Chereads / Pelita Raka / Chapter 2 - Bab II

Chapter 2 - Bab II

Bodohnya. Puluhan wanita, yang jauh lebih cantik dan seksi dari Mia, sudah Raka permainkan angannya tetapi Raka masih tidak bisa melupakan rasa malu dan sesal saat dia diusir oleh Mia. Kenapa waktu itu dia malah mendadak marah? Apa dia lupa aturan pertama mendekati wanita itu harusnya 'mengikuti alur' kata-kata mereka? Kenapa malah Raka yang hilang kendali saat Mia menyinggung lagunya? Benar-benar ceroboh dan tidak 'profesional', cemoohnya lagi dalam hati, membenamkan wajahnya yang memerah malu ke bantal kursi sofanya.

"Baru pertama kali sok kenal sudah ribut-ribut. Dilihatin banyak orang lagi. Malu-maluin, Ka. Sumpah."

"Berisik.", Raka melempar bantal kursinya ke Roni yang tersenyum mengejek.

"Lagian...kok tumben amat ini cewek langsung sewot begitu ke kamu, Ka. Untung bibinya lagi enggak ada disana."

"Memangnya kalau bibinya disana kenapa? Aku bisa jelasin semuanya. Si Mia-nya aja lebay.", protes Raka.

"Selebay-lebaynya orang, Ka, enggak mungkin juga dia nyentak kamu didepan umum begitu. Kamu sendiri yang jerit-jerit duluan kayak anak alay."

"Salah dia lah enggak mau dengerin dulu. Aku cuma mau menegaskan kalau-"

"-kalau lagumu itu benar dan berguna buat hidupnya? Terus aja bahas itu, Ka. Bosen aku dengernya. Akui saja kalau kamu masih enggak puas ngomong sama dia. Aku enggak peduli lagi."

Raka menghela napas panjang. Walau masih dirundung kesal, dia paham kalau dia sudah mengulang itu berkali-kali seperti rekaman rusak ke temannya itu. Roni benar. Enggak ada gunanya berdiam diri di rumah mengulang penyesalannya. Solusinya cuma satu : dia harus menemui Mia.

Tapi Mia dimana? Sudah dua minggu berlalu Raka manggung seperti biasa di kafe star, tapi bukan Mia yang jaga kasir. Raka pernah menanyakan keberadaan Mia, melalui Roni, ke Ibu Sophie, tapi jawabannya hanya : "Mia lagi sibuk dengan tugas kuliahnya jadi tidak bisa mengambil shift malam."

Apa itu berarti Mia shift siang? Itu dugaan pertama Raka, sampai-sampai dia berani menyempatkan diri untuk berkunjung ke kafe Star di siang, bahkan menunggu dari kafe buka lalu tutup lagi dalam satu hari, tapi hasilnya masih nihil. Dia paham betul kalau Ibu Sophie, juga pegawai lainnya di kafe Star sana, merahasiakan kehadiran Mia. Keributan dulu dengan Mia di kafe sini mungkin penyebabnya, ratapnya kesal.

Namun Raka tidak mau menyerah. Kalau Mia, juga komplotannya di Kafe Star, menghalanginya untuk menemui Mia, dia masih bisa menemuinya di tempat lain di dunia ini, di pulau lain, luar kota, luar negeri bisa jadi, atau mungkin di tempat dia menghabiskan sebagian besar waktunya dalam satu hari.

Di rumahnya? Tapi Raka tidak tahu rumahnya. Berarti dikampusnya? Raka sering dengar kalau Mia amat sibuk kuliah, yang berarti dia pasti lebih lama disana daripada di kafe. Pertanyaannya, Mia kuliah dimana? Memang ada kampus yang memfasilitasi orang-orang berkebutuhan khusus? Kemungkinan ada. Tapi dimana?

"Lagi mikirin negara, Ka? Serius amat mukanya."

