tulang, jual diri, jilat sana-sini sambal jungkir balik putar otak biar bosnya tetap kasih mereka uang kan? Uang yang buat mereka senang, aman, juga angkuh di sisi lain. Terserah. Raka mana mau ambil pusing menghakimi cara mereka hidup.

Tapi, Raka senang 'menghukum' mereka. Ada yang meloncat girang di hatinya yang kelam saat perempuan-perempuan yang buta akan angannya itu dia hempas kasar oleh sikap dinginnnya. Ada kebanggaan yang menaungi saat dia menolak mentah orang-orang yang menawarinya untuk masuk dapur rekaman – melacur disana untuk buat lagu pop medioker bertema cinta. Yang buat dia tertawa puas itu ketika ayahnya menyerah untuk merecokinya lanjut kuliah sarjana manajemennya di universitas tersohor di Bandung sana, seolah-olah itu adalah satu-satunya jalan agar dia bisa 'sukses' padahal dia tahu yang ayahnya butuh itu cermin biar dia sadar puing-puing rumah tangganya yang terpampang jelas di wajahnya yang suram seperti masa depannya. Satu-satunya yang dia dengar cuma suara kakeknya, yang bersedia membela keinginannya, walau dia tahu kalau kakeknya hanya mendengar setengah dari apa yang sebenarnya dia harap.

Semua jeritan dan amukan itu Raka simpan di hatinya yang terdalam, lalu ditutup rapat-rapat, menyamarkan semuanya di depan orang-orang dengan senyumnya sambil menipu mereka dengan kelembutan suaranya. Perhatiannya dia alihkan saat intro gitar masuk, mengantar bait lirik yang akan dia lantunkan pada pengunjung kafe Star yang sudah haus akan nyanyiannya. Selepas bait pertama dia senandungkan, ditemani alunan akustik yang mendayu, Kafe Star langsung larut dalam romansa melankolis.

Dari puluhan pasang mata yang memuji, ratusan angan yang mengagungkan keelokan paras, entah kenapa pandangan Raka selalu tertuju pada seorang perempuan berambut kuncir belakang yang anteng menatapi layar monitor komputer kasir. Sekilas Raka menduga kalau perempuan itu kurang lebih sebaya dengannya, walau wajahnya mungkin tidak se-'wah' mantan-mantannya dulu, tapi melihatnya mengangguk selaras dengan alunan tempo lagunya berhasil membuat rasa penasarannya tergelitik. Raka tahu kalau tidak semua orang bisa mengenal ritme pas seperti itu kecuali musisi berpengalaman yang pendengarannya sudah terlatih.

Raka sudah melihat perempuan itu selama tiga bulan terakhir setiap kali dia bernyanyi disini, tapi belum pernah menyempatkan diri untuk menemuinya secara langsung. Lagipula melihat perempuan itu cuek akan keberadaannya - berbeda apabila dibandingkan fansnya yang biasa mengelu-elukannya – membuat hatinya tidak terima. Sejauh yang dia tahu, belum ada pria yang menemui perempuan itu atau sekedar berbincang dengannya, yang berarti dia single, dan tidak peduli dengannya. Ini tidak wajar, simpul Raka masih tidak terima.

Seusai lantunan lagunya, diakhiri dengan ucapan terima kasih yang disaut dengan siulan dan pujian pengunjung kafe Star, Raka beranjak menghampiri gitaris yang ada di sebelahnya.

"Ron, arah jam 11, kardigan biru.", bisiknya.

Roni mengerling sesaat, "Rambut panjang hitam, bukan?"

"Bukan yang kuncir, poni depan, rambut coklat, matanya agak-agak merem."

"Hmm...oh.", pandangan Roni sempat terpaut, tapi dia menahan jawabannya. Setelah dia menyimpan gitarnya lalu turun panggung bersama Raka, raut wajahnya makin heran, "Serius kamu? Dia yang jaga kasir disini, Ka."

Raka mengangguk, setengah mendengar. "Pernah ngobrol sama dia, Ron?"

"Belum. Cuma tahu dari Ibu Sophie kalau dia itu keponakannya. Katanya sih kerja disini buat cari pengalaman, nyambi sambil kuliah gitu."

