"Terima kasih saudari ... atau bolehkah kupanggil namamu? Kamu boleh sebut juga aku Jun Quon."
Mendengar pertanyaan Jun Quon, Ming Mei mengangguk, wajahnya merona merah. Kemudian Ming Mei berkata, "Usia kita sepertinya terpaut jauh. Tak sopan bagiku menyebut hanya dengan nama. Bagaimana kalau kupanggil Kakak saja?"
Jun Quon tersenyum seraya mengangguk. Memang benar kata Ming Mei, usia mereka terpaut hampir sepuluh tahun. Tetapi dalamnya cinta mampu menepiskan perbedaan usia di antara mereka.
"Ming Mei, setelah ini kamu hendak ke mana?"
Ming Mei diam tak menjawab. Pertanyaan mudah, namun susah untuk dijawab. Kampung halamannya telah dibumi hanguskan belasan tahun lalu oleh Hong Jin Paidui. Kembali ke istana pualam jelas bukan pilihan.
"Setelah apa yang tadi kamu lakukan, tentunya Hong Jin Paidui akan mencarimu. Tiongkok sudah tidak aman lagi. Serangan yang akan dilakukan Kerajaan Song ke istana pualam belum diketahui hasilnya. Pergilah ke Pulau Es dan temui guruku. Untuk sementara kamu bisa menetap di sana." Kemudian Jun Quon mengambil sebuah lonceng kecil yang menggantung di pinggangnya. "Berikan lonceng ini pada guruku dan ceritakan semua yang kamu ketahui. Beliau pasti akan percaya. Ming Mei, setelah urusanku selesai, aku akan segera menyusulmu. Mudah-mudahan sebelum kamu sampai di Pulau Es. Kita sudah bisa bertemu."
Ming Mei menatap lekat-lekat wajah Jun Quon. Sebetulnya hati Ming Mei merasa berat harus berpisah dengan Jun Quon. Tapi mungkin ini adalah jalan terbaik untuk keduanya.
"Pulau Es demikian luas. Bagaimana caranya aku bisa mencari guru Kakak?"
"Tanyalah pada orang-orang di Pulau Es tempat tinggal Su Ke Yinshi. Semua orang di sana tahu di mana tempat tinggal guruku."
Pantas saja ilmu kanuragan Jun Quon begitu tinggi, sebab ia berguru pada salah seorang dari lima pendekar terhebat dunia persilatan. Bagi pendekar golongan hitam, mendengar nama Su Ke Yinshi disebut saja sudah membuat nyali ciut.
"Baik Kakak, terima kasih. Ming Mei mohon di—"
Ming Mei belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba pinggulnya tertarik ke depan. Sekejap kemudian, bibir Jun Quon mendarat di bibir Ming Mei. Selama beberapa lama, bibir mereka saling bertautan, seakan tak rela berpisah untuk sementara waktu. Ini adalah kali kedua mereka bertemu, mereka pun berasal dari kelompok yang berlawanan. Tetapi dikala hati merasakan cinta, semua itu tak menjadi halangan untuk saling mencintai.
Kembali ke Bao Yu. Perempuan cantik itu melesat dengat raut wajah marah. Pengkhianatan adik seperguruannya tentu tak dapat diterima. Setelah menempuh perjalanan panjang, kini ia telah tiba di sebuah air terjun di dalam hutan. Cepat saja baginya membuka pintu di balik air terjun, lalu melesat masuk. Setibanya di dalam istana pualam matanya terbelalak. Ia melihat tubuh-tubuh saudara seperguruannya tergeletak tak bernyawa. Khawatir akan keadaan sang guru, ia melesat masuk. Tetapi apa yang ia lihat sungguh diluar dugaan. Xue Yue Nuwang yang begitu sakti tergeletak tewas. Amarahnya meluap, sedihnya tak terperi. Baru saja Ming Mei berkhianat, kini ia menemui kenyataan guru dan saudara-saudaranya tewas mengenaskan.
Bao Yu berteriak meronta-ronta. Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Dendamnya sedalam lautan. Tapi ia tidak tahu kepada siapa ia membalaskan dendam. Tak ada saksi, tak ada bukti. Orang yang bisa membunuh gurunya pasti pendekar hebat. Makin bertanya dan menduga-duga, Bao Yu makin tak menemukan jawaban. Akhirnya ia mengambil sebuah kesimpulan.
