Sebenci-bencinya Mia terhadap Raka, dia tidak bisa membenci Raka saat sang pujangga itu menyanyikan lagunya. Suaranya merdu, mendayu, dan amat menghayati. Wajar kalau pengunjung kafe Star berduyun-duyun memenuhi tempat, sekedar minum segelas kopi ditemani sebatang rokok, teman curhat, dan lagu penuh pesimistis dari yang didendangkan Raka untuk menikmati kepahitan hidup yang mereka jalani. Kalau sudah seperti ini, Mia yakin kalau manusia bisa menghibur diri tidak hanya dengan dengan optimisme dan kata-kata motivasi, tapi juga dengan 'masturbasi' akan sikap pesimistis dan prasangka buruk atas realita yang pahit.
Pragmatis, bukan pesimis.
Ya, Mia tahu kata-kata Raka yang langsung menyambar itu pasti muncul, yang pastinya langsung dia tepis dalam hati. Dulu dia berpikir kalau apa yang dicekoki Raka itu salah, tapi sekarang, dia tidak menggangap itu sesuatu yang absolut. Mungkin ada sisi lain, yang Raka selalu ngotot ucapkan, yang bisa jadi perlu dia dengar untuk kedewasaan dirinya, walau dia sendiri tahu sikap apa yang dia ambil.
Itulah kenapa Mia memutuskan untuk mengambil shift malam ini untuk jaga kasir, setelah banyak rekan kerjanya yang tidak bisa mengisi karena sakit atau ada keperluan lain. Dia juga sudah meyakinkan mereka, termasuk Bibi Sophie dan Susi, kalau dia tidak lagi mempermasalahkan kedatangan Raka, dan berjanji tidak akan buat ribut lagi, kecuali Raka nekat tentunya. Sekuriti di luar kafe bahkan sudah wanti-wanti kepadanya untuk teriak kalau hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun sebisa mungkin, dia harap para sekuriti itu tidak perlu datang dan menghajar Raka.
Sekilas Mia melepas lamunannya, lebih fokus pada nyanyian Raka yang menaungi kafe, dia merasa ada yang aneh. Suaranya tidak 'lepas'. Ada perbedaan kualitas kalau dia bandingkan dengan penampilan-penampilan sebelumnya, walau rasanya penampilan itu masih menyihir pengunjung kafe mengingat tepuk tangan yang ramai dan riuh selalu terdengar setiap kali satu lagu berakhir.
Apa Raka sedang sakit? Apa Raka sedang ada masalah? Masa orang penuh percaya diri seperti dia sedang terbebani? Semua pertanyaan itu timbul karena rasa penasaran Mia sendiri. Tetapi setelah dia pikir ulang, tingkah Raka yang kelewat nekat itu sepertinya sudah menandakan kalau jiwanya sedang sakit. Lagunya saja sudah mencerminkan dirinya yang penuh masalah, keluhnya. Andai Raka mau mendengar nasihatnya untuk bersikap lebih optimistis, mungkin dia tidak perlu tertekan seperti ini, walau dia tahu berharap pada Raka rasa-rasanya sama susahnya seperti berharap pada keluarganya. Atau mungkin sejenak berhenti berharap pada Wirahadikusumah bisa membuat jiwanya tenang sejenak, seperti kata-kata Raka dulu.
"Mia."
Sapaan yang merdu itu membangunkannya dari lamunan. Mia meneleng, menghirup aroma mint yang familiar, tanda kalau Raka sudah mendekat ke meja kasir, bukan untuk membayar, tapi menceramahinya seperti biasa. Mia sudah siap dengan ini.
"...Raka, ya?"
"Ya, sayang. Eh, maaf. Kelepasan." Mia mendengar Raka mendehem berkali-kali, seperti orang yang sakit batuk. "Tumben kamu shift malam ini, Mi.", Raka memulainya dengan basa-basi.
"Setiap lima hari dalam seminggu aku memang mengambil shift, Ka."
"...tapi aku jarang ketemu kamu. Apa karena jadwalnya memang enggak cocok ya?"
"Mungkin, Ka.", jawab Mia setenang mungkin karena dia tahu Raka sedang mengujinya. Apapun itu, dia yakin kalau Raka sudah tahu upayanya dulu untuk menghindarinya. Sekarang, dia sudah tidak terlalu peduli lagi dengan itu.