Raka mengangguk puas. Dugaannya kalau perempuan itu kurang lebih sebaya dengannya juga tepat. Fakta kalau perempuan itu adalah keponakan pemilik kafe Star membuatnya makin penasaran. Apa dia bisa jadi korban selanjutnya? Mungkin bisa, tapi riskan juga, khawatir Ibu Sophie akan melarangnya untuk nyanyi di kafe Star lagi.

Tapi kalau cuma ngobrol enggak masalah sepertinya, bela Raka cepat. "Duluan, Ron. Kayaknya dia asik.", ujarnya sambil menepuk bahu Roni. Langkahnya tertahan ketika Roni tiba-tiba menariknya.

"Jangan deh, Ka. Bakal berabe urusannya kalau dia yang-"

"Ngobrol santai, Ron. Enggak bakal macem-macem aku."

"Bukan itu. Dengerin dulu-"

"Dia bukan tipeku kok. Cewek baik-baik gitu sih dari penampilannya. Okelah kalaupun dia bandel didalem, aku bisa jaga-"

"Dia buta, Ka."

"....hah?"

***

Mimpimu terlalu indah

Buatmu lupa terpijak

Kebenaran tidaklah sejauh itu, sayang

Berapa tahun lagi yang kau butuh

Sampai kau berhenti bohong pada dunia

Mia yakin ini pasti malam minggu setelah dia mendengar sepenggal lirik lagu yang mendayu di Kafe Star kala itu. Jemarinya mengetuk meja, kepalanya mangut-mangut, kakinya menepuk lantai, seolah tengah berdansa, menyelaraskan diri dengan irama melodi lagu yang tengah menyihir pengunjung kafe. Dia memang tidak bisa melihat ekspresi antusias dan puas setiap dari mereka, tapi setidaknya tepuk tangan dan pujian yang riuh setiap kali 'sang pujangga' menyelesaikan reff-nya sudah memberi gambaran yang cukup jelas di benaknya akan euforia yang membuat kafe bibinya itu ramai.

Lima juta rupiah adalah harga terbaru yang mereka tawarkan untuk sekali manggung, kenang Mia setelah menilik sekilas laporan keuangan Kafe Star. Mahal memang untuk band yang bisa dibilang baru dan belum punya nama besar, tapi bibinya masih bersikukuh untuk menyewa mereka tiap malam minggu. Mungkin bibinya sudah paham kalau keramaian yang band ini bawa menyumbang banyak pelanggan baru, juga menambah pelanggan tetapnya. Harga memang tidak pernah bohong, simpul Mia klise.

Ya, harga. Semua yang ada di dunia ini ada harganya. Orang-orang bisa bilang kalau harga bukanlah segalanya, sambil berpikir kalau dunia masih bisa berjalan dengan kesukarelaan semata. Tapi Mia sudah cukup dewasa kalau pemikiran macam itu hanya sekedar fantasi untuk menghibur orang-orang yang berharga 'rendah' atau bisa jadi itu adalah suatu kepicikan yang menyudutkan orang-orang yang pantas dihargai 'mahal'. Bahkan orang tua sendiri pasti sudah bisa menakar 'harga' tiap anak-anaknya sendiri, menaruh rasa kasih sayang mereka sesuai dengan porsi harganya, lalu berharap akan 'timbal balik' yang akan dikembalikan oleh anak-anaknya selayaknya investasi saham-saham yang Mia tidak mengerti itu. 'Bapak/ibu sayang kalian semua' itu hanya pemanis untuk menyamarkan penilaian mereka. Mia tidak bisa melihat wajah orang tuanya lagi, tapi dia bisa melihat harapan mereka terus menggelayut di pikirannya.

Putra sudah ada pengalaman dua tahun. Kalau S3-nya sudah selesai, posisi CEO di PT Abimanyu bisa dipertimbangkan.

Arjuna terampil kalau soal mengatur. Kasih dia kesempatan jadi direktur di PT Pajajaran biar dia lebih termotivasi.