Raut wajah Raka masih merengut. Dia menyender, lalu bersedekap, mengingat semua universitas dikotanya yang pernah dia kunjungi. Tangannya reflek mengambil smartphone lalu browsing mencari informasi yang dia butuhkan. "Kira-kira si Mia kuliah dimana, Ron?", tanyanya tiba-tiba. Tatapannya masih tertuju layar ponselnya.

"Enggak tahu, Ka.", jawab Roni singkat dan padat. Baru saja dia beranjak dari kursi sofa, wajahnya tampak termenung, menilik kembali ingatan akan obrolan-obrolan santai di Kafe Star seusai manggung. Salah satunya tentang Mia. "Eh...kalau enggak salah...",

Raka sontak berbinar saat melihat temannya itu. Buru-buru dia melempar semua perhatiannya ke Roni, "Gimana? Gimana?"

"Aku pernah dengar kalau si Mia itu kuliah di-"

"Dimana, Ron? Cepet jawab."

"...duh, kok lupa. Kampus Bumi Siliwangi itu apa ya?"

"Oh itu, apa namanya, UPI, Ron! Beneran disana kan?"

"Seingetku sih."

"Jurusannya?"

"Aku enggak nanya sampai sana, Ka."

"Ah elah, terus aku nyarinya gimana? Masa ngecek satu-satu fakultas disana? Keburu dia lulus nanti!"

"Ya, itu masalahmu, Ka."

Raka kembali duduk sambil memijat dahinya. Baru saja harapan datang, informasinya ternyata masih setengah, dan mungkin saja mentah. Marah ke Roni tidak ada gunanya. Dia harus cari informasi lagi. "Beneran enggak ada informasi lagi, Ron?", tanyanya agak murung. "Apa kek, mungkin pernah ada yang ngebicarain si Mia lagi fokus apa gitu di kuliahnya."

Roni menggeleng tidak peduli. Raka kembali memutar otak di tengah kedongkolannya, memunculkan lagi Mia dalam benaknya, sambil mengenyampingkan cekcok dengannya dulu, lalu menggali lagi, apapun itu, yang berhubungan dengan jurusan kuliah Mia.

Apa ada buku kuliahnya? Tidak. Raka tidak melihat buku apapun di meja kasirnya waktu Mia disana. Kalaupun ada, memang Mia membacanya seperti orang normal? Raka melempar pandangannya ke langit-langit kamarnya, membiarkan sosok Mia menaungi pikirannya, yang menjaga kasir dengan mandiri tanpa bantuan orang lain, yang dengan ramah mengucapkan terima kasih pada setiap pengunjung setelah membayar, yang 'berani' menentang prinsipnya di pertemuan pertamanya, yang membuat dia kehilangan ketenangannya karena berhasil – cukup, Raka. Raka memejamkan kedua matanya lelah. Emosinya bergejolak lagi, menghilangkan semua ketajaman pikirannya. Satu-satu dugaan, atau boleh dibilang tebakan, adalah Mia, bisa jadi, kuliah di jurusan manajemen atau bisnis atau semacamnya yang sejenis seperti itu.

"Gimana? Sudah dapat pencerahan?", tanya Roni mulai khawatir melihat wajah temannya yang kian muram.

"Sudah", Raka mengucek matanya sekilas, "DIa kayaknya kuliah di manajemen atau bisnis atau apalah yang ada di rumpun sana."

"Yakin amat. Tahu darimana?"

"Ya...dia kan kerja jadi kasir. Pasti sudah harus tahu sedikitlah tentang keuangan kafe atau apa kek yang berhubungan sama itu."

"Kerjaan kasir bukannya cuma nerima duit sama ngasih kembalian?"

"Ya, itu kan praktiknya. Tapi kalau dihubungin ya...ilmunya pasti manajemen....kali."

"Sepupuku yang cuma lulusan SMP bisa tuh jadi kasir."

"...kayaknya dia bukan sekedar kasir. Aku yakin banget dia bisa ngurus informasi keuangannya. Apa itu berarti ya? Akuntan itu bukan sih?"

Roni meneleng, tidak tega untuk bertanya lebih jauh melihat raut temannya yang kian putus asa itu. "Ya, bisa aja, Ka. Mungkin."

