Motor melaju ke arah terminal kampung rambutan..semilir angin melambaikan rambut Kira, dan panas matahari di jam sepuluh pagi juga membuat kulit putih di lengannya memantulkan warna indah bak susu, tapi terasa ga nyaman di kulit kira, rasa panas matahari dan juga panas dari asap knalpot, membuat ada rasa terbakar di kulit Kira. Namun, tak sesakit rasa di hatinya. Perasaan sakit yang entah bagaimana harus diungkapkan.. Rasa perih. Membuat air matanya terus meleleh. walaupun Kira tak sedikitpun menghapus air matanya. Dia tak menangis sesegukan hanya membiarkan air matamya terus meleleh, dihapus oleh terpaan angin, helm yang dikenakannya, membuat samar dan orang tak tahu, betapa sedih dan terluka hati seseorang di balik helm itu.
"Sudah Kira.. Jangan sebut namanya lagi.. Kau lihat tadi, bahkan dia terlihat lebih berkuasa dan lebih semena-mena. Wanita itu.. Wanita penuh kuasa.. Wanita dengan kemampuan untuk membuatmu semakin menderita nantinya. Lelaki itu mencintainya. Pernikahan mereka begitu indah, bukan? Bahkan lelaki itu tak berhenti mencium dan memeluknya. Haha.. Kira.. Sudahlah.. Lupakan.. Jalani hidupmu sekarang. Kau bebas, selama kau bisa bersembunyi dengan baik." terus saja hatinya menguatkan dirinya sendiri. Kira bahkan tak ingin menyebut nama lelaki yang baru semalam dia menyatakan cinta pada lelaki itu. Lelaki yang baru semalam menghargainya sebagai milik lelaki itu seutuhnya, kini.. Kira harus rela melupakannya.
"Ini uangnya bang.. Ambil kembaliannya!" Kira menghapus air bening di pipinya sebelum turun dari motor dan membuka helm.
"Makasih Neng."
"Sama-sama!"
Dengan langkah cepat, Kira memasuki terminal.
"Mau ke mana, mba?" tanya calo bus
"Bandung. Bus ke bandung mana, ya pak?"
"Oh, di sana mba. Mau pakai yang eksekutif, bisnis atau biasa?"
"AC yang biasa aja pak!"
"Oke!"
Calo bus membawa Kira ke Bus jurusan bandung.
"Silahkan Mba!"
"Makasih, pak!"
Kira masuk, duduk di kursi kedua dari depan. Di dekat jendela. Tak berapa lama, kondektur menagihnya tarif bus, dan satu jam kemudian, mobil melaju meninggalkan terminal kampung rambutan.
"Aku tinggalkan semuanya.. Selamat tinggal kota Jakarta.. Selamat tinggal masa laluku.. Selamat tinggal impianku.. Maafkan aku ayah, aku sudah menjadi anakmu yang durhaka.. Aku tak sanggup lagi berada di sana.. Berada disampingnya. Aku menilih pergi daripada harus melihatnya bermesraan dengan wanita seperti di video yang aku tonton tadi. Itu sangat menyakitkan, ayah.. Maafkan aku.. Kali ini, aku benar-benar meniru sifatmu yang egois.. Maafkan aku.. Harusnya dulu aku memilih dia menjualku saja ke rumah bordir.. Harusnya aku tak bermain api seperti ini. Mencintainya sangat menyakitkan, ayah.. Aku harus mengorbankan semuanya.. Bahkan aku sekarang harus membuka jilbabku sementara karena harus menghidarinya. Aku sangat terluka, ayah.. Andai kau lihat betapa mesra dan bahagianya mereka dalam video itu.. Wanita dari kalangan dan pendidikan yang setaraf dengannya.. Mereka saling mencintai, bahkan memiliki anak yang sudah cukup besar." dada Kira terasa sesak. Dia terus menangis di atas bus yang melaju. Untungnya, bus kali ini sepi. Hanya ada delapan belas penumpang, dan kursi di samping Kira kosong. Kira menangis memandang jendela besar di sampingnya, dengan kaki kanannya di naikkan di atas kursi. Dan menyangga tangannya.