Kayla mungkin ogah-ogahan, tapi kalau cuma sekedar jadi kepala bagian di PT Dharma tidak masalah.

Oh, kenangan itu muncul tiba-tiba. Terbuka sendiri layaknya kotak pandora pribadi milik Mia. Dia mengutuk kelengahannya di tengah napasnya yang mendadak sesak. Mengumpat, entah pada kebutaannya, atau darah Wirahadikusumah yang masih mengalir di nadi bak racun di tubuhnya.

Berapa hargamu, Mia?

Pertanyaan itu bagi tombak yang menghujam, membungkam Mia dalam lamunan, memaksanya untuk menyender sambil menahan gemetar takut dalam hatinya. Mia memang terbiasa dalam kegelapan dunianya, tapi pertanyaan itu selalu berhasil menyeretnya terjun ke jurang tidak bertepi, tenggelam dalam sepi, lalu sesak dirundung depresi. Tidak ada yang tersisa kecuali jeritan yang mencekoki pikirannya, memaksanya untuk merangkak naik dari jurang itu. Terus merangkak naik walau dia sudah berdarah-darah di tengah kegelapan abadi yang menjadi sumber kesialannya, tidak peduli walau pikirannya sudah setengah sinting. Dia cuma bisa merangkak, sampai dia cukup percaya diri untuk menjawab pertanyaan sialan itu dihadapan mereka. Di hadapan Wirahadikusumah yang membuangnya.

"Berapa semuanya, neng?"

Mia bangun dari lamunannya, buru-buru mengetik di keyboard-nya lalu mengambil nota yang baru saja disimpan di tusukan sebelah monitor depannya. "Y-ya, tunggu sebentar...", ujarnya gelagapan sambil memindai nota dengan mesin pemindai dekatnya, yang otomatis menginformasikan rincian menu termasuk total harganya secara lisan. Mia mengulang rincian menunya untuk memastikan kebenarannya, meraba uang yang dia terima dari pelanggan, lalu menginput lagi di komputernya untuk mencetak bon. Dia ingat menghabiskan waktu sampai setengah jam untuk melakukan semua ini di saat pertama kalinya. Tapi sekarang, dia bisa menyelesaikannya hanya dalam waktu sekitar satu sampai dua menit.

"Terima kasih sudah mengunjungi Kafe Star.", ucap Mia sopan lagi puas setelah dia selesai melayani pengunjung kafe bibinya itu. Dia bersyukur karena bibinya sudah repot-repot menyediakan komputer dan mesin pemindai khusus agar dia bisa bekerja sebagai kasir disini. Tidak jarang pelanggan kafe bertanya-tanya akan dirinya, tetapi dia bisa menjawab itu dengan santai dan percaya diri akan kondisinya, sembari membuktikan kalau dia sejajar dengan mereka. Pekerjaan ini memang hanya sampingan dari kesibukan kuliahnya, tapi dia menikmati setiap detiknya, hitung-hitung rehat setelah menyerap banyak teori bisnis dan manajemen dari buku-buku kuliah yang halamannya beratus-ratus itu. Mungkin langkahnya kecil dan pelan, tapi ada keyakinan yang besar kalau jalan yang dia tempuh ini akan membawanya ke posisi yang lebih tinggi. Ke tempat-tempat yang membuat harganya lebih 'mahal', lalu orang-orang berbondong-bondong datang untuk 'membelinya'. Termasuk keluarganya.

"Halo, cantik..."

Mia belum merespon. Dia dengar sapaan itu, tapi di tengah hirup pikuk obrolan di kafe, mungkin sapaan itu dari seseorang yang kebetulan ada didekatnya. Dia memilih diam.

"Mia Wirahadikusumah, ya?"

Suara yang sama, tapi lebih dekat dan lembut. Suara ini tidak asing bagi Mia, hanya saja, dia masih tidak yakin kalau 'orang itu' yang memanggilnya. "Emm...ya?", tanya Mia masih ragu.

"Serius amat sama komputernya. Lagi sibuk?"

