Sebelum berbalik kearahmu (lagi).
Aku memeluknya sebelum itu, pun dengannya. Kami berbincang banyak sekali, perihal hati. Hatiku yang akan pergi, dan hatinya yang belum bisa beranjak pergi.
Tak terhitung berapa kali dan berapa banyak kata pamit yang terucap saat itu. Dari yang semula melelahkan hati, hingga akhirnya membiru lantas telah menjadi beku.
Cinta mungkin serumit itu. Dan, aku pun sepakat dengan itu.
*****
Kembali berlari kearahmu memang tak kujadikan begitu berharap. Sebab, aku tahu juang ku dahulu tak berarti apa-apa bagimu.
Aku tak akan memintamu tinggal dan bertahan dengan apa yang kau fikir berakhir, atau belum sama sekali dimulai.
Entahlah. Apa yang salah dariku. Akulah yang terus-terusan memaksa kehendak. Memaksa adanya kamu dalam hidupku.
Bila akhirnya nanti Tuhan memberitahuku bukan dirimu, aku akan tetap berterimakasih padamu. Sebab, telah menghadirkan rasa gelisah ini padaku. Rasa yang tak benar-benar harus kumiliki, tak benar-benar harus kunanti, dan tak akan pernah bisa ku nikmati.
Terimakasih telah mau bermain dengan rasaku, meski hanya sekedar bayangmu. Dan, maaf bila hari ini serta nanti aku terus saja mencarimu dalam rinduku sendiri.
Tapi jangan khawatir, aku tak akan mengusikmu (lagi).
Aku, perasaanku, rindu, dan harapanku, kami telah melewati ini berkali-kali, dan kami hanya perlu melewatinya sekali lagi.
Aku tak akan pernah menyembunyikan rasa, pun juga pengharapan, dan membiarkan masa begitu saja menggerogoti nya hingga habis dan lenyap.
Tidak, biarlah aku saja. Ini tanggungjawabku, aku yang akan menanggung ini sendiri.
Sebab, akulah yang memulai ini dari awal, hingga aku benar-benar akan mengakhiri.
Mengakhiri yang selalu saja ku anggap 'kita'.