Menyesap segelas wine yang berada di tanganku, aku mengamati orang-orang di sekelilingku yang terlihat tampak begitu senang dan ceria ketika saling berbicara, tanpa menghiraukan keberadaanku di sini, membuatku merasa kesal dan berpikiran jika aku tidak pantas diperlakukan seperti ini. Aku, Rosie Macbride, aku adalah permata indah... dan aku tidak sepantasnya menerima perlakuan seperti ini, didiamkan dan dihiraukan layaknya orang tidak berguna.
Wanita yang terlahir dengan kesempurnaan parasnya, rambut pirang bergelombang keemasan yang jarang dimiliki oleh orang-orang, juga wajah berbentuk hati yang menawan serta tubuh ramping bak model kelas dunia ini seharusnya mendapatkan perlakuan yang lebih baik, seharusnya perlakuan yang kuterima saat ini adalah pandangan penuh iri dan kekaguman dari orang-orang yang ada di ruangan ini, bukan malah sebaliknya.
Apa mereka tidak bisa melihat bagaimana berharganya diriku?
Sebenarnya aku sadar jika aku hanyalah seorang wanita yang terlahir dari keluarga pemilik hotel biasa, yang jumlahnya saja bahkan dapat dihitungan dengan hitungan jari belaka, sehingga tidak mengherankan jika aku tidak memiliki cukup banyak mata yang akan menatapku dengan tatapan penuh kekaguman. Namun, seperti apa yang selalu Ibuku katakan, aku tetaplah permata. Permata indah tersembunyi yang sudah seharusnya berada di tempat paling atas, di tempat dimana hanya orang-orang tertentu yang bisa menggapai dan berada di sekelilingku. Dan aku pantas diperlakukan dengan lebih baik. Aku percaya akan perkataan Ibu itu, dan satu hal lagi... aku terlalu berharga hanya untuk jatuh ke tangan pecundang tidak berguna, aku terlalu sempurna hanya untuk dimiliki orang biasa, tetapi... mengapa?.... mengapa setelah dua tahun lamanya aku mengikuti acara-acara penting yang hanya dihadiri oleh para petinggi perusahan ternama juga putra pewarisnya seperti ini, aku tidak kunjung juga menerima sebuah lamaran dari salah satu di antara mereka? Sebenarnya apa yang kurang dariku? Aku begitu sempurna dan pantas berada di samping mereka... selain... ya... aku tidak terlahir dari keluarga yang sangat kaya dan bergelimang harta.
Tatapanku teralih pada pasangan pria dan wanita yang baru saja memasuki gedung pesta dan berhasil mendapatkan perhatian dari seluruh orang yang berada di gedung ini. Pasangan terpanas yang baru saja ditunangkan beberapa bulan lalu, Benjamin Lancaster dan Rebecca Cole, pasangan yang digadang-gadang akan menjadi pasangan sempurna, bukan hanya karena wajah rupawan mereka yang tampak serasi untuk di sandingkan satu sama lain, tetapi juga karena kekayaan mereka yang begitu besar, dimana si pria merupakan direktur utama dari perusahaan properti ternama, sementara si wanita merupakan putri tunggal dari pengusaha perhiasan terkenal. Mereka seperti diciptakan untuk hidup bersama. Terkadang aku membayangkan bagaimana jika mereka tidak bertunangan... mungkin aku sudah menggoda pria kaya yang terkenal sangat dingin itu, walau kedengarannya begitu mustahil.
Benjamin Landcaster... pria itu selalui bersikap dingin. Desas-desus yang kudengar, tidak ada seorang wanita pun yang berani mendekat padanya karena kedinginan juga sikap pendiamnya, ini bahkan terbukti, hingga usianya yang ke dua puluh delapan tahun itu tidak pernah terdengar tentang kedekatannya dengan wanita, kecuali dengan Rebecca yang aku yakin adalah hasil dari perjodohan antara kedua orang tua mereka.
Aku tersenyum kecil, menghibur diri dengan senyuman yang lebih terlihat seperti mengejek diriku sendiri. Sialan, sepertinya kau tidak akan pernah bisa mendapatkan pria sekaya dan setampan Benjamin Lancaster, Rosie.
"Rosie... Di seberang sana, ada seorang pria tampan yang baru-baru ini berhasil memperluas usahanya di sektor kuliner, ku dengar restoran yang didirikannya beberapa tahun lalu sudah berkembang di luar negeri. Dari pada melamun seperti ini, lebih baik sekarang kau berdiri dan mencoba untuk berbicara dengannya."