"Tenang, Mi. Aku janji enggak bakal buat ribut kayak dulu.", tegas Raka, "...selama kamu enggak memulai sih.", lanjutnya diakhiri tawa ringan. Mia sebisa mungkin berprasangka baik pada Raka.
"Kamu kenapa, Ka?", Mia memulai topik sebelum Raka mencekokinya dengan rayuan kosong dan pesimistis semu.
"Kenapa gimana, Mi?"
"Nyanyianmu tadi kayaknya ada yang kurang. Lagi sakit?"
"Sakit hati, Mi. Ada yang ingin kutemuin tapi dianya menghindar terus." Suara Raka terdengar samar. Mengaburkan kepanikan dibalik suaranya yang sendu dengan tawanya yang berantakan.
"...kalaupun sakit sepertinya bukan karena aku sih. Jaga kesehatan ya. Nanti fansmu sedih kalau kamu sakit."
"Kamu enggak sedih kalau aku sakit, Mi?"
"Biasa saja, Ka."
"Tumben jawabannya begitu. Kirain bakal jawab sesuatu yang 'positif', Mi. Aku kan lagi butuh motivasi."
"...bukannya kamu suka jawaban jujur dan pahit macam ini, Ka? Lagian kamu senang tidak berharap pada orang lain."
Mia mendengar Raka yang terbahak. Dia sempat tersentak saat desahan napas Raka terdengar didekatnya.
"...ternyata ujung-ujungnya kesana ya. Berarti kita belum selesai, Mi.", Raka mengucapkannya agak berbisik.
"Mungkin tidak akan pernah selesai, Raka. Kamu pasti sudah tahu jawabanku, apapun yang bakal kamu ucapkan nanti."
"Tidak apa-apa jawabanku tidak akan berubah, yang penting kamu bakal hati-hati dengan ekspetasimu. Terutama sama dosenmu itu."
Mia diam sejenak. Matanya bertaut, mengenang lagi pertemuan terakhirnya dengan Raka yang melibatkan Mario, dosennya, yang juga pembimbing karya tulis ilmiah yang sedang dia dan Susi buat susah payah dalam satu bulan terakhir ini. Sejauh yang dia tahu, Mario adalah dosennya yang penuh perhatian dan amat mendukung kemajuan akademisnya selama kuliah. Mario sendiri yang memperjuangkan karya tulis ilmiah yang mereka susun untuk dilombakan di Australia nanti. Kenapa Raka malah memperingatinya?
"Pak Mario maksudmu, Ka?"
"Iya. Jangan sampai kamu dimanfaatkan sama dia."
"Dimanfaatin gimana? Dia membantuku selama kuliah."
"Jangan polos amat lah. Dia ngebantu kamu sama temanmu untuk ikut lomba karya tulis ilmiah itu kan? Dia bisa saja klaim semua prestasimu nanti."
"Kamu memangnya kenal dia, Ka?"
Hening sejenak. Mia bisa merasakan Raka menahan umpatan yang hampir keluar, persis seperti orang yang mau bersin tapi tidak jadi. Dia bertanya sekali lagi agar Raka memperjelas tuduhannya itu.
"...kenal. Cukup kenal untuk tahu kalau dia itu penipu."
"Enggak nyangka kamu kenal dosenku. Dunia sempit banget ternyata.", Mia duduk menyender sekilas karena napas Raka yang berderu didekatnya amat terasa. "...tapi dia sangat mendukungku kalau soal kuliah, Ka. Aku enggak yakin soal tuduhanmu itu."
"Yang namanya penipu itu, Mi, dia pasti mancing korbannya untuk percaya. Kalau sudah percaya, ya tinggal dibuang, ditinggalkan begitu saja, yang penting sudah berhasil."
"Jangan berprasangka buruk seperti itu. Tidak baik."
"Aku serius, Mi. Aku tahu apa niatan jahat dia."
"Aku enggak percaya, Ka."
"Kamu percaya kalau dia ayahku?"
Mia membisu. Memang dia pernah mendengar dari Susi kalau Raka pernah kelepasan memanggil 'ayah' pada dosennya itu, tapi dia masih ragu. Suara Raka yang getir dari pertanyaan terakhirnya sempat membuatnya termangu. Hati kecilnya membisik kalau Raka benar-benar jujur. Tapi karena orangnya 'Raka', dia tidak mau mudah percaya. Keheningan menaungi saat Mia melayani beberapa pengunjung yang membayar. DIa tidak mendengar suara Raka yang biasa ramah pada mereka. Rasa penasarannya sendiri masih tergelitik ketika Raka menghampiri setelah dia selesai melayani.