Tak ada lagi senyuman di wajahnya. Hanya air mata yang terus mengalir. Membasahi matanya. Dengan pikiran tentang malam terakhirnya dan beberapa perlakuan indah dari Ryan yang membuatnya semakin tersiksa, menangis tiada henti. Entah berapa banyak air mata telah tumpah sepanjang perjalanan. Empat jam perjalanan ke bandung, yang penuh dengan air mata.
"Aku yang lemah tanpamu
Aku yang rentan karena
Cinta yang t'lah hilang darimu
Yang mampu menyanjungku
Selama mata terbuka
Sampai jantung tak berdetak
Selama itu pun aku mampu untuk mengenangmu
Darimu 'ku temukan hidupku
Bagiku kaulah cinta sejati
Yeah hu- hu hu
Bila yang tertulis untuk ku
Adalah yang terbaik untukmu
Kan 'ku jadikan kau kenangan
Yang terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku
Meninggalkan jejak hidup mu
Yang t'lah terukir abadi
Sebagai kenangan yang terindah"
"Aaarghh...sial sial.. Supir bus kurang ajar.. Kenapa harus putar musik begitu siiiih?" air Mata Kira semakin tumpah mendengar liriknya.
"Leuwi panjang!" kondektur bus sudah memberikan informasi kalau mereka sudah sampai ke tujuan.
Kira menghapus air matanya, dan turun bersama penumpang yang lainnya.
"Fuuuuh.. Mau ke mana, aku, ya? Aku harus beli handphone dulu.." Kira keluar ke arah jalan raya, berjalan agak cepat untuk melindungi dirinya dari debu dan asap kendaraan yang hitam pekat. Kira berhenti di sebuah konter handphone yang ada di luar terminal.
"milari hape nu kumaha, teh? (Cari handphone tipe apa, kak - panggilan untuk perempuan?)"
Sesaat Kira tak menjawab, hanya melihat.
"Hmmm. Saya mau cari handphone yang murah, aja, tapi saya ga bawa KTP untuk aktifasi. Apa bisa? Hmm. Saya dari jakarta ga bisa bahasa sunda.." Kira akhirnya menjawab dengan senyum kecil setelahnya.
"Oh, gampang itu mah, teh.. Bisa di bantu sama Ajat! Teteh mau yang harga berapah?"
"Yang murah aja, a' Ajat.. Yang penting bisa nyala, bisa telepon." jawab Kira singkat.
"Oh. Itu mah.. Yang ini bisa teh.. Harga murah, cuma sembilan ratus ribu, Ajat kasih geratis sim card!"
"Hmmm.. Bisa kurang ga? Saya ga punya banyak uang."
"Mentok delapan ratus tujuh puluh ribu, gimana teh?"
"Boleh,lah!"
"Okay, siap teh.. Ke la, nya.. (tunggu sebentar)!" Ajak lalu membantu membuka handphone dan mengaktivasi nomor kartunya. "Tetehnya, kabur dari rumah, lain?" Ajat membuka obrolan.
"Hah, ko bisa nuduh gitu?" tanya Kira sambil mengernyitkan dahi.
"Uh, nebak aja, teh.. Soalnya, teteh ke Bandung ga bawa handphone, KTP, apa atuh namanya kalau bukan kabur? Hehe" Ajat mencoba mengobrol ringan
"Hahhaha.. Bisa aja kamu!" Kira tersenyum.
"Mau dikawinin paksa, lain?"
"Ih, kok bisa nuduh gitu?" Kira mengernyitkan dahi lagi.
"Yah, tetehnya cantik, pastilah kabur gegara mau dinikahin paksa, hihi!"
"ahahahah.. Bisa aja kamu, Jat! Udah selesai belum handphonenya?" Kira mengalihkan fokus pembicaraan. Tak ingin mengingat alasannya pergi ke bandung.
"Sudah siap, teteh.. Nah, ini handphone dan nomernya." Ajat menyerahkan handphone ke Kira.
"Hmm.. Makasih ya.. Aku mau numpang duduk dulu di sini, boleh? Sebentar aja! Mau cek sesuatu.."
"Haha.. Pasti si teteh mau cari indekos, ya kan?"
"Pinter, kamu!" Kira tersenyum balik.
"Kos di kosan orangtua saya aja, teh. Di daerah setiabudi, mau?"
Kira tak lagsung menjawab..ada sedikit ragu dengan tawaran seseorang yang baru dikenalnya.