"Ming Mei, Jun Quon! Dan seluruh pendekar golongan putih maupun hitam! Aku akan menuntut balas! Kukoyak dunia persilatan! Kucabik-cabik para pendekar! Tunggu saatnya! Kalian akan merasakan akibatnya!"
***
Semilir angin berhembus sejuk membelai wajah, debur ombak terdengar merdu menggoda telinga dan hamparan laut terbentang luas begitu indah dipandang. Xiu Juan berdiri di tepi sebuah kapal. Matanya memandang jauh ke tanah seberang. Tanah ke mana ia menuju. Tetapi bukan itu yang sedang ia pikirkan. Ia bingung memikirkan perasaannya. Perasaan yang begitu mendalam. dan tidak pernah ia rasakan sebelum bertemu Fengying.
Pikirannya kembali kebeberapa waktu yang lalu. Setelah terluka oleh Mogui De Gujia, Fengying tak memperdulikan kesehatannya sendiri dan berusaha mengobatinya. Juga ketika di istana pualam, Fengying menyuruhnya untuk menyelamatkan diri dan tak memperdulikan keadaannya sendiri. Wajahnya merona mengingat Fengying mengecup bibirnya di markas Si Tie. Jantungnya berdegup kencang ketika di Goa Tengkorak ia mendekap tubuh kekar pendekar tampan itu. Ingin rasanya ia merasakan lagi kecupan Fengying. Ingin rasanya ia mendekap erat tubuh kekar itu lagi. Ingin rasanya ia merasakan kehangatan dari sentuhan Fengying. Tapi apa mungkin? Apa mungkin Fengying memiliki perasaan yang sama?
"Hei ... Xiu Juan ... Xiu Juan ...."
Xiu Juan terhenyak, kepalanya menoleh. Dilihatnya Fengying sudah berdiri di sebelahnya sambil memegang sekepal nasi.
"Nih makan."
Xiu Juan menggelengkan kepala.
"Aduuuuh ... kamu ini aneh ya? Waktu di kedai, makanmu sampai lima piring. Sekarang sebutir nasi pun belum."
"Terus, apa perdulimu?" tanya Xiu Juan dengan nada ketus.
"Yaaaah.... nanti lukamu makin paraah."
Xiu Juan diam, lalu mengambil sekepal nasi dari tangan Fengying.
"Mmm... ngomong-ngomong jurus barumu hebat. Aku yakin kalau kamu gunakan jurus itu bersama Pedang Merak pasti lebih hebat lagi. Oh iya, apa nama jurusmu itu?"
"Yue … li … ang Ke … wang … Long," jawab Xiu Juan lirih sambil menundukkan kepala.
"Hah? Apa??"
"Yueliang Kewang Long!"
"Yueliang Kewang Long ? Hmmmm ... bagus juga namanya ...." ujar Fengying seraya mengelus-elus dagunya sambil manggut-manggut. "Kalau kamu bulannya, terus siapa naganya?"
Pertanyaan ini sebenarnya sudah diduga oleh Xiu Juan. Jurus itu memang ia ciptakan ketika dirinya mendambakan Fengying. Dan Xiu Juan malu mengakuinya.
"Naganya aku, ya?!"
Kontan wajah Xiu Juan merona merah. Fengying padahal hanya asal omong, tapi tetap saja Xiu Juan merasa malu. Apalagi sebetulnya perkataan Fengying memang benar.
"BODOOOH!" bentak Xiu Juan seraya pergi meninggalkan Fengying.
"Dasar perempuan aneh ...," gumamnya sambil memalingkan wajahnya ke arah laut.
Mata Fengying memandang laut. Selama beberapa saat ia menikmati betul hamparan yang ada di depannya. Tapi kemudian tiba-tiba alisnya mengkerut sambil memicingkan mata. Ia melihat sebuah kapal besar mendekat. Di ujung tiang kapal itu, terdapat bendera bergambar ular! Jangan-jangan ....
"Ada bajak laut!"
"Itu Haiyang She (Ular Penguasa Samudera)!"
Suasana tenang di kapal tiba-tiba berubah. Orang-orang menjadi panik. Fengying yang jarang menyeberangi laut, tak mengenal nama bajak laut Ular Penguasa Samudera. Tapi dari raut wajah ketakutan orang-orang di kapal, Fengying bisa menduga kalau bajak laut itu begitu ditakuti. Hanya kurang dari dua puluh hitungan jari.
Kapal berguncang hebat. Kapal bajak laut menabrak kapal yang mereka tumpangi. Belasan orang berpakaian hijau melesat dari kapal bajal laut, disusul suara-suara teriak ketakutan.
***