Nada suara pria itu makin melunak, tapi Mia masih bertanya-tanya. Kenapa dia tahu nama lengkapnya? Apa dia tahu dari papan kayu nama kecil di sebelah meja kasirnya? Ini pertama kalinya ada orang mengajaknya berbincang dengan menyebut nama lengkapnya. Apa dia harus teriak panik meminta tolong bibinya? Ah, tidak. Itu terlalu konyol. Sejenak Mia mendehem sambil mengatur napasnya untuk lebih tenang menghadapi pria ini.

"Enggak terlalu, Mas Raka."

"Oh, kamu kenal aku ya?"

Suara pria itu kini mendadak antusias, persis seperti saat dia melantunkan lagu. Dugaan Mia memang benar.

"Kayaknya ini pertama kali aku dikenal karena suaraku...", balas Raka masih antusias, "...banyaknya karena aku ganteng sih.", lanjutnya menggoda sambil menyisir rambut dengan tangan sekilas. Mia tidak bergeming.

"Penggemarmu pasti banyak.", Mia basa-basi.

"Bukan rahasia lagi kok...tapi aku heran sama orang-orang di kafe sini."

"Heran kenapa?"

"Heran saja...kenapa mereka sibuk sendiri padahal kasir disini cantik banget."

"Mungkin mereka lebih suka dengar nyanyianmu, mas.", tepis Mia.

"Aku enggak setiap hari kesini. Eh, jangan panggil aku mas, panggil Raka. Formal banget dengerinnya."

Sejenak Raka mundur saat ada pelanggan lain yang mau membayar. Dikala Mia memindai nota, dia bisa mendengar tawa geli salah satu pengunjung – perempuan – yang dibalas dengan candaan Raka. Hampir dia lupa menyebutkan menu yang sudah dipesan karena suara Raka mengganggu fokusnya. Usai menyelesaikan pekerjaannya, senandung Raka yang semula terdengar jauh makin jelas. Mia tahu kalau itu tandanya Raka kembali menghampiri.

"Sudah lama kerja disini, Mia?"

"Baru 4 bulan."

"Tadi kamu cekatan sekali melayani yang mau bayar. Aku kagum."

"...makasih."

Sunyi sejenak. Dalam imajinya, Mia yakin betul kalau Raka sedang cengengesan didepannya.

"Lama-lama lihat kamu, kayaknya aku bisa dapat inspirasi untuk lagu baruku nanti, Mi."

"Masa?"

"Ya, judulnya : 'Bidadariku', gimana? Bagus kan?"

Mia menggeleng. Ekspresinya datar. Dia sadar rayuan Raka, tapi masih terasa mentah untuk basa-basi pertama. Pria ini terlalu percaya diri, kritiknya. "Kayaknya aku belum pernah dengar kamu buat lagu cinta."

"Semua tergantung inspirasinya, Mi. Kebetulan kamu orang yang cocok."

"Aku enggak tahu bakal jadi apa nanti lagunya. Tapi menurutku, lagu yang sekarang pun sudah bagus, Raka."

"...memang kamu suka yang mana?"

Mia bisa merasakan antusias makin Raka makin dalam saat sosoknya itu terasa kian dekat dengannya. Dia agak mundur, khawatir pria ini makin nekat.

"'Senyum yang rapuh', kalau tidak salah itu judulnya."

"Oh itu. Banyak yang suka itu. Tidak sangka kamu bakalan suka juga."

"Inspirasi lagu itu darimana, Raka?"

Sekarang Raka yang diam. Mia bisa merasakan Raka agak menjauh dengan lidah yang kelu. Tapi itu tidak lama karena pria itu maju lagi untuk membalas tantangannya. Wajar untuk pria penuh percaya diri sepertinya.

"...banyak hal. Kehidupan pribadi seringnya."

Jawaban Raka terasa keruh, tapi Mia bisa merasakan kejujuran disana. "Kehidupanmu pasti penuh ujian."

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu, Mi?"

"Lirik lagu itu banyak yang sinis menurutku."

