Chereads / Menikah Dengan Tuan CEO / Chapter 3 - Permintaan Dan Penolakan

Chapter 3 - Permintaan Dan Penolakan

"Wuidihhh..... Aurel kesini pakek mobil. Mana motor lo?" seru Niko si biang usil dari pada kembarannya.

"Di rumah, bannya bocor!" jawab Aurel seadanya dan langsung mendudukan dirinya di samping Riko. Kening Aurel berkerut karena tidak melihat Vania di basecamp. "Mana Pani?"

"Pani gak kesini. Tadi pagi-pagi buta dia chat gue, katanya dia harus pulang ke kampung karna bokapnya kecelakaan" jawab Riko seadanya.

"Pantes" kening Riko berkerut mendengar tanggapan Aurel. Melihat Riko bingung dengan ucapannya, ia langsung berucap sangat keras. "Pantes, dari tadi si biang kerok diem aja, ternyata lagi mikirin ayang beb Pani yang gak dateng!"

"Eh si anjeng, rahang lo enteng bener ngomong kek gitu. Mau gue tampol pakek CD gue?" seru Niko berkacak pinggang dan menatap tajam Aurel.

"Kalo lo nampol gue pakek CD lo, burung lo bisa kabur dari sangkarnya dan lo gak bisa hamilin anak orang!"

"Sekate kate lo, gue gak setega itu hamilin anak orang. Secara, gue ini masih polos!" Niko menaik-turunkan alisnya dan meringis memperlihatkan deretan gigi putihnya.

"Lo itu saking polosnya sampe nyimpen video kotor di galeri lo!" cibir Riko menatap Kakaknya enek, kenapa ia bisa mempunyai kembaran yang otaknya gak sehat coba?

"Setan gepeng emang laknat Rik. Makanya, kalo suatu hari nanti kita punya anak laki-laki, kita harus turunin skill kita sama anak-anak kita. Iya gak?"

"Skill apaan?" tanya Aurel dengan kening berkerut.

"Skill goyang di ranjang hahaha....." tawa Niko menggelegar. Aurel memutar bola matanya malas mendengar ucapan Niko. Sedangkan Riko lebih memilih pergi dari samping Aurel agar tidak ketularan stres dengan tingkah Kakaknya.

Tak

"Adohh.... Sakit anjeng!" pekik Niko kesakitan karena kepalanya di getok oleh Aurel menggunakan sandal swallow milik Deni.

"Mammam tuh, biar otak lo gak sengklek lagi. Enek gue, denger kata-kata lo yang menjurus ke situ!" kesal Aurel dan meletakkan kembali sandal milik Deni.

"Rel, Nik, sini lo berdua!" panggil Riko. Dengan segera Aurel dan Niko menghampiri mereka yang sedang duduk mengitari camilan.

"Paan?" tanya Aurel setelah duduk dan bersandar di dinding tembok.

"Gimana, kalo minggu depan kita ngadain touring?" usul Helga membuat semuanya bersorak senang begitu juga dengan Aurel.

"Boleh tuh, kalo kita ke puncak gimana?" kini Aurel yang mengusulkan pendapatnya. Semuanya tampak berfikir dan menyetujui usul Aurel.

"Oke, kita sekalian berkemah di sana selama dua malam!"

"Gue setuju, kapan lagi kita bisa touring bareng-bareng!"

"Sekalian, kita nikmatin sejuknya puncak"

"Jadi pilihan kita puncak, deal semuanya?"

"Deal!!!"

Setelah bermusyawarah singkat, Aurel pergi ke depan sambil membawa gitar milik Satya. Ia duduk di bangku dan memangku gitar itu. Ia menghela nafas panjang, mulai memetik senar gitar dan mulai menyanyikan sebuah lagu dari Alan Walker dan Ava Max yang berjudul Alone.

"We would stare at each other

Cause we were always in trouble

And all the cool kids

Did their own thing

I was on the outside

Always looking in"

Aurel terdiam dan tangan yang memetik senar gitar berhenti. Ia sangat merindukan kedua orang tuanya, ingin sekali ia memeluk mereka, tapi mereka tidak memiliki waktu luang untuk anak mereka sendiri. Setelah ia pulang ke rumah malam hari, orang tuanya juga belum pulang dan saat ia bangun di pagi hari, orang tuanya sudah berangkat bekerja.