Raka memaksakan senyumnya, menyambut afirmasi Roni agar tebakannya itu ada yang mendukung. Pelan-pelan dia beranjak dari kursinya, segera cuci muka untuk menepis semua lelah yang merecoki pikirannya selama dua minggu ini. Curhat ke Roni setelah dua minggu membisu sejak kejadian itu benar-benar bijak, pikir Raka. Jalannya ke Mia kini kembali terang benderang.

"Mau kemana, Ka? Jadi enggak nih kita latihan? Katanya kamu sudah ada ide untuk lagu baru."

Raka tentu berbohong soal itu. Mana mungkin dia bisa mendapat inspirasi setelah bayang-bayang Mia yang menyentak – menolaknya lebih tepatnya – merundung pikirannya? Dia hanya ingin Roni bisa membantunya.

"Nanti lagi deh. Aku mau ke UPI."

"Sekarang banget? Seriusan kamu masih ngejar si Mia?"

"Aku mau bantu dia, Ron.", jawab Raka keras saat keluar dari kamar, menyamarkan suara hatinya yang menjerit : Aku belum kalah sama dia.

***

"Wajar, kalau di dalam organisasi, ada sebagian pegawainya yang oportunitis. Soal banyak atau sedikitnya, itu tergantung kebijakan perusahaan yang mengatur jam kerja dan insentif. Atau bisa jadi, ada faktor lain yang tidak bisa diukur dan sulit diidentifikasi."

Mungkin orang-orang macam itu sudah sinting, balas Mia dalam hati saat kata-kata dosennya itu muncul dibenaknya. Buat dia, organisasi, baik itu untuk kepentingan bisnis atau nirlaba, pasti terkait dengan visi. Kalau tidak ada visi, ya buat apa ada organisasi? Kalau ada orang dari organisasi yang tidak suka dengan visi organisasi? ya buat apa ada mereka? Pecat saja mereka, ganti dengan orang yang lebih mahir dan berkomitmen untuk mencapai visi organisasi. Sama halnya seperti hidup. Kalau ada orang yang tidak suka dengan visi kita, jauhi saja. Jangan lagi berhubungan dengannya. Raka contohnya.

Mia tahu kalau di dunia ini pasti ada saja orang brengsek, arogan, merasa diri paling benar dan berhak mengatur hidupnya. Tapi dia tidak menyangka kalau menghadapinya langsung benar-benar menguras emosi dan pikiran. Apalagi saat dia tahu kalau Raka masih berusaha mencarinya di Kafe Star bahkan setelah mereka ribut.

Mia ingat kalau dosennya pernah membahas, bisa saja alasan pegawai dalam suatu organisasi bisnis menjadi oportunis karena tidak merasa ada 'rasa memiliki' dengan organisasi. Berani betul orang-orang macam itu, mengambil gaji sambil memanipulasi organisasi tempat mereka kerja. Dia masih tidak terima kalau dosennya menyarankan untuk pegawai macam itu baiknya dirangkul untuk kerja bersama demi lingkungan organisasi. Memangnya Raka pantas 'dirangkul' walau sudah merendahkan dirinya dan saudara-saudaranya sesama penyandang tunanetra? Si Raka itu tidak sadar apa kalau tidak ada orang yang mau dilahirkan atau hidup menjalani kebutaan? Apa si pujangga angkuh itu tidak sadar kalau dia tidak ingin bernasib macam ini, apalagi dengan kondisi kalau dia lahir sebagai keturunan Wirahadikusumah?

Berhenti. Kumohon berhenti, Mia. Ini sudah terlalu berlebihan.