"Apa dia yang menjadi sumber inspirasi lagu-lagumu yang muram itu?", tanya Mia pelan-pelan.
"Lagu yang realistis, Mi."
"Ya terserah. Jadi benar?"
"Dia meninggalkanku setelah menceraikan ibuku secara sepihak sepuluh tahun yang lalu. Kamu tahu kenapa? Karena dia ingin warisan dari kakekku, bahkan kakekku waktu itu belum meninggal. Dia itu gila harta. Alasan dia menikahi ibuku hanya untuk mengambil hati kakek, tapi semuanya terkuak saat dia menceraikan ibuku dan meninggalkanku. Untung kakek sadar lalu mengasuhku sebelum diperdaya si bangsat itu. Sayang ibuku keburu kembali ke rumah orang tuanya dan kami tidak pernah bertemu lagi semenjak itu."
Mia membisu lagi. Baru kali ini dia mendengar Raka yang pilu, Raka yang sendu, Raka yang takut, Raka yang tertekan – berbeda dengan sosok Raka yang penuh percaya diri dan romantis didepan fans-fansnya. Dia bahkan bisa merasakan napas Raka yang tidak beraturan. Pasti berat membuka sisi trauma itu dari lubuk hatinya yang terdalam. Trauma yang berat dari seseorang yang harusnya mengasihi dan membimbingnya sampai dewasa kelak. Sama seperti keluarga Wirahadikusumah kepadanya.
Beberapa pengunjung yang datang untuk membayar membangunkan Mia yang termenung. Tidak terdengar sedikitpun suara Raka dikala itu. Pengunjung yang bayar cukup banyak, tapi Mia tidak bisa melepas rasa penasarannya akan sosok Raka. Apa Raka pergi? Kenapa tidak ada suaranya? Apa dia tidak ingin lanjut mengobrol lagi dengannya? Mungkin mengungkapkan rasa trauma itu terlalu berat, bagi siapapun, bahkan Raka sekalipun. Dia menyesal pernah 'meremehkan' masalah Raka sebelum-sebelumnya.
"Raka? Kamu masihdisini kan?", Mia sampai mengulang-ulang itu berkali-kali sesaat setelah diamelayani semua pelanggannya. Hatinya sempat mencelos khawatir kalau-kalau Rakabenar-benar pergi. Perasaan ini amat tidak wajar.
"Raka-"
"Y-ya, Mi. Aku disini."
"Oh,", Serasa ada listrik yang menyengat saat Mia sadar kalau Raka menggapai lengan kanannya. Sentuhan tangannya lembut dan sesaat. Dia paham kalau Raka menyentuhnya bukan dengan hasrat yang menggebu, hanya ingin menenangkan kecemasannya yang berlebih. "Kukira kamu pergi.", Mia kembali duduk di meja kasirnya. Wangi mint yang kembali datang menghampiri menandakan kalau Raka mendekat tanpa suara.
"Maaf, sempat kepotong tadi.", Mia melanjutkan obrolannya, "Kalau boleh jujur, aku tidak menyangka Pak Mario melakukan itu. Dia baik kepadaku dan Susi, dan mahasiswa lainnya tentunya."
"Dia dibayar untuk mengajari mahasiswa dengan baik. Dia pasti punya caranya sendiri untuk memanipulasi mereka, terutama padamu, Mi. Kamu dan temanmu itu incarannya."
Mia bisa merasakan kejengkelan yang luar biasa dari nada suara Raka yang berat. Dia agak menyesal atas pilihan kata-katanya tadi. Tapi, sekali lagi, dia tidak mau gampangan kalau lawan bicaranya Raka.
"Jadi sekarang kamu menyalahiku karena diajari Pak Mario?"
"Bukan itu. Aku hanya ingin kamu hati-hati sama dia."
"Akan kucoba."
"Jangan hanya dicoba. Lakukan, Mi. Jangan berakhir seperti aku."
"Aku mengerti kalau kamu was-was, tapi aku butuh Pak Mario untuk kepentingan akademisku. Susi juga." Mia berkata terlalu cepat untuk menyembunyikan keraguan hatinya. Karena sejatinya semua hasil kuliahnya dia persembahkan untuk keluarganya.
