"Siapa kau?"
Aku hanya mampu menenggelamkan wajahku ke bantal, merasa begitu malu sekaligus kesal ketika ingatan akan awal mula pembicaraan memalukan itu terjadi.
Ah, menyebalkan...
Semalam mungkin aku terlalu percaya diri ketika menyuarakan isi dari otak cantikku kepada Benjamin Landcaster, mengenai penawaran bodoh dimana dia bisa menjadikanku istrinya, lebih tepatnya istri yang dapat diperalatnya untuk membalaskan dendam atas penghinaan yang diterimanya, tanpa memikirkan jawaban apa yang mungkin akan diberikan oleh pria terkemuka sepertinya kepada wanita dengan kedudukan yang biasa saja sepertiku ini. Jujur saja, sampai sekarang aku bahkan masih merasa kebingungan mengapa aku bisa sepercaya diri itu? Tentu kepercayaan diri yang tinggi bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi aku melupakan jika kepercayaan diri yang terlalu berlebih terkadang bisa saja menjadi sebuah bumerang besar dalam kehidupanmu, seperti apa yang terjadi padaku semalam.
"Siapa kau?"
Siapa kau? Apa aku tidak salah mendengar jika ia membalasku dengan menanyakan siapa diriku?
Apa aku sedang berada di sebuah mimpi hingga seseorang seperti Benjamin Landcaster membalas perkataanku?
Tenang... kau harus tenang Rosie. Jangan memperlihatkan ekspresi berlebihan ketika pria itu menanggapi, bahkan menanyakan tentangmu.
"Aku..... Maksud saya, Saya Rosie Macbride. Saya adalah putri dari Tuan George Macbride, pemilik Hotel Macbride," jawabku cepat sembari buru-buru mengulurkan tanganku padanya, mencoba bersikap seramah dan sesopan mungkin untuk obrolan pertama kami... atau mungkin obrolan kedua setelah obrolan tidak mengenakan yang kumulai sebelumnya. Namun, seharusnya aku tidak perlu repot-repot melakukan itu, karena pada akhirnya ia sama sekali tidak membalasnya.
Aku mencoba tersenyum dan menenangkan diriku agar tidak tersulut emosi yang entah dari mana mulai muncul di dalam diriku.
Menyebalkan. Setelah membuatku merasa senang karena menanyakan tentang diriku, sekarang pria itu malah mengabaikanku? Ah... tidak... tidak, Jangan berpikiran yang macam-macam hanya karena pria itu menolak jabatan tanganmu, Rosie. Kau tentu tidak bisa menilainya hanya berdasar pada sikapnya kali ini. Siapa yang tahu jika... mungkin saja Benjamin Landcaster sebenarnya memiliki karakter tersembunyi seperti kebanyakan pria yang ada di dalam novel-novel romansa? Dimana mereka akan selalu menunjukkan sikap dinginnya, tetapi yang sebenarnya mereka itu adalah orang yang paling lunak dan paling sensitif di dalam cerita itu.
Benjamin Landcaster, pria itu sama sekali tidak menampilkan reakasi apapun, termasuk kemungkinan jika ia mengenali nama Ayah. Aku tahu, hotel kami mungkin tidak termasuk dalam jajaran hotel populer dan ternama, serta pantas untuk dibicarakan di hadapannya seperti ini, tetapi... untuk saat ini, hanya itulah modal yang kumiliki.
"Mungkin Anda tidak pernah mendengar nama hotel kami sebelumnya, tetapi ya... kami berencana membangun hotel kami menjadi lebih baik supaya lebih dikenal nantinya." Tambahku menjelaskan. Namun, ia sama sekali tidak bereaksi dan tidak mengatakan apapun untuk membuat pembicaraan ini lebih berkembang.
Lalu untuk apa ia menanyakan tentang ku jika tidak ingin melanjutkan pembicaraan?
"Saya tahu mungkin-"
"Penawaran itu-"
Kami berbicara secara bersamaan, dan aku segera menghentikan perkataanku ketika mendengar perkataannya.
Penawaran... apa ia tertarik dengan itu? Sebuah senyuman hampir saja muncul di wajahku ketika perkataan yang keluar dari bibirnya itu mengagalkannya.
"Apa kau pantas mengajukan hal seperti itu pada seseorang sepertiku?"
Angkuh dan dingin, hanya itu yang dapat kutangkap sekarang. Saat ini, rasanya seperti ada ribuan orang yang menyiramku dengan air es, membuat tubuhku seketika itu juga membeku setelah mendengar perkataan yang terlontar dari mulutnya.
Apa ia menganggapku tidak pantas untuk mengajukan penawaran itu padanya?
Ya, aku memang tidak pantas, tetapi saat ini aku sedang memperjuangkan tujuan hidupku. Permata yang seharusnya berada di tempat yang tepat untuknya, sehingga aku tidak memedulikan lagi pantas tidaknya seseorang sepertiku mengajukan penawaran murahan seperti itu pada seseorang seperti Benjamin Lancaster.