Mia berhenti melangkah. Perlahan mengatur napasnya yang berderu. Semua suara di kepalanya selalu meledak setiap kali Raka muncul di tiap sela-sela lamunannya. Dia beruntung Bibi Sophie dan rekan-rekannya di Kafe Star membantunya agar Raka tidak 'melabrak', menggoda, atau melakukan apapun kepadanya yang dia yakin akan berujung pada kemarahannya nanti. Hanya saja, dia tidak bisa bohong kalau percakapan terakhirnya dengan Raka dirasa masih menggantung. Ada yang belum selesai, pikirnya, yang mungkin saja dia menyudahinya terlalu cepat karena kadung marah waktu itu, atau mungkin dia takut mengakui kalau, bisa jadi, ada kata-kata Raka yang benar adanya.

"Kenapa, Mi? Ada yang kelupaan?"

Sekarang Mia berhenti melamun. Dia lanjut menyusuri jalan dengan tongkatnya sambil berjalan pelan sampai dia menghampiri suara temannya yang ada didepannya. "E-enggak.", balasnya buru-buru berharap Susi tidak cemas.

"Akhir-akhir ini kamu sering ngelamun, Mi. Ada masalah?"

Susi memang peka, bisik Mia dalam hati. Sulit bagi Mia untuk menyembunyikan masalahnya kalau harus berhadapan dengan temannya itu.

"Cuma nginget-nginget saja tugas dari Pak Mario. Aku lupa sudah buat atau belum ya untuk presentasi lusa nanti."

"Kirain ngingetin si Raka itu."

Insting Susi terlalu tajam. Mia bahkan tidak bisa menyembunyikan masalahnya dengan Raka satu hari setelah kejadian 'itu'.

"Jangan ngingetin yang itu deh."

"...cuma mastiin saja. Jadi masih inget?"

"Ya, kesel sih, tapi mau gimana? Dia masih ngejer juga sampai ke kafe. Takut aku."

"Panggil polisi aja. Biar dia dipenjara sekalian."

Mia meneleng. Nada mengancam Susi terdengar tegas, yang berarti dia amat peduli dengan keselamatannya. Tapi Mia tidak sampai hati untuk melakukan itu. Raka memang menyebalkan, tapi tidak sampai membahayakan nyawa atau hartanya. Membahayakan impiannya, kalau boleh dibilang. Cukup dijauhi saja.

"Nanti juga dia capek sendiri, Sus.", ujar Mia menyudahi

"Bukannya cowok malah lebih ngejar kalau ceweknya menghindar terus?"

"Kayaknya dia bukan ingin macarin aku deh."

"Terus apa dong? Dia kan playboy. Banyak mantan-mantannya yang masih ngarep sama dia, Mi. Aku enggak mau kamu jadi salah satu dari mereka nanti."

Mia meringis, "Tenang, Sus. Mana mau aku sama dia."

"...ini sudah dua minggu sejak kejadian, tapi kamu masih kepikiran sama dia. Aku khawatir kamu malah kepengaruh pelan-pelan."

"....yang ada aku malah makin benci dia tiap harinya.", tepis Mia. Atau mungkin, dia belum berani melepas kejengkelannya atas tuduhan Raka itu. Kalaupun ada sesuatu yang 'positif' darisana, walaupun itu cuma secuil, mungkin Raka jadi pendorong agar dia semakin semangat belajar sehingga dia bisa membuktikan dirinya pada si pujangga kampungan itu kalau dia bisa meraih prestasi lebih besar darinya.

"Sekarang kamu senyum-senyum sendiri, Mi. Gimana sih?"

Mia sontak menutup mulutnya kaget sambil memaksakan merengut, "Enggak, ini bukan senang atau gimana kok."

"Beneran? Aku serius nih. Jangan pernah naruh rasa apapun sama dia, bahkan rasa kasihan sekalipun, Mi. Cowok macam itu pinter mainin perasaan.", tegur Susi.

"Yaa....aku ngerti. Nanti kalau sudah sebulan aku menghindar dia pasti males sendiri kok."

"Awas ya kalau-"

Mia berhenti tiba-tiba ketika Susi merangkul salah satu lengannya. Rangkulannya kian erat hingga Mia menempel di sisi tubuh Susi. Mia terus bertanya-tanya, tapi Susi belum menjawab. Susi malah menariknya mundur sambil mengambil tongkatnya, memaksa dirinya untuk balik arah.