"Ekspestasimu masih terlalu tinggi, Mi. Apa enggak ada jalan lain? Selain lewat si bajing- maksudku – si Mario itu.", ujar Raka tidak puas.
Mia menggeleng, "Enggak. Pak Mario yang mengajariku dari awal untuk penyusunan karya tulis ilmiah ini. Kalau ganti dosen, khawatirnya enggak nyambung nanti. Waktu pengumpulannya sebentar lagi."
"Biar kucari dosen lain kalau perlu, Mi. Yang lebih bagus dan terpercaya daripada dia."
Mia menghela napas panjang mendengar tawaran Raka yang aneh itu. Memangnya buat karya tulis ilmiah itu semudah menyanyikan lagu sebait-dua bait begitu saja?
"Enggak bisa, Ka. Waktunya mepet. Susi juga pasti tidak setuju."
"Apa enggak ikut lomba lain? Yang lebih bagus hadiahnya mungkin? Yang masih ada waktu? Yang penting enggak perlu bawa-bawa si Mario itu. Aku janji pasti bantu, Mi."
"Tidak, terima kasih, Ka."
"Mia, tolong dengar dulu. Dia itu-"
"Jangan berani-berani mengaturku, Raka. Memangnya siapa kamu?"
Mia tidak peduli akan makiannya. Terlepas dari tawaran Raka itu ikhlas atau tidak, dia tidak mau melepas kesempatan membuat karya tulis ilmiahnya sendiri. Satu-satunya kesempatan yang bisa jadi berhasil menunjukkan kalau dia masih bisa membuktikan dirinya pada keluarganya. Pada Wirahadikusumah sialan itu.
"Aku mungkin hanya seseorang yang hanya singgah lalu pergi di hidupmu, Mi. Tapi percayalah kalau aku ini tidak mau kau bernasib sial sepertiku, apalagi dari si penipu ulung itu. Kau boleh membenci atau memarahiku sejadi-jadinya, tapi aku tidak akan pernah memaafkanku kalau kau nantinya menangis gara-gara dikecewakan."
Mia diam tidak mau menjawab. Raka yang menunggu jawaban Mia pun ikut diam. Pengunjung kafe yang datang membayar mengisi keheningan diantara mereka. Ratusan kata, umpatan banyaknya, menggunduk didalam hati keduanya, yang mungkin lebih baik dilepaskan lalu keributan yang antara mereka berulang lagi sampai semua orang disana menengahi, yang berujung pada Raka yang diusir keluar kafe. Tapi semua amarah itu mereka tundukkan ke kesunyian.
Kafe Star, bahkan dunia sekitar Mia, rasanya mendadak sepi walau masih terdengar beberapa obrolan asik diantara pengunjung. Mungkin karena dia tengah mengantisipasi seruan Raka yang akan memaksanya berubah pikiran – menunggunya untuk menghardiknya lagi lebih tepatnya. Namun Raka tidak melakukan itu.
"Aku pulang, Mi."
Kata-kata Raka singkat tapi terdengar amat lirih dan lemah. Mia bisa mendengar suara langkah kaki yang gontai menuju pintu keluar hingga bel kafe sana berdenting. Awalnya dia mengira kalau Raka hanya mempermainkannya. Berulang kali dia memanggil Raka, tapi tidak ada jawaban. Semua dugaannya terbukti salah saat seorang penjaga sekuriti datang mendekat menanyakan kabarnya karena dia baru saja melihat Raka keluar dari kafe, khawatir keributan yang dulu terulang.
"Enggak apa-apa, pak. Tadi dia pamit pulang juga. Enggak ada masalah kita.", Mia menenangkan.
"Masa sih, neng? Tadi saya lihat si Raka itu wajahnya merah banget, kayak mau nangis. Kirain tadi neng marahin dia lagi."
"Beneran, pak?"
"Seriusan, neng. Dosa saya kalau bohong."
Mia menahan jawabannya, masih tidak menyangka seorang Raka yang angkuh itu sampai terbawa perasaan seperti itu. Apa kata-katanya tadi terlalu jahat? Atau dia terlalu kasar? Sekarang dia merasa bersalah, tapi dia tahu semuanya sudah terlambat. Mungkin saja, tawaran Raka kala itu memang tulus dari hatinya. Sayangnya, Mia masih memilih kutukan ini. Kutukan keluarga Wirahadikusumah.
***