"Aku tidak mengenalmu, bahkan juga tidak dengan keluargamu. Bagaimana kalian bisa datang ke acara ini?"
Pria ini...
"Jangan ikut campur dengan urusan orang lain. Lebih baik urusi nama keluargamu yang bahkan terdengar begitu asing itu."
Tanpa memedulikan efek apa yang disebabkan oleh perkataannya, Benjamin dengan tenangnya berlalu pergi begitu saja, meninggalkanku sendirian dengan perasaan kesal atas perlakuan apa yang baru saja dilakukannya padaku.
Aku tahu, aku tidak terlahir di keluarga yang bergelimang harta sepertinya atau seperti tunangan, Rebecca Cole. Namun, apa pantas ia memperlakukanku seperti itu?
Sialan.
Jika aku diminta untuk menggambarkan bagaimana perasaanku saat itu.... Entahlah... rasanya benar-benar bercampur aduk. Marah, kesal, dan terhina? Ah satu lagi... mungkin aku menaruh rasa benci padanya. Sekarang semuanya terasa masuk akal. Pantas saja seseorang seperti Rebecca Cole lebih memilih pria lain dari pada dirinya. Benjamin Landcaster benar-benar pria dingin yang kejam dan tidak memiliki hati. Dan untuk pertama kalinya aku merasa menyesal pernah memiliki keinginan untuk menjadi istri dari seseorang sepertinya.
Dasar Rosie... mengapa kau harus mengajukan penawaran itu? Sungguh hal itu merupakan keputusan terbodoh yang pernah kau ambil.
"Rosie? Rosie Macbride? Bisakah kau kemari sebentar?" Suara Ibu yang memanggilku dari luar kamar membuatku segera beranjak dari ranjang, kemudian berjalan keluar menuju ke tempatnya berada, dimana saat ini ia terlihat sedang sibuk membuka laci meja kerja Ayah.
"Ada apa, Bu?" Tanyaku sembari mengamatinya dari ambang pintu.
Ketika Ibu menegakkan tubuhnya dari posisi membungkuk, aku baru menyadari jika pakaian yang dikenakan Ibu saat ini sepertinya terlalu rapi untuk digunakan seseorang yang hanya akan menghabiskan waktunya untuk berdiam diri di rumah. Selain itu, bukan kah ia tidak memiliki acara yang harus dihadiri hari ini?
"Bisakah kau membantu Ibu mencarikan berkas keuangan Ayahmu? Ia mengatakan jika ia lupa membawanya ke kantor pagi ini."
Kalimat Ibu mungkin masih terdengar di telingaku, tetapi fokusku masih saja tertuju pada penampilan terlalu rapi Ibu, "ku pikir Ibu akan di rumah saja seharian ini?" Tanyaku selanjutnya.
Ibu cepat-cepat menjawab, "rencananya seperti itu, tetapi ada undangan mendadak dari Nyonya Wilson. Siang ini ia mengadakan acara perpisahan sebelum kepindahannya ke luar negeri."
"Begitu?"
"Ya. Aku tentu harus datang ke acara ini... mungkin saja aku bisa mendapatkan informasi tentang putra-putra lajang dari tamu-tamunya nanti."
Aku memutar mata kesal. Ibu selalu saja seperti itu.
"Aku akan pulang sore ini. Jadi, bisakah kau mencari berkas itu dan mengantarkannya pada Ayahmu siang ini?"
Tanpa berpikiran panjang aku menyetujui perintah Ibu. Yah, setidaknya hari ini aku memiliki sesuatu yang dapat kukerjakan, sehingga aku bisa melupakan kejadian memalukan dan mengesalkan yang terjadi padaku semalam. Sialan, rasanya benar-benar memalukan. Dan mengapa percakapan itu selalu saja muncul di kepalaku?
Ibu tersenyum, kemudian menghampiriku dan mengusap kepalaku.
"Oh iya... kau tentu cukup sadar bukan untuk menyetir sendiri? Karena aku akan meminta Gavin mengantarkanku pergi hari ini."
"Ibu!" Teriakku kesal, memahami perkataan yang syarat akan singgungan itu.
Ah.. bodohnya diriku saat itu.
Belum lama ini, aku melakukan tindakkan bodoh dengan mengemudi dalam keadaan mabuk, kemudian menabrak sebuah papan pembatas jalan. Saat itu, Ibu merasa sangat marah padaku, apa lagi ketika rumor itu menyebar begitu cepatnya di kalangan teman-temannya, yang selanjutnya membuat pikirannya dipenuhi oleh hal-hal seperti hancurnya reputasiku di hadapan putra-putra pewaris dari pengusaha-pengusaha kaya itu. Ya, aku memang bodoh, dan mungkin hal itu juga yang menjadi alasan mengapa beberapa orang menjauhiku semalam, di samping ambisi dan kedudukan sosialku yang tidak begitu menonjol.
"Makannya jangan melakukan hal-hal bodoh lagi seperti itu. Sudahlah, kalau begitu Ibu harus pergi. Kau tentu bisa menemukan berkasnya sendiri kan?"