"Sus, kenapa? Kita mau ke parkiran kan?",

"Jangan. Jangan lewat jalan ini, Mi.", balas Susi berkali-kali terdengar panik, membuat Mia ikut cemas.

"Kenapa? Lagi banyak orang didepan memang?", Mia masih keheranan.

"Bukan, bukan itu-"

"Mia!"

Dada Mia sontak mencelos. Teriakan pria itu begitu lugas dan jelas tertuju pada dirinya. Teriakan yang sontak membekukan tubuhnya, menghilangkan niatannya untuk ikut berjalan cepat Bersama Susi. Teriakan itu juga yang memicu rasa gemetar, bercampur dengan antusias, didalam hatinya. Teriakan pria yang dia benci. Teriakan Raka.

"...Raka?"

"Bentar-bentar.", Raka sontak menghadang Susi dan Mia. Susi reflek memagari Mia sehingga Raka menjaga jaraknya. Kalau saja Mia bisa melihat, mungkin dia sudah ketakutan karena raut wajah Raka yang girang itu macam anak kecil yang baru saja melihat mainan impiannya, pikir Susi. "Ternyata kamu beneran kuliah disini. Baguslah.", lanjut Raka menyudahi atmosfir yang terasa keruh sebelumnya diantara mereka.

"Mia mau pulang. Dia tidak mau ketemu denganmu.", perintah Susi, tapi Raka tidak tertekan.

"Dia enggak ngomong gitu kayaknya...", balas Raka santai, sambil berharap Mia mau mendengar saat melihat Susi mencuri bisik untuk mempengaruhi Mia. "Aku bukan mau cari ribut, Mi. Cuma ingin ketemu aja. Tumben kita enggak pernah ketemu lagi di kafe.", lanjutnya pelan-pelan.

"Tahu darimana aku kuliah disini?", tanya Mia.

"Emm....nebak sebenarnya sih. Tapi bisa jadi ini takdir. Tuhan ingin mempertemukan kita, Mi. Hari ini. Sekarang juga.", jawab Raka lembut, "...romantis ya?"

Susi meneleng. Raut mukanya tampak jengkel mendengar kata-kata penuh tipuan Raka. Berulang kali dia membisikki Mia untuk segera pergi dari Raka, tapi Mia malah tak bergeming. Rasanya ada tembok tak terlihat yang tiba-tiba membatasi dirinya untuk meraih perhatian Mia, yang sialnya tembok itu tidak menghalangi Raka.

"Dari sang pujangga menjadi penguntit. Aku kasihan sama kamu, Ka.", ejek Mia

"Sambut aku kayak ksatria kuda putihmu, Mi. Kamu kan putri yang harus kutolong."

"Orang-orang pesimis macam kamu yang harusnya ditolong, Ka."

"Pragmatis. Bukan pesimis."

"Sama saja."

"...berarti kita lanjut lagi nih?"

Mia hampir menjawab 'iya' untuk mengakhiri kerumitan di hatinya, tapi sontak menahan dirinya. Tangannya reflek menggenggam tongkatnya lebih erat. Susi pun kian menariknya, mungkin karena sadar saat ada raut cemas yang tidak bisa disembunyikan di wajahnya. Perlahan dia mengikuti langkah Susi untuk menjauh, tapi tidak lama keduanya berhenti. Raka menghalangi mereka. Tidak peduli apa pun ancaman yang dicelotehkan Susi, sampai-sampai dia mengancam akan teriak biar seantero fakultas ekonomi dan bisnis itu datang menghajar pria didepannya itu, Raka masih tetap di posisinya. Apa yang sebenarnya pria aneh ini inginkan darinya? Dari seorang tunanetra? Dari seorang Mia? Seorang Wirahadikusumah yang dibuang.

"Apa untungnya buat kamu, Ka? Aku enggak peduli kalau kamu mau jalani hidupmu pesimis kek pragmatis kek, terserah kamu. Tapi jangan bawa-bawa aku. Aku punya jalan hidupku sendiri. Tujuanku sendiri. Mimpiku sendiri. Kita enggak perlu perdebatkan ini lagi.", tegas Mia.

