"Terimakasih," ucap Andrea pada akhirnya. Ia mendesah kecewa karena tak mendapatkan respon apapun dari Azka. Bahkan lelaki itu kini bangkit dari duduknya dan menuju entah kemana. Andrea tak bisa menolehkan kepalanya karena terlalu takut akan kecewa jika lelaki itu kembali mengabaikannya. Namun ia kembali terkejut saat Azka menarik kakinya dan mengompreskan air hangat di sana. Tanpa suara tentunya. Andrea memutar isi kepalanya hingga 360' untuk memulai pembicaraan namun hasilnya nihil. Ia terus terdiam hingga merasakan nafas dengan bau mint yang begitu menyegarkan berada tepat di depan wajahnya. Andrea menelan salivanya susah payah saat wajah Azka kini sangat dekat bahkan nafasnya mengenai permukaan wajahnya. "Apa?" ucapnya dan langsung terhenti ketika Azka membuka bibirnya dan bergerak mendekat hingga akhirnya lelaki itu tersenyum miring.
"Jangan terlalu jauh berpikir Andrea," seru Azka sembari bangkit dari posisi duduknya di dekat kaki Andrea. Ia beranjak menuju dapur dan meninggalkan gadis yang sedari tadi diacuhkannya itu. Ia pun membuka kulkas dan hanya menemukan sosis dan telur ayam saja dan jadilah ia membuat sarapan dengan bahan yang ada tanpa niatan untuk bertanya bagaimana selera gadis itu. Baginya hal itu tidak penting mengingat sejauh ini mereka bahkan hanya berteman dekat. Sejenak kemudian Azka menggelengkan kepalanya menyadari jika ia yang justru sudah berpikir terlalu jauh.
Sementara itu, Andrea tak bisa menghilangkan senyumannya saat melihat Azka sedang membuatkannya sarapan. Ia berjalan tertatih menuju dapur karena penasaran dengan apa yang dilakukan oleh lelaki itu sehingga membuatnya terlalu lama berada di ruangan yang terbilang sempit jika di bandingkan dengan ruangan lain di apartemen itu. Andrea duduk di kursi dekat meja makan sembari memperhatikan setiap gerakan yang di buat oleh tubuh jangkung itu. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya pada Azka yang mengacuhkannya. "Apa kau sudah terbiasa memasak?" tanya Andrea lagi saat melihat Azka sedang menuangkan sesuatu ke dalam sebuah piring. Entah bagaimana lelaki itu bisa menemukan semua peralatan masak yang di simpan oleh mamanya di ruangan yang sangat tidak di sukai Andrea itu, padahal Andrea sendiri yang merupakan pemiliknya kadang kesulitan bahkan hanya untuk menemukan benda yang bernama sendok.
Azka sedikit terkejut saat melihat Andrea sudah berada di dapur. Karena terlalu fokus memasak ia bahkan tidak menyadari jika ada makhluk lain yang berada di tempat yang sama dengannya. Azka tersenyum samar menyadari hal itu. "Hmm," jawabnya sambil meletakkan piring itu di atas meja depan Andrea. Ia pun kembali berkutat dengan sesuatu entah apa yang sekarang ada di dalam wajan. Tanpa sekalipun menoleh ke arah Andrea yang masih setia memandangnya dengan tatapan kagum.
"Apa kau sering berolahraga di lapangan?" tanya Andrea lagi. ia berusaha untuk mengajak lelaki itu berbicara hanya sekedar ingin tahu apakah kejadian kemarin malam masih di ingat atau tidak. Jujur saja Andrea sangat malu saat berpapasan dengan Azka di saat dirinya sedang menjadi Andrea yang lain. Ia mulai berpikir bagaimana penilaian Azka saat ini tentang dirinya.
"Hmmm," jawab Azka sembari tetap memasak. Ia sama sekali tak menoleh ke arah Andrea.
Andrea bersusah payah menahan diri untuk tidak mengamuk saat ini, pasalnya lelaki itu sudah berbaik hati menolongnya. Ia sudah berusaha keras untuk menghilangkan suasana canggung, tapi Azka justru bersikap sedingin es batu. Ia akhirnya memilih diam dan menunggu saja lelaki itu selesai menyiapkan sarapan.
