Chereads / Menikah Dengan Tuan CEO / Chapter 4 - Jatuh Sakit

Chapter 4 - Jatuh Sakit

Mendengar putrinya mengatakan benci, Winda yang tadi sedih menatap putrinya dengan tajam. Dia yang melahirkan Aurel tapi Aurel tidak tau diri, berani melawan orang tuanya. Kali ini Winda benar-benar marah dengan perilaku putrinya.

"Kalau Mama sama Papa tidak ada, siapa yang akan menghidupi kamu Aurel? Mama sudah mempertaruhkan nyawa Mama demi melahirkan kamu di dunia ini! Kamu memang anak tidak tau di untung, siapa yang mengajarkan kamu menjadi anak kurang ajar seperti ini? Oh, apa jangan-jangan teman jalanan kamu yang tidak tau aturan itu hah?"

Aurel mengepalkan kedua tangannya, menahan amarah yang bergejolak di hatinya. Bukankah ia seperti ini karena orang tuanya juga, tapi kenapa teman-temannya yang di salahkan?. Padahal teman-temannya yang selalu menghibur dirinya dan menyayanginya.

"Bukan teman-teman aku yang salah! Tapi kalian berdua yang salah! Mama memang melahirkan aku tapi Mama tidak pernah ada untuk aku begitu juga dengan Papa! Apa sebegitu pentingnya sebuah pekerjaan dari pada anaknya sendiri? Saat aku masuk SD, teman-teman ku mengejek aku karena kalian tidak pernah datang ke sekolah dan selalu memberi alasan yang sama! Apa itu yang kalian sebut menyayangi aku? Teman-teman ku selalu berlibur dan berkumpul bersama keluarganya, sedangkan aku? Tidak pernah! Sekali pun tidak pernah! Yang ada di ingatan kalian berdua hanyalah pekerjaan, pekerjaan dan pekerjaan! Bahkan saat usia aku 2 bulan, kalian menyuruh Bibi untuk merawat aku, Bibi tidak pernah mengeluh saat merawat aku seorang diri! Bibi selalu memberikan kasih sayang yang melimpah hanya untuk aku! Kalian hanya bisa menanyakan kabar ku tapi tidak pernah merawat aku sekali pun! Bagi kalian, aku ini siapa? Kalau pun aku bisa memilih, aku akan lebih memilih di lahirkan oleh Bibi dari Mama! Bibi lebih baik dari pada Mama yang sangat egois dan lebih mementingkan bisnis! Aku membenci kalian berdua! Sangat sangat benci! Aku berharap tidak pernah lahir ke dunia ini! Hiks... Aku benci kalian seumur hidupku" Aurel berlari menuju kamarnya dengan air mata yang sudah mengalir sedari tadi.

Mendengar uneg-uneg Aurel yang selama ini dipendam membuat dada Winda sakit, benar-benar sakit. Dia memegangi dadanya dengan mata yang sedikit melotot. Melihat istrinya memegangi dada, Harry mendekap tubuh istrinya yang bergetar. Tiba-tiba, Winda jatuh pingsan di pelukan sang suami dan itu membuat Harry terkejut.

"Bi Inah!" panggil Harry dengan suara menggelegar dan wajahnya tampak khawatir melihat wajah pucat istrinya.

Bi Inah yang mendengar suara majikannya menggelegar bagaikan petir langsung terkejut dan untung saja piring yang ia cuci tidak jatuh. Dengan seger, Bi Inah mencuci tangannya dan berlari ke sumber suara. Mata Bi Inah terbelalak melihat Nyonya nya pingsan di pelukan suaminya.

"Nyonya kenapa Tuan?" tanya Bi Inah khawatir dengan keadaan Winda yang wajahnya sudah pucat pasi seperti orang mati.

"Saya tidak tahu Bi!" jawab Harry yang berjalan tergesa-gesa menuju pintu keluar diikuti Bi Inah. Bi Inah langsung membukakan pintu belakang agar Tuannya mudah menidurkan Winda di kursi belakang. Melihat Tuannya yang buru-buru, pak sopir datang menghampiri mereka.

"Maaf, ada apa ya Tuan?" tanya pak sopir karena ia memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Pak, tolong anda yang menyetir. Saya akan menemani istri saya dibelakang!"

"Baik Tuan!"