"Jangan menghindar dulu, Mi. Aku hanya bawa peringatan. Jangan sampai kita dikecewakan sama mimpi kita sendiri. Kita enggak pernah tahu apa yang sebenarnya harus kita kejar di hidup ini."

"Apa keluargamu terlalu pelit untuk memberitahunya,?"

"Kalau mereka yang kasih tahu, berarti itu mimpi mereka, Mi. Kita cuma disuruh dari lahir sampai dewasa ikutin mereka. Jadi kacung mereka."

"Ada yang salah sama anak yang berbakti dengan orang tuanya?"

"Tergantung orang tuanya, memperlakukanmu sebagai anak atau 'piala' atau mungkin cuma sekedar investasi jangka panjang di masa tua mereka nanti."

Mia menahan argumennya. Sekilas sosok ayah dan ibunya, juga kakak-kakaknya, terbesit memenuhi benaknya. Mereka menatapinya iba lagi dingin. Mungkin Mia tahu kalau kebutaan yang dia dera membuatnya tidak bisa memenuhi ekspetasi mereka – untuk menjadi investasi terbesar mereka maksudnya. Raka terlalu benar soal ini. Tapi bukan berarti dia menyerah untuk merangkak naik di tengah kegelapannya.

"Mi, ngapain ditanggapin serius sih? Yuk pulang!", desis Susi tidak sabar. "Hei! Aku benar-benar akan teriak kalau kau masih ganggu Mia.", sentaknya keras ke Raka.

"Aku cuma ngobrol.", Raka menatap Mia yang masih terpaku, tersenyum puas, lagi sinis, melihat keraguan kian terpahat di wajah Mia. "Jadi orang tuamu yang nyuruh kuliah disini ya? Aku apresiasi semangatmu, Mi. Hati-hati saja sama ekspetasimu itu. Bisa jadi mereka salah 'memperlakukanmu'."

"Kenapa jadi sok tahu tentang keluargaku?", tanya Mia menantang.

"Aku cuma memperingatimu. Toh bisa saja aku salah kan? Aku harap sih seperti itu."

"Kenapa repot-repot?"

"Karena aku peduli sama kamu, Mia."

Raka boleh saja melembutkan nadanya dan memaniskan kata-katanya, tapi yang bergejolak di hati Mia hanyalah amarah dan benci. Mia sejenak membisiki Susi untuk tidak menariknya lagi. Dia malu karena sempat ragu akan mimpinya tadi setelah Raka mencoba memanipulasinya. Sekarang, dia harus menghadapinya.

"...berarti kamu jadi penyanyi bukan karena keluargamu?"

"Mereka enggak ngerti musik. Mereka enggak peduli juga. Tapi aku masih kuliah seadanya, buat kamuflase."

"Pantas lagumu muram semua, Ka."

"Itulah realita hidup, Mi."

"Yang kutahu, enggak semua orang punya masalah sama seperti perlakuan keluargamu. Ada banyak temanku yang berusaha keras belajar disini untuk membanggakan orang tuanya. Kenapa kamu enggak coba hal yang sama?"

"Ngapain jadi 'boneka' mereka? Kita dilahirkan bebas. Aku bisa sukses dengan nyanyianku sendiri."

"Biar kamu dapat kepercayaan lagi dari keluargamu."

"Sekarang kamu yang repot-repot meyakinkanku? Memangnya kamu tahu keluargaku?"

"'Karena aku peduli sama kamu, Raka.'", jawab Mia meniru-niru suara lembut Raka.

Sempat hening sejenak. Mia bisa mendengar Raka yang tercekak setelah dia melontarkan kalimat terakhirnya. Sekarang Mia yang tersenyum lega, yang bisa jadi senyumnya kian lebar kalau dia bisa melihat kejengkelan Raka didepannya itu. Tapi Raka buru-buru memaksakan tawanya yang terdengar payah, menandakan dia belum mau kalah.