"Insya alloh saya mah ga macem-macem, teh.. Ga ada niat jahat. Teteh bisa lihat kosannya di olx juga ada, hehe"
"Hmmm. Boleh, lah.. Apa namanya, aku cek di olx dulu!"
Ajat menyebutkan nama kostnya, lalu memberikan ke Kira.
"Eh, punteun.. Nama teteh siapa?"
"Icha.. Namaku Icha!"
"Hah?"
"Nama asliku Nisa, Chairunisa. Tapi teman-temanku panggil aku Icha." Kira tersenyum, setelah menjelaskan namanya ke Ajat.
"Uh, geulis pisan, namanya teh.."
"Hihi.. Makasih! Hmmm.. Ini!" Kira menunjukkan foto di OLX ke Ajat. "Harganya lima ratus lima puluh ribu sebulan. Bisa kurang enggak? Sisa uangku juga tinggal dikit. Bisa ya?"
"Oh, kedap teh.. Saya tanya dulu ke umi!"
Kira mengangguk paham. Ajat menelepon umi- ibunya langsung di depan Kira, dengan bahasa sunda. Tak berapa lama, dia menutup teleponnya, lalu tersenyum ke Kira.
"Boleh, teh.. Kata umi saya, boleh kurang, jadi lima ratus pas, buat teteh. Gimana?"
Kira tersenyum dan mengangguk setuju.
"Ok, deal.. Aku ke sana naik angkot apa?" tanya Kira lagi.
"Bareng saya aja, teh.. Sekalian saya pulang ke rumah! Kedap, teh.." Ajat celingukan mencari seseorang. "Sep! Tungguan konter heula! (Sep, tunggu konter dulu!)" lalu Ajat mendekat ke orang yang dipanggilnya, kemudian berbalik ke Kira.
"Hayu, teh Icha!"
"Ehmm.. Iya!"
"Fuuuh.. Bismillah aja lah.. Semoga dia orang baik. Kalau dari wajahnya sih.. Cukup baik..!" Kira mencoba berpositif thinking. Ajat, pemuda asli Bandung, dengan tinggi seratus tujuh puluh sentimeter, badan ga terlalu gemuk dan cukup tinggi, postur tubuh tegap, walaupun otot tubuhnya kalah jauh dari Ryan. Tapi Ajat memiliki senyum manis yang hangat yang cocok dengan kulit sawo matangnya.
"Hayu. Naik teh Icha!" Ajat memberikan helm untuk Kira setelah Ajat naik di atas motor nmax-nya.
"Makasih, yah!'
Kira memakai helm lalu naik di atas motor Ajat. Motor melaju di jalan kota Bandung dengan kecepatan sedang. Udara sore hari yang tak terlalu panas, membuat Kira sangat menikmati angin sore dan suasana di kota yang baru pertama kali didatanginya.
"Teh icha, mau mampir dulu, ke distro? di sini banyak distro murah tapi bajunya ga kalah bagus sama baju mahal di Jakarta."
"Hmm... mau apa, Jat?" tanya Kira bingung.
"Teteh pan belum bawa salin baju.. Apa ga mau cari salin dulu?"
"Oh, iya...bener kamu! Aku mau mampir beli beberapa potong baju dulu.. Boleh?"
"Ya boleh. Atuh, teh! Hehe.."
Ajat berhenti di salah satu Distro. Lalu mengajak Kira masuk ke dalam.
"Sok, di pilih, teh!"
"Hmmm.. Makasih, Jat!"
"Alhamdulillah, baik juga si Ajat. Alahamdulillah, aku masih ketemu sama orang baik di sini.. Hmm.. Baju-baju di sini aku ga suka.. Bukan gamis yang selalu aku pakai. Tapi, aku ga ada pilihan untuk sekarang.. Hufff.. Ya Rob.. Maafkan aku.. Maaaf banget.. Aku mungkin butuh waktu untuk penyamaran ini, sampai aku bisa pakai lagi jilbabku.." hati Kira sangat ga nyaman memilih pakaian yang tak sesuai dengan hatinya. Tapi, demi penyamaran dan kebebasannya, akhirnya dia menetapkan beberapa pilihan, yang menurutnya masih sopan. Kira sengaja memilih yang berlengan panjang dan celana panjang.
"Udah?"
Kira mengangguk.
"Lin, di bungkus baju teh Icha!" pinta Ajat pada wanita berjilbab pink.