Bisikan tiba-tiba yang dilakukan Ibu itu membuatku terkejut. Ah... Tidak bisakah ia melakukannya dengan lebih normal? Aku begitu mencintai wanita tua ini, sekali pun aku tahu jika ia hanya ingin memanfaatkanku untuk mendapatkan anak menantu kaya raya yang memiliki segalanya, tetapi seharusnya ia juga perlu memikirkan jika aku adalah anaknya.
"Rosie?"
Aku menahan diri untuk tidak mengumpat. Ingat Rosie, Ibumu ini begitu peduli padamu, ia bahkan selalu mencari-cari pria seperti apa yang pantas untuk berada di sampingmu. Dan ingat juga bahwa kau adalah permata indah, sudah seharusnya kau mendapatkan tempat yang seharusnya kau dapatkan.
"Iya, aku akan segera menghampirinya." Ibu mengangguk sembari melemparkan senyuman kecilnya padaku, sebelum kemudian kembali berjalan ke tempat di mana Ayah berada.
Baiklah... Mari kembali lakukan hal ini dan berharap jika kali ini usahamu akan berhasil. Tarik napasmu dalam-dalam, tenangkan dirimu, dan buatlah dirimu terlihat semenarik mungkin di hadapannya. Jika kau merasa lelah dengan semua ini... Maka lakukan hal ini dengan lebih baik lagi, sehingga kau bisa berhasil dan berhenti melakukan perburuan pria kaya seperti ini.
Menguatkan diri, dengan perlahan, aku beranjak dari kursi tinggi yang kududuki, kemudian melangkahkan kakiku menyebrangi ruangan untuk menghampiri seorang pria yang dimaksudkan oleh Ibu. Jujur saja, tidak pernah sebelumnya aku melihat keberadaan pria itu di acara-acara seperti ini, bahkan setelah dua tahun lamanya aku mengikuti perayaan-perayaan penting ini. Apa ia adalah orang kaya yang baru saja berhasil bergabung dalam perkumpulan penting ini?
Aku mencoba untuk tidak memedulikan isi pikiranku dan terus berjalan untuk menghampiri pria itu. Ketika berhasil sampai di hadapannya, entah mengapa kalimat yang sebelumnya sudah kususun begitu apiknya itu malah menghilang begitu saja, membuatku hanya bisa berdiri diam dan menatapi pria itu seperti orang bodoh. Ah, Kurasa ia juga tidak begitu peduli akan keberadaan ku karena tatapan matanya saat ini tertuju pada arah lain, lebih tepatnya masih tertuju ke arah dimana pasangan sempurna itu berada. Dan aku memerlukan tatapan seperti itu darinya, sekarang juga.
"Aku belum pernah melihatmu sebelumnya." Aku merasa bersyukur karena aku bisa mengatakannya tanpa terbata. Sudah dua tahun lamanya, seharusnya aku bisa lebih ahli dalam melakukan hal ini.
Tanpa menunggu balasan darinya, aku segera mengambil langkah untuk duduk di sampingnya, tak lupa bertingkah seanggun mungkin, sembari menyesap kecil segelas wine yang ada di tanganku.
Perlu beberapa detik hingga pria itu membuka mulutnya dan menjawab pertanyaanku, "ah, ya... Sebelumnya aku tidak tinggal di sini." Aku mengangguk, tentu saja, pria ini kan begitu sibuk mengelola bisnisnya di luar negeri. Terdengar menyenangkan.... juga kaya, bukan?
Mengamatinya, aku tersenyum menemukan jika pria itu seperti apa yang dikatakan Ibu. Pria ini tampan, bahkan sangat tampan. Sekarang aku jadi merasa ragu jika ia tidak memiliki seorang kekasih. Tetapi, bukankah untuk mencapai tujuanku aku harus mengesampingkan itu semua untuk mendapatkannya? Sialan, sejak kapan aku berubah menjadi wanita licik seperti ini?
Pandanganku selanjutnya teralih pada lengan kekar milik pria itu, dan terus turun hingga aku menemukan buku-buku jari pria itu yang mengepal begitu kuatnya. Ada apa dengannya? Apa ia merasa kesal karena aku mengganggunya? Aku mencari-cari matanya dan menemukan tatapannya yang masih saja tertuju pada kesempurnaan dari pasangan Benjamin-Rebecca itu. Ada apa dengannya? Apa mungkin saja ia merasa sama kesalnya denganku karena tidak mendapatkan tatapan juga perhatian seperti itu dari orang-orang di ruangan ini?
