Chereads / Trophy Wife / Chapter 4 - Ch. 4 Apa ini Nyata?

Chapter 4 - Ch. 4 Apa ini Nyata?

Rasanya masih tidak dapat dipercaya, ketika seseorang seperti Benjamin Landcaster benar-benar duduk di sana, duduk di salah satu sofa yang berada di ruang kerja Ayah ini. Pria itu... pria yang sejak semalaman membuatku merasa begitu malu pada diriku sendiri, dan saat ini bahkan dengan tenangnya dapat menatap dalam diam ke arahku, menatap tanpa ekspresi seperti tatapan apa yang diberikannya padaku semalam, dan ya... tatapannya itu tidak pernah dapat diartikan.

Apa saat ini aku sedang berhalusinasi karena terlalu banyak memikirkan percakapan kami semalam, atau ini semua nyata? Jika benar ini semua adalah nyata, lalu untuk apa dia datang kemari?

"Rosie, sayang? Tuan Benjamin kebetulan sedang berada di sekitar sini dan memutuskan untuk mampir sejenak. Kau tentu sudah mengenal Tuan Benjamin bukan?" Panggilan Ayah menyadarkanku dari lamunan singkatku.

Benjamin Landcaster, siapa yang tidak mengenal pria itu? Si pria tampan dan kaya tetapi dingin itu sangat terkenal dikalangan wanita-wanita, dan pada akhirnya pertemuan kami semalam adalah awal mula ketika ia mengetahui keberadaanku di dunia ini. Dan melihat pertanyaan Ayah, sepertinya ia tidak mengetahui itu, pria itu sepertinya tidak mengatakan hal apa pun tentang pembicaraan kami semalam. Haruskah aku merasa gembira karena ia tidak memberitahu Ayah jika putrinya ini adalah seorang wanita yang tidak tahu malu, yang dengan berani mengajukan penawaran bodoh pada seseorang sepertinya?

"Ah... tentu Ayah, siapa yang tidak mengenal Tuan Benjamin Lancaster? Sungguh suatu kehormatan ketika Tuan Benjamin mengunjungi kita seperti ini." Aku mencoba tersenyum semampuku ketika sebenarnya aku tidak ingin melakukannya. Aku terlalu malu dengan tindakan yang kulakukan semalam.

Selanjutnya aku menurut ketika Ayah memberiku isyarat untuk duduk di hadapan Benjamin Lancaster. Tatapan mata tajam dari pria itu tidak pernah lepas dariku. Hal itu tentu saja membuatku merasa sangat tidak nyaman, sehingga aku memilih untuk menatap ke arah lain.

"Tuan Benjamin memberikan kabar mengejutkan sekaligus menggembirakan untuk perusahaan kita, Rosie. Beliau berencana untuk memberi suntikan dana investasi pada rencana perluasan hotel kita."

Tanpa sadar, mataku berkelana ke depan, menantang tatapan tajam yang sejak tadi menghujaniku itu. Lagi, rasanya masih saja tidak nyaman, tetapi aku tahu, ada sesuatu yang aneh dengan pria ini. Setelah menghinaku semalam, mengapa tiba-tiba saja ia datang ke tempat Ayah dan menawarkan investasi menggiurkan seperti ini? Ada apa sebenarnya ini? Dari pembicaraan kami semalam...

Jangan katakan jika ia datang ke tempat ini hanya untuk menunjukkan jika kami memang berada pada tingkat kehidupan yang berbeda, dan aku tidak seharusnya mengajukan penawaran gila itu.

"Benarkah? Ini tentu kabar yang sangat menggembirakan, terima kasih atas suntikan dana yang anda berikan pada usaha kami." Ya, terima kasih pula sudah mengingatkanku jika aku berada sangat jauh dari orang-orang sepertimu.

"Ya... Tuan Benjamin juga berencana untuk membangun beberapa resort di pantai dan memberikan kesempatan pada kita untuk menentukan lokasi yang sekiranya memiliki potensi yang besar di kemudian hari."