Mia bisa mendengar Raka terkekeh. Sejenak dia meninggalkan pembicaraannya untuk melayani beberapa pengunjung yang membayar, yang diselingi candaan Raka yang terdengar lepas dengan mereka, berbeda dengan suaranya yang kelam beberapa menit sebelumnya. Baru saja Mia selesai, Raka mendekat lagi, yang tidak bisa dia pungkiri kalau dia memang ingin melanjutkan obrolan ini.

"Lagu cuma soal ekspresi jiwa, Mi. Aransemen cuma pemanis saja. Seru loh kalau sudah bisa menguasainya. Aku bisa ajarin kamu."

Mia meneleng. Tidak disangka pria ini pintar menghindari topik yang dirasa terlalu personal. Mungkin dia harus coba pendekatan lain.

"Aku enggak pernah main musik, Raka. Aku lebih suka menjadi penikmat musik saja."

"Jangan minder gitu, Mi. Kamu berbakat loh. Kalau gurunya aku, pasti cepat bisa."

"Enggak, makasih, aku-"

"Jangan malu. Kalau mau biar kuantar ke rumahku. Ada studio khususnya kok. Alatnya lengkap."

"Bukan itu masalahnya, Raka."

"Kenapa sih? Belajarnya gampang kalau-"

"Kamu tahu kan kalau aku buta?"

Mia senewen saat menyela kata-kata manis Raka. Belum sempat Raka lanjut untuk menenangkan amarahnya, pengunjung kafe yang hendak membayar datang, memisahkan mereka dari obrolan yang masih menggantung. Kali ini, tidak ada suara candaan Raka. Mia sendiri masih menahan kejengkelannya, sampai-sampai dia lupa mengucapkan 'terima kasih' setelah usai melayani mereka. Belum selesai Mia mengatur napasnya untuk menenangkan diri, jawaban Raka datang bak petir yang menyambar.

"Aku tahu kondisimu, Mi. Memangnya kenapa? Toh kamu masih bisa kerja di kafe. Yang aku lihat ini bakatmu. Cocok untuk belajar musik, Mi. Serius. Percaya deh sama aku."

Mia mendadak pusing. Apa yang Raka inginkan darinya? Apa wanita-wanita cantik diluar sana sudah habis untuk dia goda? Dia tidak peduli lagi dengan kecantikan semenjak 'kutukan' ini datang, terlepas bibinya selalu membantu mendandaninya setiap hendak kerja atau pergi keluar. Tapi sang pujangga ini seperti orang tidak ada kerjaan.

"Apa aku harus minta izin dulu sama Ibu Sophie, Mi? Gampang itu. Aku dekat kok sama dia."

Sekarang pria aneh ini mau bawa-bawa bibi Sophie. Mia tahu kalau dia tidak mau bibinya yang tersayang direpotkan dengan keinginan sinting pria asing ini. Dia harus menghindar, tanpa harus teriak minta tolong agar Raka tidak dihajar seperti orang maling yang baru saja terciduk.

"Enggak deh. Aku khawatir jadi orang yang pesimis nanti.", celetuk Mia.

"Pesimis gimana maksudnya?"

"Hampir semua lagumu seperti itu, Raka."

Raka tertawa ringan, "Yaelah, itu kan cuma-"

"Kamu yang bilang sendiri kalau inspirasinya dari hidup kamu. Aku cuma suka lagumu, tapi maknanya terlalu muram."

Raka menghentikan tawanya seperti orang yang baru saja tercekak. Dia mendehem seolah baru saja merem umpatannya. "Biar kukoreksi, Mi. Laguku tidak muram. Tapi lebih ke mencerminkan realita. Hidup tidak semudah itu.", tegasnya. Nadanya agak meninggi sampai-sampai Mia menahan niatannya untuk menyela.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi di hidupmu, tapi aku harus menjaga diriku agar tetap positif."

"Ya...." Raka menunda jawabannya, sedang mencari kata-kata yang tepat sambil menahan kesabarannya, "....kalau kamu mau lagunya tentang kamu juga tidak apa-apa, Mi. Bebas kok." Raka mendehem, "...tapi bukan berarti laguku salah juga. Malah kalau boleh kubilang, lagu macam itu yang bakal menyelematkan kita dimasa depan nanti.", protesnya tidak mau kalah.