Azka kini sudah menyelesaikan masakannya. Ia menyiapkan nasi goreng, acar dan juga telur mata sapi di atas meja. Ia bisa melihat binar bahagia di wajah gadis ayu itu saat semua makanan itu di dekatkan padanya. Tanpa di sadari bibir lelaki itu mulai tertarik ke atas membuat lengkungan yang sangat langka. Ya, Azka akhirnya tersenyum walaupun itu sangat tipis dan bahkan tidak di sadari oleh Andrea. "Makanlah," katanya kemudian beranjak. Namun belum jauh melangkah, ia merasakan yang menarik pergelangan tangannya. Dengan sangat terpaksa Azka harus menoleh ke arah gadis yang kini sedang memasang puppy eyes ke arahnya. Dengan malas Azka menaikkan sebelah alisnya untuk bertanya apa maksud gadis itu. Ia sama sekali tak mengeluarkan suara.
"Tinggalah," ucap Andrea yang tidak mendapat sambutan apapun dari lelaki itu. Ia mengesah kentara dan menatap penuh permohonan pada lelaki jangkung nan dingin itu. "Aku tidak mau sendirian. Biasanya, mama akan selalu menemaniku saat aku sedang sakit," imbuhnya saat lelaki itu tak juga merespon ucapannya.
Azka menatap lekat Andrea yang kini mulai memasang wajah muram. Sebenarnya ia tidak bisa berlama-lama berdekatan dengan makhluk Tuhan yang bernama wanita karena ia sama sekali tidak tertarik. Namun kali ini nalurinya tak sejalan dengan isi kepalanya sehingga akhirnya ia pun mengangguk dan kembali duduk di hadapan Andrea. Entah mengapa ia tidak bisa meninggalkan gadis itu begitu saja. Apalagi saat melihat gadis itu kesusahan berjalan. Satu sisi hatinya merasakan kesedihan yang entah datang darimana. Ia pun menunggu Andrea yang kini sedang memakan nasi goreng buatannya dengan lahap sembari menceritakan apa saja yang sebenarnya menurutnya tidak penting. Namun entah kekuatan darimana yang kini telah menyihirnya sehingga ia pun dengan tenang mendengarkan setiap bait kata yang keluar dari bibir cantik di hadapannya itu. Menggingat sebutannya itu Azka menggelengkan kepala samar pada akhirnya. Belakangan ini semua hal yang berkaitan dengan Andrea selalu saja membuat kinerja kepalanya seolah berputar 180' dan membuatnya menjadi orang lain yang dirinya sendiri tidak mengenali. "Apa sebesar itu pengaruh seorang Andrea dalam diriku?" bathin Azka sembari menatap datar Andrea yang kini mulai menyantap suapan terakhirnya.
Andrea masih dengan celotehannya ketika Azka bernajak menuju wastafel untuk mencuci piring dan gelas bekasnya. Ia menatap punggung kokoh itu dengan tatapan yang dia sediri tidak mengerti. "Kenapa hanya satu piring nasi gorengnya?" ucapnya setelah menyadari bahwa hanya ia yang sarapan. "Apa kamu sudah sarapan?" ucapnya lagi.
"Hmmm." lagi dan lagi. membuat Andrea semakin menghela napas panjang.
"Apa kamu sakit gigi? Atau terlalu takut mengeluarkan suaramu di depanku?" kesal Andrea pada akhirnya. Ia sudah tidak bisa menahan diri karena lelaki itu tetap saja tidak mau berbicara dengannya.
"Jangan bicara omong kosong," ucap Azka akhirnya sembari membantu Andrea untuk ke kamar tengah. Ia juga membantu Andrea mengambil beberapa novel yang ada di rak buku di damping televisi kemudian kembali duduk tanpa suara. Setelah beberapa menit akhirnya lelaki itu memborbardir Andrea dengan pertanyaan yang sama sekali tidak bisa di jawab.