Kadang kala, Aurel selalu berfikir jika ia bukan anak kandung mereka. Jadi, Aurel tidak betahan berada di rumah, pasti bagi orang lain rumah adalah tempat paling nyaman. Tapi bagi Aurel, rumah adalah sebuah tempat yang hampa dan sunyi, seperti tidak memiliki kehidupan di dalamnya.

"Gue kangen Papa, Mama!" gumam Aurel pelan.

*****

Hari sudah gelap, Aurel melajukan mobilnya menembus malam yang sunyi. Hujan mulai membasahi jalanan dan mobil Aurel. Sesampainya Aurel di rumah, ia langsung memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Saat ia turun dari mobil, matanya menyipit melihat mobil orang tuanya sudah terparkir di sana.

"Papa sama Mama udah pulang?" gumamnya pelan.

Aurel mengendikkan bahu dan langsung masuk ke dalam rumah. Matanya kembali menyipit melihat kedua orang tuanya duduk di ruang makan. Ah, ia lupa kalau ia pulang di waktu makan malam. Melihat putrinya pulang, Winda menyuruh Aurel untuk bergabung bersama mereka.

"Aurel, ayo makan. Pasti kamu belum makan kan?"

Aurel masih terdiam menatap orang tuanya. Antara percaya atau tidak percaya, sudah lama sekali Mamanya tidak pernah mengajaknya bicara seperti itu. Dengan canggung, Aurel mendekat dan duduk menghadap Mamanya. Melihat putrinya sudah duduk, Winda mengambil makanan dan menaruhnya di hadapan Aurel. Tapi Aurel hanya menatap makanan itu, tanpa mau menyentuhnya.

"Di makan dong sayang, jangan diliatin terus makanannya!"

"Eh, iya Ma"

Masih dengan kecanggungan, Aurel mulai makan dengan gayanya. Kaki yang naik sebelah untuk menumpu tangan kanannya. Melihat putrinya makan tidak sopan, Harry dan Winda menghela nafas berat. Mereka makan dengan tenang tanpa ada yang berbicara.

Setelah mereka semua selesai makan dan minum. Aurel hendak pergi tapi Papanya menyuruhnya untuk duduk dulu. Mau tak mau, Aurel menurut dan duduk kembali. Hening. Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Hingga Harry memecah keheningan.

"Aurel, sekarang usia kamu berapa?" tanya Harry menatap intens putri semata wayangnya yang tidak pernah ia perhatian karena urusan bisnis.

"21 Pa" jawab Aurel sambil memilin ujung bajunya, entah kenapa ia merasa gugup dan perasaannya tidak enak.

"Udah punya kekasih?" Aurel menggeleng menanggapi Papanya. "Kalau begitu, Papa sama Mama mau kamu menikah dengan anak dari sabahat kami!"

Bagai disambar petir disaat hujan lebat yang mewakili perasaannya. Aurel menatap kedua orang tuanya dengan lekat, mencoba mencari kebohongan di wajah mereka. Tapi nihil, mereka serius dengan permintaan itu.

"Kalian mau ngejodohin gue?" seru Aurel sambil bangkit dari duduknya dan menatap kedua orang tuanya dengan mata yang menyalang kebencian.

"AUREL! Sopanlah saat berbicara dengan orang yang lebih tua! Apa kamu pikir, Papa tidak tahu dengan perilaku kamu diluar sana hah? Kamu ini anak gadis dan seharusnya kamu tidak berteman dengan anak jalanan itu!" marah Harry menatap tajam Aurel.

Aurel tersenyum sinis, "Kenapa Papa baru ngomong sekarang? Bukannya gue kaya gini karena kalian berdua? Kemana kalian? Harusnya kalian ngurusin gue dari kecil, bukan nyuruh orang lain buat ngurusin gue! Apa karena gue bukan anak kalian, jadi kalian gak peduli sama gue hah?"

Mendengar penuturan Aurel, dada Winda merasa sesak untuk bernafas. Matanya mulai berkaca-kaca menatap putri semata wayangnya yang sudah lama tidak ia perhatikan.

"Gue gak mau dijodohin dan gue benci sama kalian berdua!!"