"Bi, tolong bilang ke Aurel kalau kami akan ke rumah sakit sejahtera!"

"Iya Tuan!"

Bi Inah menatap mobil Tuannya yang mulai menjauh meninggalkan pekarangan rumah. Dengan kepanikan dan kekhawatiran yang melanda, Bi Inah tergopoh-gopoh menuju kamar Aurel yang berada di lantai 2.

Tok Tok Tok

"Non, Non Aurel!"

Bi Inah memanggil Aurel terus menerus tapi tidak ada sahutan dari dalam. Selang beberapa menit kemudian, pintu kamar Aurel terbuka dan tampaklah Aurel dengan mata bengkaknya akibat menangis. Bi Inah menatap Aurel dengan sendu, tadi ia sempat mendengar percekcokan antara Ibu dan anak.

"Ada apa Bi?"

"Nyonya masuk rumah sakit Non!"

Mata Aurel terbelalak, ia langsung masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci mobilnya. Lalu ia menyambar jaket kulit yang tergeletak di ranjang dan keluar kamar.

"Ayo Bi!"

*****

Mobil Aurel sudah sampai di parkiran rumah sakit sejahtera. Aurel dan Bi Inah turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah sakit. Untung saja, tadi Harry mengirim pesan dimana ruangan Winda. Jadi, mereka tidak pusing untuk mencari keberadaan Harry dan Winda. Dari kejauhan Aurel dan Bi Inah melihat Harry duduk di depan ruangan dengan kepala tertunduk sedih. Dengan buru-buru, mereka menghampiri Harry. Melihat putrinya sudah datang, Harry bangkit dari duduknya dan menatap tajam Aurel.

"Bagaima-"

Plakkk

Tamparan keras dari Harry mendarat di pipi Aurel hingga berbunyi nyaring. Untung saja, lorong ini sepi jika tidak, mereka akan menjadi tontonan orang asing. Aurel yang masih terkejut dengan tamparan Harry hanya menundukkan kepala sambil memegangi pipinya yang terasa perih.

"Bi, tolong temenin Winda dulu!"

Bi Inah mengangguk dan menatap Aurel dengan tatapan berkaca-kaca. Bi Inah tidak tega melihat Aurel di tampar keras oleh Papanya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan berat hati, Bi Inah masuk ke dalam dan meninggalkan Aurel bersama Papanya.

"Puas kamu udah bikin Mama kamu masuk rumah sakit?" tanya Harry dengan suara berat dan penuh penekanan. Matanya masih menatap tajam Aurel.

Aurel yang merasa bersalah, hanya bisa menangis dengan kepala tertunduk. Ia benar-benar tidak menyangka jika ucapannya akan menyakiti Mamanya sendiri, padahal ia hanya mengungkapkan semua uneg-uneg yang terpendam dalam hatinya.

"Maaf Pa...." lirih Aurel.

"Asal kamu tahu, Mama kamu terkena serangan jantung gara-gara kamu, Aurel!!" seru Harry menaikan suaranya 1 oktaf.

DEG... Aurel sangat terkejut mendengar sakit yang di derita Mamanya dan ini semua gara-gara ia. Aurel hanya bisa menangis sambil mengepalkan kedua tangannya. Ia benar-benar menyesal sudah mengatakan semua uneg-uneg dalam hatinya. Andai saja, tadi ia tidak kelepasan, mungkin Mamanya masih baik-baik saja.

"Pergi kamu dari sini!!"

Aurel tertegun lalu mengangkat kepalanya untuk menatap manik-manik mata milik Papanya. "Tapi...."

"PERGI!!!"

Aurel tersentak mendengar bentakan Papanya. Dengan berlinang air mata, Aurel berlari meninggalkan Papanya yang berwajah sedih. Papanya tahu, ini semua juga salahnya karena tidak pernah memperhatikan anak sendiri. Seharusnya dari dulu, ia mendisiplinkan putri semata wayangnya yang akan menjadi pewaris tunggal kekayaannya.

Masih dengan menangis, Aurel melajukan mobilnya meninggalkan rumah sakit sejahtera. Tujuannya saat sedih hanya pergi ke basecamp, tempat teman-temannya berkumpul. Sesekali ia memukul-mukul setir kemudinya untuk meluapkan gejolak dalam hatinya. Ia benar-benar menyesal sudah mengatakan isi hatinya.