Aku tidak tahu haruskah aku merasa terhina atau merasa begitu bersyukur dengan tindakan yang dilakukan Benjamin itu. Di satu sisi ia terlihat begitu menghina dengan menunjukkan pembatas yang begitu tebal di antara kami, tetapi di sisi tindakannya begitu mulia hingga mampu membuat mata Ayah dipenuhi binar kesenangan yang tanpa sadar membuat bibirku membentuk sebuah senyuman.

"Mungkin kita bisa memulainya-"

Belum selesai Ayah mengutarakan perkataannya, Benjamin Landcaster lebih dulu memangkasnya.

"Tuan Mcbride? Bisakah kau memberiku waktu untuk berbicara dengan Nona Rosie sebentar saja?"

Perkataan pria itu membuatku merasa terkejut, begitu juga dengan apa yang kulihat pada Ayah. Tidak heran jika Ayah akan menampilkan ekspresi seperti itu. Sejak awal aku yakin jika Benjamin tidak mengatakan apa pun tentang pertemuan dan pembicaraan kami, sehingga sangat mengherankan ketika tiba-tiba saja seseorang yang tidak pernah saling berbicara sebelumnya bisa meminta waktu seperti ini untuk saling berbicara.

"Waktu... tentu saja. Silahkan... aku akan pergi keluar sejenak." Walaupun masih kebingungan, Ayah dengan menurut beranjak dari tempat duduknya kemudian pergi menuju pintu keluar dan meninggalkanku sendirian bersama dengan pria itu.

Tidak ada satu patah pun yang keluar dari bibir Ayah sepeninggalnya. Kami saling terdiam cukup lama sebelum akhirnya aku membuka suara untuk mempertanyakan semua kebingunganku hari ini.

"Tidakkah ini terlalu berlebihan Tuan, jika kedatangan Anda kemari hanya untuk menegur saya atas apa yang saya katakan semalam pada Anda?"

Tidak seharusnya aku memulai pembicaraan dengan topik ini, karena aku sebenarnya tidak tahu masksud kedatangan pria itu. Tetapi, satu-satunya pemikiran yang masuk akal hanyalah hal itu. Dan bagiku, jika maksud kedatangan pria itu adalah benar untuk itu, pria itu seharusnya menyadari jika apa yang dikatakannya padaku semalam sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan berbedaan dari kedudukan kami. Ia tidak perlu datang dan membuang uangnya secara cuma-cuma seperti ini.

Namun.... Aku lupa mereka memiliki segalanya dan mereka bisa melakukan apapun yang mereka inginkan.

Dan itulah yang selalu kuinginkan selama ini.

"Tuan, Anda tidak perlu melakukan semua ini. Saya tahu batasan saya dan saya meminta maaf atas kejadian semalam. Saya tidak ingin Anda melakukan ini semua untuk mengertak saya, memberi harapan pada Ayah saya dan kemudian menghancurkannya dengan mudah."

Ya, karena sejak tadi yang terpikir di kepala ku hanyalah hal itu. Dia membuktikan jika kami memiliki batas yang tinggi kemudian menghancurkan semuanya.

"Saya-"

"Apa yang kau inginkan?" Aku mencari-cari mata pria itu, sorot mata dingin yang menusuk tidak pernah meninggalkannya.

Aku tidak mengerti maksud dari perkataannya itu.

"Penawaran itu. Apa yang kau inginkan dari itu?"

Selanjutnya, mataku mungkin sedang terbuka lebar karena begitu terkejut mendengar penjelasan dari pernyataannya itu. Namun, aku mencoba mengondisikan diriku. Sialan. Aku tidak percaya jika ia akan membicarakan hal ini... Apa pria ini memikirkan soal penawaranku semalam? Sementara aku bergelut dengan rasa malu yang begitu mendalam.

"Aku-" apa Benjamin Lancaster benar-benar serius dengan pertanyaannya itu? Ia bertanya seakan ia tertarik dengan penawaran. Namun, aku tidak boleh terlalu percaya diri dengan ini. Terakhir kali aku memiliki sikap itu, hanya rasa malu yang kudapatkan.

"Aku-" Apa yang harus kukatakan padanya?

"Aku... Mengapa tiba-tiba Anda membicarakan hal ini?"

Benjamin Lancaster tidak menanggapi pertanyaanku. Bukankah sebelumnya ia berniat untuk berbicara denganku? Atau sebenarnya ia berniat untuk mendengarku berbicara?

