Andrea terbangun dari tidurnya dengan senyum ceria. Ia mengingat semua hal yang ia lakukan bersama Daren kemarin. Lelaki itu memang luar biasa, dirinya bahkan ikut puas dengan perlakuan manis yang selama beberapa bulan ini ia rindukan. Daren benar-benar tahu bagaimana cara memperlakukan seorang wanita, apalagi gadis seusianya. Ia pun tak sabar untuk menantikan waktu beranjak senja yang entah mengapa terasa sangat lama hari ini. Ia beringsut dari kasur hangatnya dengan riang menuju kamar mandi. Ia membersihkan seluruh tubuh dan memastikannya wangi hingga nanti sore. Setelahnya, Andrea bergegas mengenakan celana jeans dan kaos kerahnya. Tak lupa memakai sepatu sneakers kesayangannya. Andrea sedikit merubah penampilannya karena terlalu banyak pasang mata yang menatapnya dengan lapar saat ia mengenakan baju yang disebut Azka kurang bahan. Ditambah lagi jika ia tidak bersama laki-laki itu maka ia akan menjadi sasaran tangan-tangan jahil saat berada di dalam bus. "Tunggu aku," teriaknya pada Azka yang sudah berjalan terlebih dahulu melewati dirinya tanpa menyapa. "Hei aku bilang tunggu," teriaknya lagi saat lelaki jangkung itu benar-benar mengabaikannya. Andrea mengesah pelan saat Azka benar-benar tidak ada niat untuk menyahutinya. Ia sudah tahu lelaki itu mendiamkannya pasti karena kejadian kemarin. Ia merasa tidak perlu mengatakan apapun karena lelaki itu memang bukan siapa-siapanya. Andrea dengan napas terengah kini sudah berdiri dekat dengan Azka di dalam lift yang lumayan penuh pagi ini. Beberapa kali ia terdorong karena beberapa orang yang memang memaksakan diri untuk tetap masuk ke dalam benda kubus itu. Napas Andrea tercekat saat merasakan sebuah tangan sudah bertengger manis di pinggangnya dengan erat. Tampak sedikit ragu, Andrea akhirnya menoleh untuk memastikan tangan siapa yang sudah lancang, tapi niatannya menguap seketika saat tahu bahwa itu tangan Azka. Lelaki itu tetap tenang dengan pandangan lurus ke depan tanpa menggubris kegelisahannya sedari tadi. Lelaki itu bahkan menariknya begitu saja saat pintu lift terbuka. "Kamu tidak bisa bicara?" kesal Andrea karena merasa di acuhkan. Ia pum berdecak kesal karena Azka hanya meliriknya sekilas tanpa minat menyahut barang sedikit seperti biasanya. Andrea pun memilih diam dan membiarkan Azka berjalan lebih dulu. Ia sudah lelah mengejar lelaki itu.
"Lelet," ucap Azka sembari menarik tangan Andrea agar sejajar dengannya membuat gadis itu sedikit limbung karena tidak siap.
Andrea menyunggingkan senyum simpul mendapat perhatian kecil dari Azka. "Kenapa mendiamkanku?" pertanyaan yang akhirnya di sesali Andrea karena lagi-lagi Azka hanya meliriknya sekilas. Ia memilih diam hingga langkah mereka akhirnya terhenti di halte. Andrea pun memilih mengeluarkan ponselnya untuk menghalau bosan dan sepi karena Azka yang masih mendiamkannya.
"Ayo," suara Azka kembali terdengar sembari menggiringnya dari belakang untuk masuk ke dalam bus.
Andrea tidak bisa mencegah jantungnya untuk tidak berulah ketika dua telapak tangan hangat Azka mengusap pundaknya pelan sambil terus mendorongnya agar masuk ke dalam bus. Melindunginya dari serbuan penumpang lain yang tidak sabar ingin cepat. Bahkan mereka mengabaikan budaya mengantre karena tidak ingin tertinggal. Di akui Andrea jika menunggu bus selanjutnya datang akan memakan waktu yang sangat lama hingga mereka benar-benar akan terlambat untuk sampai di tujuan. "Dasar udik," umpat Andrea begitu sampai di dalam bus. Ia mendengus pelan saat Azka memukul pelan pundaknya. "Jangan menghakimiku," ucapnya kesal saat Azka menatapnya.
"Jaga bicaramu," bisik Azka membuat Andrea merinding karena deru napas lelaki itu menyapu telinga dan sebagian tengkuknya serta wajahnya.
"Aku sedang kesal." Andrea sedang mencoba untuk biasa saja.
"Terserah," Azka kembali berbisik kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian karena keributan unfaedah bersama gadis itu. Ia juga berusaha menjaga kesadarannya yang sudah mulai tersihir oleh rambut wangi Andrea. Ia tak ingin berakhir dengan menghujani puncak kepala gadis itu dengan ciuman.
Mereka akhirnya terdiam dalam pikiran masing-masing. Tak ada yang bersuara karena tidak mau ada hal lain yang terjadi. Andrea masih belum bisa menormalkan detak jantungnya karena tangan Azka hingga kini masih bertahan di pundaknya. Sementara Azka, lelaki itu sudah tidak bisa mendeskripsikan lagi bagaimana perasaannya pada Andrea. Ia senang gadis itu mulai tergantung padanya saat sakit dulu. Tapi sekarang gadis itu justru terasa sedikit menjauh dan lebih sering menggunakan baju kurang bahan. Rasa ingin tahunya besar, tapi gengsi dan egonya tak kalah serakah menguasai dirinya
Tanpa sadar Andrea dan Azka sama-sama menghela napas lega karena kini bus yang mereka tumpangi sudah sampai di halte depan kampus.