"Kamu bakal lebih menghargai hidupmu kalau kamu mengikuti passion-mu, Mi. Bukan sekedar nurut sama orang tua."

"Aku tidak percaya, Ka."

"Aku bukti nyatanya kalau kamu masih tidak percaya."

"Orangtuamu tidak sejahat yang kamu pikirkan. Mereka sudah susah payah mengasuhmu dari kecil, kan?"

"Peternak juga menjaga sapinya dari orok sampai dewasa biar bisa dia potong dan jual nanti, Mi. Apa bedanya sih?"

"Analogimu buruk."

"....atau mungkin kamu belum puas sama penjelasanku? Kita bisa lanjut ini di rumahku, atau mungkin di tempat lain, Mi. Aku yang antar.", Raka mendehem saat Susi sontak menarik mundur Mia, " Tenang, aku enggak akan macam-macam. Temanmu boleh ikut kalau tidak percaya. Kita bisa ngobrol santai, atau mungkin sambil belajar musik. Seru kan?", lanjutnya merayu sambil menghampiri.

Mia mundur beberapa langkah saat mendengar Susi menyentak, yang dilanjut dengan cekcok antara Raka dengan Susi. Bisikan-bisikan lain riuh terdengar ramai di sekitarnya, menandakan kalau kenekatan Raka membuat keributan baru. Berulang kali Mia memanggil Susi hasilnya nihil. Apa dia harus mengalah pada keinginan Raka? Dia khawatir kalau teriak minta tolong malah menimbulkan isu aneh yang bakal membuatnya tidak nyaman kuliah disini selanjutnya. Apalagi amukan Susi kian terdengar liar. Kalau ini berarti Raka masih ingin menantangnya, maka dia harus berani menerimanya. Demi menguji keteguhannya akan mimpinya. Atau mungkin, mempertanyakan kembali kepatuhannya pada keluarga Wirahadikusumah.

"Raka, tolong- "

"Ribut-ribut apa ini?"

Ada suara pria paruh baya, nadanya berat tapi lugas. Suara yang Mia kenal di setiap kuliahnya. Seingatnya itu suara dosennya, Mario. Tapi tidak pernah dia sangka kalau Mario, yang terkenal ramah pada mahasiswanya itu, bisa berkata sekeras nan menggelegar seperti itu. Dia bahkan tidak mendengar lagi suara Susi dan Raka yang cekcok. Langkahnya mendadak mundur saat sadar kalau Susi sudah menariknya menjauh.

"Itu Pak Mario, bukan?", tanya Mia tidak sabar.

"I-iya, Mi."

Susi terdengar takut. Mia bahkan merasakan tubuhnya gemetaran. Apa karena tadi ribut dengan Raka?

"Sus, kamu enggak apa-apa kan? Si Raka ngapain memang?"

"O-oh...bukan si Rakanya sih. Tapi-", Susi menahan jawabannya. Dia masih menariknya menjauh sehingga suara ramai disekitarnya kian senyap dengan sendirinya. Ketika Susi berhenti, Mia langsung melanjutkan pertanyaannya, tidak peduli walau dia masih mengatur napasnya.

"Kenapa? Si Raka enggak ngikutin lagi kan?"

"Enggak, Mi. Pak Mario bantu kita tadi."

"Oh...beneran Pak Mario ternyata. Enggak nyangka."

"Ada yang lebih 'enggak nyangka' lagi sih sebenarnya, Mi."

"Maksudnya, Sus?"

"...tadi aku dengar siRaka keceplosan manggil dosen kita ; 'ayah'."

***

Raka menyesal saat kata 'itu' keluar dari mulutnya. Kata yang sudah dia buang untuk memanggil pria bajingan yang sudah menelantarkannya dalam kemiskinan dan kebingungan. Dunianya yang semula euforia pada Mia sontak bergeser menjadi ketakutan, dibalut kebencian yang teramat sangat, saat bedebah itu menghadap angkuh didepannya. Hampir sepuluh tahun tak bersua, tapi hanya dengan sekilas tatap, naluri seorang anak reflek paham kerutan di wajah pria itu tidak akan cukup melupakan akan wajah ayahnya sendiri.