"Kenapa kamu sampai yakin seperti itu?", tanya Mia menantang, masih tidak setuju, sambil berharap Raka akan membencinya kalau dia terus menyangkalnya sehingga dia bebas darinya.

"Banyak orang yang suka laguku bukan hanya karena indahnya suaraku, tapi juga makna lagu itu, Mi. Mereka tahu laguku itu mirip dengan kehidupan yang mereka jalani."

"Mengajak mereka ke untuk ikut pesimis bukan sesuatu yang harus kamu banggakan, Raka."

"Bukan pesimis. Pragmatis."

"Keduanya sama saja bagiku."

Mia reflek terdiam saat Raka tiba-tiba mendekatinya dengan napas berderu, yang untungnya masih ada meja kasir yang menjaga jarak antar mereka. Wangi parfum mint yang semula samar kian tajam, menandakan kalau Raka memang sudah ada dihadapannya persis. Tapi mendengar deru napasnya, Mia sudah bisa menduga kalau semua kelembutan sang pujangga sebelumnya itu sudah luluh, tergantikan oleh amarahnya.

"Apa orang-orang sepertimu itu hanya melihat darisana?"

Mia sontak geram. Dia beranjak dari kursinya sambil mengepal kedua tangannya. Walau dia sadar kalau dia sudah membuat Raka marah, bukan berarti dia diam dengan pertanyaan tidak sopan macam itu. "Apa maksudmu 'orang-orang sepertiku'? Kenapa menyerang kami hanya karena kami ingin sesuatu yang positif?"

"Jangan pikir kondisimu itu adalah kekurangan, Mia. Kita yang 'normal' ini bisa melihat lebih jelas kelamnya dunia daripada kalian. Harusnya kalian yang lebih bersyukur."

Mia reflek menggebrak meja. Tidak pernah dalam hidupnya dia mendengar kata sekasar itu, bahkan dari kedua orang tuanya yang mengabaikannya sekalipun. "Tahu apa kamu tentang kondisiku? Jangan lempar semua kebencianmu itu padaku, Raka. Aku tidak pernah meminta kondisi macam ini.", sentaknya dengan mata yang berair.

"Aku tidak bermaksud merendahkanmu, Mi. Aku hanya ingin kamu mengerti juga apa yang kita lihat dan rasakan. Itu tujuan laguku. Kita tidak mau dikecewakan lagi oleh ekspetasi kita sendiri kan?", balas Raka sama kerasnya. Para pengunjung di kafe mulai menaruh perhatian ke meja kasir yang tampak ramai itu. Tentunya Mia tidak sadar akan hal itu. Hatinya sedang sibuk menahan amarah yang menggelora setelah tersulut oleh Raka.

"Orang sepertimu yang buat kita semua tidak maju, Raka. Pergi. Aku tidak sudi berbicara denganmu lagi."

"Hei, Mi! Jangan diambil hati! Aku hanya-"

Suara Raka perlahan menjauh, diselingi suara pelayan-pelayan kafe yang menengahi Mia dan Raka. Sekilas Mia duduk untuk menenangkan hatinya, dia mendengar riuh pelayan kafe yang menarik mundur Raka kian menjauh hingga mencapai pintu keluar. Roni pun turut hadir disana membantu mereka agar Raka yang masih memberontak tidak menghampiri Mia lagi.

"Aku tidak ingin kamu dikecewakan sama realita, Mi! Itu maksudku! Aku bukan ingin mengejekmu! Sungguh! Aku ini peduli padamu!"

Teriakan Raka terdengar mentah di tengah isak Mia. Riuh ramai disana baru redam ketika Raka, dan Roni, keluar dari kafe. Para pengunjung yang hendak membayar menahan langkahnya, menunggu Mia menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya. Banyak bisikan hilir mudik di sekitarnya, menuduh Mia dan Raka sedang cekcok layaknya orang pacaran yang sedang ada masalah. Apapun dugaan mereka, Mia tidak mau meladeninya. Dia hanya ingin kafe tutup lebih cepat sehingga dia bisa melepas semua penatnya. Benar-benar hari yang melelahkan.

***