"Perhatikan langkahmu," ucap Azka saat melihat Andrea berjalan sembari menggerutu tidak jelas.
"Diamlah," kesal Andrea yang justru membuat Azka terkekeh.
Mereka berjalan berdampingan dalam diam. Azka tidak suka kebersamaannya dengan Andrea menjadi bahan pembicaraan seisi kampus. Jadi sebisa mungkin ia menjaga agar terlihat tidak terlalu dekat dengan gadis itu. Andrea pun melakukan hal yang sama. Semenjak kejadian dia ditinggalkan dulu, sedikit banyak Andrea mengetahui bahwa Azka tidak suka menjadi perhatian orang lain. Lelaki itu tidak suka ada yang membicarakan dirinya. Sungguh aneh, tapi Andrea menerima saja karena hal itu sama sekali tidak merugikannya.
"Aku belum sarapan. Ayo ke kantin," Andrea menarik paksa Azka yang sebenarnya sudah ingin berlari karena menjadi pusat perhatian. Tapi ia juga tidak bisa serta merta menolak ajakan gadis itu. Ia terus mengikuti langkah kaki tak sabaran milik Andrea sembari menghela napas beberapa kali. Pasalnya, hanya Andrea lah wanita yang bisa dekat dan memperlakukannya seperti ini. "Aku bukan sapi," lirihnya membuat Andrea menoleh dan tertawa.
"Kau lambat," cibir Andrea membuat Azka meliriknya dengan sebal. Namun ia tidak melepaskan genggaman tangannya pada lelaki itu.
Mereka sampai di kantin dan menarik perhatian pengunjung tempat itu. Andrea tampak acuh berbeda dengan Azka yang mulai tidak nyaman. Lelaki itu sesekali berbicara pada Andrea namun di abaikan. Dengan terpaksa ia mengunci rapat mulutnya dan menunggu dengan sabar gadis yang sedang menikmati sarapannya sendiri. Ia tidak di tawari. Ingin marah tapi urung begitu melihat betapa lahapnya Andrea. Ia pun tersenyum tipis sembari mengambil minuman Andrea. Gadis itu tampak acuh dan biasa saja meskipun meminum minuman dari gelas yang sama.
"Pelan-pelan Andrea," ucap Azka akhirnya. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar begitu melihat gadis itu makan tanpa malu.
Andrea menatap Azka tajam. "Aku tidak perlu berlaku menjadi gadis baik-baik jika di hadapanmu," jawabnya kesal membuat Azka terkekeh.
Mereka akhirnya kembali ke kelas dan melewati semua pembelajaran dalam diam. Azka hanya memperhatikan Andrea yang tampak tak sabar untuk menghabiskan hari ini. Dan sampailah mereka di akhir mata kuliah. Andrea bergegas keluar meninggalkan Azka yang menatapnya dengan heran. Andrea berlalu dari kelasnya dan menemukan Daren sudah berada di gerbang. Lelaki itu menatapnya dengan senyum yang tak bisa di deskripsikan. Andrea menghambur ke dalam dekapan Daren dan menghirup dalam-dalam bau yang menguar dari tubuh lelaki itu.
"Ayo," ajak Daren yang hanya diangguki oleh Andrea. Mobil Daren berlalu meninggalkan halaman kampus dan berbaur dengan kendaraan lain yang kini sedang berjuang melawan keramaian. Kali ini mereka tidak pergi kemana-mana, tujuannya adalah apartemen Andrea.
Sampai di dalam apartemen Andrea, Daren dibuat takjub dengan desaign yang di pilih gadis itu. Menurutnya luar biasa untuk gadis seusia Andrea. "Tempat ini luar biasa," puji Daren membuat Andrea tersipu. Daren sangat gemas dengan tingkah Andrea hingga tak bisa menahan diri untuk menerjang gadis itu. Dan berakhirlah mereka memadu kecupan di atas sofa lembut di ruang tengah. Daren tersenyum di tengah pagutan mereka karena kini Andrea menjadi lebih agresif. Tidak diam-diam saja saat ia memulai permainan. "Kau sudah hebat sekarang," puji Daren saat tautan mereka terlepas untuk mengambil udara.
Andrea tersenyum. "Kau yang menuntutku kalau lupa," ucap Andrea sembari mengerling nakal dan sukses membuat sesuatu dalam diri Daren bangkit.
Mereka kembali memagut dan saling menuntut. Tangan Daren bahkan sudah berpindah kesana-kemari mencari sesuatu yang menurutnya pas untuk di mainkan membuat Andrea kehilangan sebagian kewarasannya. Daren mengangkat tubuh Andrea dan membawanya ke kamar. Lelaki itu kembali bermain dengan tubuh Andrea sesampainya di ranjang queen size milik gadis itu. Kegiatan mereka semakin panas kala sebagian penutup badan terhempas dari tempatnya.
"Ayo mandi bersama," ajak Daren dengan napas terengah.
Andrea berdecak. "Aku tidak bisa," sahutnya pelan takut Daren marah.
"Kenapa?" tanya Daren memelas.
"Aku malu," cicit Andrea membuat Daren terkekeh.
Tanpa percakapan lagi Andrea langsung memberikan apa yang Daren butuhkan. Mereka kini sudah berpindah ke atas sofa yang ada di kamar Andrea. Suara-suara merdu saling bersahutan memenuhu seluruh ruangan dimana mereka berdua akhirnya saling memberikan kepuasan. Daren tidak bisa berhenti tersenyum dengan setiap hal yang dilakukan Andrea. Lelaki itu memuji keahlian gadis yang nampak polos itu hingga dirinya sampai di surga dunia.