Ketegangan diantara mereka mengendur ketika Mario menyuruh kerumunan mahasiswa yang melihat mereka untuk bubar, menyisakan Raka dan ayahnya semata. Hati Raka sontak awas karena Mario kini menatap fokus padanya.

"Sudah selesai ngelamunnya? Ngapain kamu ribut-ribut sama mahasiswaku?", tanya Mario dengan nada mengancam, persis seperti sepuluh tahun yang lalu.

"Peduli amat. Mahasiswamu yang ribut sendiri. Aku santai saja tuh.", jawab Raka sama menantanganya.

"Kamu orang asing disini. Jangan aneh-aneh, lah. Hampir satpam sini ngusir kamu."

"Asing ya? Kamu sekarang enggak mengganggapku lagi?"

"Bukan begitu maksudnya. Gimana kabar kakek?"

"Ngapain tanya-tanya? Datang sendiri ke rumah kalau cemas sama kakek.", Suara Raka sengaja dia buat tinggi karena dia tidak mau kalah dengan tatapan menekan ayahnya. "...yang pasti, kakek sudah tidak peduli lagi sama kamu.", lanjutnya dingin, berharap ayahnya kian frustasi.

Mario mengangkat bahunya enteng, "Berarti dia masih sehat. Ya sudah. Ngapain kamu disini lagi? Enggak kuliah kamu?"

Raka menggeleng kesal. Sekilas dia menatap sekeliling, Mia sudah tidak lagi terlihat, bahkan di kejauhan sekalipun. Brengsek, kutuknya dalam hati. Ayahnya benar-benar mengalihkan perhatiannya. Semua rencananya gagal.

"Jawab -"

"Aku enggak ada jadwal kuliah hari ini. Puas?", sela Raka keki.

"Lantas ngapain buat ribut di kampus lain?"

"Kenapa jadi sibuk ngatur aku sih? Urusan mahasiswa sama dosen tuh udah selesai kalau kuliahnya selesai."

"Mia sama Susi itu mahasiswi terbaik di kelasku. Karya tulis ilmiah mereka dibawah pengawasanku dan akan dilombakan di tingkat internasional. Wajar kalau aku khawatir."

"Terserah. Hubunganku dengan Mia itu personal. Dosen enggak perlu ikut campur.", tegas Raka walau wajah ayahnya itu sudah memerah marah. Dia malah bakal senang kalau ayahnya yang akan meninjunya sehingga dia punya alasan untuk menghajarnya lebih brutal. Sayangnya si bajingan itu masih bisa menjaga citranya di tempat dia bekerja.

"Aku mengatakan ini sebagai ayahmu.", Mario mengumpat dengan dehemannya. Tatapannya masih melekat pada anaknya.

"Aku tidak ingat aku punya ayah. Yang kupunya hanya kakek.", Raka mundur perlahan saat ayahnya hendak menggapainya. Keduanya sama-sama berhenti melangkah.

"Jangan terlalu percaya sama ucapan kakek. Coba pahami ceritanya dari sisiku, Raka. Kakekmu bisa saja tidak sebaik yang kau kira.", tegur Mario, tapi Raka langsung tak acuh lalu membalikkan badan.

"Kakek yang menyelematkanku. Mia enggak akan kubiarkan bernasib sama sepertiku.", Raka mengakhirinya sambil lanjut pergi tanpa menoleh lagi sebelum amarahnya membutakannya untuk menghajar ayahnya di tempat. Mungkin dia gagal untuk menemui Mia, tapi setelah sadar kalau ayahnya itu menjadi dosennya, ambisinya untuk mengamankan Mia makin besar. Dia bersumpah tidak akan berhenti mengejar Mia agar dia tidak mengalami penderitaan yang sama sepertinya. Atau mungkin agar Mia memahami dirinya, juga lukanya.

***