Andrea sudah tidak berminat mengucapkan kata apapun bahkan untuk berterimakasihpun ia memikirkannya ulang. Ia sudah lelah mengajak lelaki itu berbicara namun hasilnya tetap nol besar namun sekalinya berbicara justru dirinya yang dibuat bungkam. Ia pun memilih menyibukkan diri dengan membaca novelnya hingga kini pandangan matanya mulai meredup. Dan akhirnya Andrea pun terlelap.
Azka masih tampak acuh saat melihat Andrea yang kini sudah menutup wajahnya dengan novel. Ia mengesah lelah karena gadis itu tak menjawab pertanyaannya sama sekali dan malah mencoba mengalihkan pembicaraan. Bahkan posisi gadis itu kini sudha merebahkan seluruh tubuhnya pada sova lembut itu. Ia mengesah pelan karena melihat Andrea kedinginan. Ia pun segera mengambil remote AC kemudian melangkah menuju kamar yang ia yakini adalah kamar Andrea untuk mengambil selimut. Entah perasaan apa yang ada di dalam diri pria itu kini, namun ia sama sekali tidak ingin melihat Andrea kesusahan. Ia ingin selalu membantu gadis itu. "Kau akan baik-baik saja," lirih Azka sembari menyelimuti tubuh semampai Andrea. Ia tersenyum kecil dan akhirnya kembali duduk di sofa dekat gadis itu. Sesekali ia melirik jam di dinding untuk mengingat jam makan siang. Tak terasa akhirnya ia pun ikut terlelap setelah merasa lelah membaca buku yang ada di rak milik Andrea.
Ting Tong Ting Tong
Suara bel apartemen Andrea bebrunyi beberapa kali membuat Azka mengerjapkan matanya. "Shit," umpatnya saat menyadari bahwa ia tertidur dan ikut melewatkan makan siang. Sekarang jarum jam di dinding sudah menunjuk pada angka 2. "Lama sekali aku tertidur," ucapnya sembari menyesuaikan pandangan matanya dengan sekitar dan kembali tersadar bahwa sedari tadi ada orang yang membunyikan bel. Azka sedikit khawatir karena ia tidak tahu siapa yang datang sekarang. Ia takut jika itu adalah orangtua Andrea atau bahkan lelaki paruh baya yang sering menjemput Andrea ke kampus. Dengan perlahan Azka beranjak dan mengintip pada layar monitor yang ada di dalam ruangan itu. Ia pun membuka pintu dengan perlahan setelah menghembuskan napas lega saat mengetahui tamu Andrea adalah Reyma.
"Bagaimana kondisi Andrea? Apa dia baik-baik saja?" tanya Reyma setelah mereka masuk.
"Hmmm," jawaban Azka masih sama membuat Reyma memutar bola matanya malas.
"Buka mulutmu, aku ingin tahu apa yang ada di dalamnya sampai-sampai kau sangat sulit mengeluarkan suara," kesal Reyma sembari berjalan mendekat ke arah Azka yang telah menatapnya dengan tajam. Ia akhirnya mendesah pelan saat Azka semakin memberinya tatapan peringatan. "Pulanglah. Tidak ada untungnya juga aku memaksamu berbicara," ucap Reyma akhirnya.
Tanpa menjawab Reyma, Azka pun berlalu dari kamar Andrea setelah meletakkan kembali buku yang di bacanya. Ia melirik sebentar ke arah Andrea yang hingga kini masih terlelap dalam tidurnya. Azka tidak mengerti kenapa Andrea begitu lelap padahala gadis itu sama sekali belum makan siang. Ia pun akhirnya berlalu begitu saja dan kembali ke kamarnya. Ia ingin sekali merebahkan tubuhnya di kasur empuknya. Azka mencoba memejamkan matanya namun hal itu mustahil karena ia pun baru bangun, namun badannya terasa tidak nyaman karena tertidur di sofa. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mandi dan membuat makan siang meskipun sudah terlewat. Azka tak berhenti tersenyum dan mengesah saat mengingat apa yang sudah ia lakukan bersama Andrea tadi. "Ke mana kamu dengan pakaian seksi itu Andrea?" bisiknya pada diri sendiri di bawah guyuran air sower yang sengaja tak ia matikan.