"Kau ingin bicara di luar denganku?" Aku merasa begitu terkejut mendengar ajakan yang begitu tiba-tiba dari pria itu. Ia tentu tidak melakukan ajakan ini hanya untuk memukulku di luar sana karena aku begitu menganggunya, bukan?
Aku sedikit ragu mengamati tangannya yang entah sejak kapan sudah terulur padaku, menunggu hingga aku menyambut tangannya dengan hangat. Haruskah aku menerima ajakannya? Aku bahkan tidak mengenal pria ini, namanya saja aku tidak mengetahuinya, tetapi, ini satu-satunya kesempatan yang kumiliki untuk bisa mendapatkan apa yang kuinginkan.
Mengambil napas dalam-dalam, aku memberinya senyuman kecil sebelum kemudian menerima uluran tangannya.
"Ya," lirihku menjawab. Detak jantungku berdegup begitu cepat, seakan ingin berlari dan pergi meninggalkan tempatnya.
Ya Tuhan, kuharap ini merupakan pertanda baik bahwa permata tersembunyi ini akan segera mendapatkan tempatnya yang seharusnya.
***
"Jadi... siapa namamu?" Tanyaku membuka pembicaraan, ketika menyadari jika pria itu tidak berniat untuk melakukannya.
Setelah mengajakku keluar dari gedung pesta itu, ia membawaku duduk pada salah satu kursi taman yang ada di dekat gedung. Yang aneh dari semua ini adalah, sebelumnya pria itu mengajakku keluar dengan alasan untuk berbicara denganku, tetapi setelah sampai di luar, ia hanya duduk diam tanpa melakukan apa pun.
Pria ini... apa ia benar-benar normal karena tidak menghiraukan keberadaanku di sampingnya? Ah, tidak, bahkan seluruh pria yang ada di sini perlu dipertanyakan kenormalannya karena tidak memedulikan keberadaanku.
Beberapa detik kemudian, pria itu terlihat bereakasi dengan menggelengkan kepalanya sebelum kemudian menjawab, "Maafkan aku, aku merasa sedikit tidak enak badan sehingga aku tidak begitu fokus hari ini." Ya, sepertinya ia tidak terlihat sehat karena sejak tadi ia bertingkah sangat aneh. Pria ini normal, hanya saja ia sedang sakit.
"Kau bertanya siapa namaku? Aku Nathan Halton, bagaimana denganmu? Siapa namamu?" Ujarnya berbalik bertanya padaku.
Aku mencoba menampilkan senyuman terbaikku di suasana kaku seperti ini. Aku hanya ingin mendapatkan pria ini dan membuatnya menjadikanku sebagai permaisuri di istananya.
"Aku Rosie Macbride."
Aku menunggu hingga pria itu kembali berbicara, tetapi ia tidak melakukannya. Mataku kemudian mencari tahu apa yang sedang dilakukan pria bernama Nathan itu, yang ternyata kembali sibuk berdiam diri dengan menatap kosong ke arah depan. Aku mencoba mengikuti arah pandangnya dan lagi-lagi menemukan pasangan sempurna itu. Ah... ada apa dengan mereka yang seperti ingin mendominasi pesta malam ini? Untuk apa mereka juga ikut keluar dari gedung pesta itu?
"Hei, Rosie... Sepertinya aku harus pergi ke kamar kecil, apa kau bisa menungguku sebentar di sini?" Aku tidak tahu mengapa, tetapi rasanya kalimat itu lebih terdengar seperti kalimat penolakan. Sialan, aku sudah menunggunya untuk berbicara dan ia terus saja ingin menghindar dariku.... Ah dan mengapa aku begitu putus asa seperti ini? Jika ia tidak tertarik padaku, ia tentu tidak akan mengajakku kemari dan memintaku untuk menunggunya, bukan?
"Baiklah, aku akan menunggu... Kupikir masih banyak hal menarik yang ingin ku bicarakan denganmu."
Nathan membalas dengan menampilkan senyuman kecil sebelum kemudian beranjak dari posisi duduknya.
"Aku akan segera kembali," pamitnya.
Aku membalasnya dengan sebuah anggukan, sembari mataku sibuk mengamati bayangan tubuhnya yang makin lama makin menghilang.
Aku benar-benar harus menghilangkan semua pikiran buruk itu dari kepalaku.
Kali ini aku harus berhasil membuatnya tertarik padaku. Aku harus berhasil membuatnya melamarku dan menjadikanku istrinya.
Satu langkah lagi Rosie, satu langkah lagi hingga kau bisa mencapai tujuan hidupmu itu.
***