"Anda tertarik dengan penawaran itu? Lalu mengapa anda ingin menerima tawaran itu?" Aku kembali mengajukan pertanyaan padanya.

"Kau tentu mengetahui alasannya." Balasnya cepat.

Alasan yang begitu jelas. Benjamin Lancaster ingin membalaskan dendamnya pada Rebecca Cole. Satu-satunya wanita yang berhasil menjatuhkan harga diri pria bermartabat dan memiliki kuasa tinggi sepertinya.

"Apa yang kau inginkan?" Tanyanya sekali lagi.

Aku tidak akan mengelak dan berbohong tentang tujuanku mengajukan penawaran bodoh itu. Bayangan akan kegembiraan yang terpancar pada binar mata Ayah terus saja muncul di kepalaku. Jika aku benar-benar menikah dengan pria seperti Benjamin Lancaster, Ayah dan Ibu akan mendapatkan semua hal yang mereka inginkan, begitu pula denganku. Aku akan mempu membahagiakan mereka dan kami akan menjadi keluarga terpandang di negeri ini. Ini tentu yang kuinginkan.

"Aku ingin menjadi permata."

Jawaban yang bodoh.

"Aku... Mungkin aku terdengar seperti wanita licik yang gila harta di sini, tetapi satu-satunya hal yang kuinginkan adalah memiliki segalanya, termasuk kedudukan yang tinggi dan kehormatan," aku berhenti sejenak, sebelum melanjutkan, "aku tidak ingin mengatakan kebohongan karena percuma saja jika sikapku selanjutnya akan berkebalikan dengan apa yang kukatakan."

Ia terdiam sejenak, seperti menimbang sesuatu, tetapi kemudian kembali berujar, "kau menginginkan hal itu... Bagaimana dengan perasaan bodoh yang sering diimpikan oleh kebanyakan wanita?"

Apa maksud perkataannya, apa ia sedang membicarakan tentang cinta?

"Maksudmu cinta? Sepertinya aku tidak membutuhkannya."

Selama ini, Ayah dan Ibu sudah memberiku perhatian dan kasih sayang, serta cinta yang begitu banyak, sehingga kupikir itu semua sudah sangat cukup. Mungkin timbul pertanyaan, lalu bagaimana jika mengenai perasaan dan perhatian dari orang lain, mungkin seperti kekasih atau yang lainnya? Kupikir aku tidak memerlukan itu. Selama ini, tidak ada seorang pria pun yang bersungguh-sungguh dalam menjalin hubungan denganku, dan melalui semua masa itu, kupikir aku baik-baik saja, aku tidak pernah merasakan sakit hati dengan itu. Kemudian teman... aku tidak benar-benar memiliki teman. Selama ini aku menikmati kehidupanku, aku menikmati cinta dan kasih sayang yang diberikan hanya dari Ibu dan Ayahku.

"Apa aku harus mempercayai perkataanmu itu?" lanjutnya bertanya.

"Itu semua terserah pada Anda."

Persetan dengan berbicara sopan.

"Kau bisa mempercayainya atau tidak. Namun, apa kau ingin mendengar sebuah cerita dariku?"

Benjamin tidak membalasku.

"Ibu dan Ayahku bahkan menikah tanpa sebuah perasaan yang kau singgung itu, dan mereka bahkan dapat hidup berdampingan seperti sepasang rekan kerja yang bekerja sama untuk tetap dapat bekerja di sebuah perusahaan. Jadi, ya... mereka bisa melakukannya, mengapa aku tidak?"

Mungkin tidak seharusnya aku menceritakan hal mendalam tentang keluarga kami pada orang asing sepertinya, tetapi untuk meyakinkannya, yang bisa kulakukan hanyalah mengatakan yang sebenarnya tentang itu. Ibu dan Ayahku memang tidak menikah dengan perasaan cinta, tetapi mereka sangat mencintaiku.

Namun, setelah melakukan pembicaraan ini, apakah benar jika Benjamin Lancaster tertarik pada penawaran itu?

"Jadi, apa maksud dari semua pertanyaan itu, Tuan Benjamin?"

Ia kembali memandangku sebelum membuka suaranya.

"Mari susun kontraknya."

***