"Iya Iya." Balasku singkat, kemudian mengambil alih tugas Ibu.
"Baiklah, kalau begitu Ibu pergi dulu, Okay?"
Aku mengangguk menanggapinya. Setelah itu, Ibu pergi meninggalkanku begitu saja untuk mencari berkas keuangan itu dan mengantarkannya pada Ayah.
***
Membenarkan posisi kacamata hitam yang menggantung indah di hidung tinggiku, aku berjalan menyusuri gedung kantor Ayah, kemudian melambai kecil pada siapa pun orang yang menunduk untuk memberi hormat padaku.
Kantor untuk mengelola hotel milik kami ini memang tidak begitu besar, mengingat hotel yang kami kelola juga tidak begitu besar, tetapi sejak awal pendiriannya Ayah terus berusaha untuk membuat usaha kami ini menjadi lebih baik. Dia tentu akan melakukannya, dia lelaki pekerja keras yang bertanggung jawab, jika diperbolehkan untuk memilih pasangan sendiri tanpa melihat kedudukannya, aku akan memilih pria sepertinya, tidak begitu kaya tak apa, yang terpenting ia mau bekerja keras dan tetap berusaha untuk membuat kehidupannya menjadi lebih baik.
Aku tersenyum kecil memikirkannya. Namun, senyuman itu tidak bertahan lama karena, entah bagaimana bisa, tetapi ingatan akan Benjamin Landcaster tiba-tiba saja muncul di kepalaku.
Mengapa aku harus terus mengingatnya?
Aku menggeleng keras, kemudian mencari hal lain untuk mengubah fokus dari pikiranku. Mungkin lebih baik aku mampir sejenak ke kantin kantor dan membeli sesuatu untuk Ayah dari pada memikirkan hal-hal tidak penting mengenai pria kejam itu.
Selanjutnya aku berjalan ke arah kantin dan memesan dua gelas kopi serta paket makan siang untukku dan Ayah. Ia tentu akan merasa sangat senang mengetahui jika aku yang datang dan membawakannya kopi kesukaannya. Aku tersenyum kecil memikirkannya.
Mengamati kantor ini... rasanya sudah sangat lama aku tidak datang kemari. Aku jadi ingat masa-masa ketika aku lulus dari kuliahku. Saat itu, aku terus saja merengek pada Ayah dan Ibu untuk membiarkanku bekerja, dimana pun itu tempatnya, bahkan di kantor Ayah sekali pun. Namun, ya... Mereka tidak akan pernah mengizinkanku untuk melakukannya. Aku tidak pernah tahu alasan apa yang membuat mereka tidak membiarkanku melakukannya, tetapi aku mengalah dan mengikuti permintaan mereka dengan menyibukkan diri melakukan kegiatan ala orang-orang kelas atas yaitu dengan menghabiskan waktuku untuk berbelanja, mengikuti kelas melukis, kelas yoga, dan masih banyak lagi.
"Pesanan Anda sudah siap, Nona," panggil pelayan itu, membuatku dengan segera menerima pesananku, kemudian bergegas menuju lift untuk pergi ke ruangan Ayah.
Ketika sampai pada lantai dimana Ayah bekerja, aku melihat Diana, sekertaris Ayah, yang terlihat sibuk menerima sebuah panggilan. Ah, tampaknya ia begitu sibuk, dan sepertinya aku tidak perlu menanyakan apakah Ayah sedang ada tamu atau tidak sekarang, karena tentu saja tidak ada. Beberapa bulan terakhir ini Ayah sangat disibukkan dengan membuat laporan pengajuan investasi ke beberapa perusahaan, untuk melakukan perbaikan dan perluasan hotel, sehingga aku yakin jika ia sedang mengerjakannya sendirian di sana, tanpa tamu atau siapa pun itu.
Tanpa berpikir panjang, aku segera membuka pintu ruang kerja Ayah. Tersenyum lebar dan berteriak kecil untuk mengejutkannya.
"Ayah ak-"
Namun, belum sempat kalimat kejutan yang sudah kupersiapkan itu berhasil keluar dengan sempurna dari bibirku, aku lebih dulu dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang ada di hadapanku.
Wajah itu... Tatapan dingin itu...
"Rosie, putriku..."
Seseorang itu.... Benjamin Landcaster yang saat ini sedang duduk di salah satu kursi tamu di ruangan Ayah.
Tidak. Jangan katakan jika pria ini datang untuk mengacaukan kehidupanku setelah tindakan bodoh yang kulakukan padanya semalam. Apa ia berpikiran jika aku seperti sedang mengejeknya dengan menawarkan tawaran bodoh itu tanpa melihat kedudukan kami yang berbeda? Apa ia akan menunjukkan padaku akan perbedaan kami itu?
"Kebetulan sekali kau datang, Tuan Benjamin Landcaster datang untuk bertemu denganmu."
Kemudian... apa yang selanjutnya akan terjadi padaku?
***