"Oh, iya, Aa Ajat!" Lina langsung melipat bajunya, dan memasukkan ke dalam kantong plastik. Lalu memberikan ke Kira. "Ini, teh, bajunya."
"Berapa?" tanya Kira, sambil membuka tasnya untuk mengambil uang.
"Gratis, Teh Icha..!" Lina tersenyum ke Kira.
"Hah? Kok bisa gratis?" Kira agak bingung.
"Iya, teh.. Udah di bayar sama Aa Ajat.. Ini kan distronya Aa Ajat! Heheh.." Lina tertawa kecil. "Kenalin, aku Lina, adeknya Aa Ajat." Lina memberikan tangannya ke Kira.
"Icha.." Jawab Kira lalu menengok ke Ajat "Ih, kamu tuh.. Mana bisa aku beli baju gratis.. Kamu nanti rugi, berapa harganya?" tanya Kira yang ga enak hati dengan kebaikan Ajat.
"Udah, enggak apa-apa. Anggep aja hadiah dari teman, hhehe.." Ajat tertawa kecil sebelum melanjutkan kalimatnya. "Yuk, mau ke kost sekarang?"
"Aduh.. Aku ga enak nih.. Berapa harganya?" Kira tetap memaksa. Karena Kira belanja cukup banyak. Baju, celana, dalaman, dan sebelumnya, Kira juga mampir membeli sajadah dan mukena, Ajat juga yang bayar.
"Udah, gapapa, teh.. Aa Ajat mumpung lagi baik, marI kita manfaatkan. Hehe.. Diakan uangnya banyak, teh.. Sekali-kali ditraktir, harus dimanfaatkan. Hihi!" Lina menggoda Ajat. Lina tahu, Ajat, yang lulusan pesantren Daarut Tauhid Bandung, bukan orang yang gampang dekat dengan wanita. Kali ini, adalah pertama kalinya Ajat membawa wanita bertemu dengannya, apalagi tadi kata uminya, Ajat minta kamar kostnya dibersihkan, di pel, di sapu, sprei di ganti yang baru, untuk Kira.
"Maafin aku, ya.. Ngerepotin kalian.." Kira sudah ga enak banget dengan dua kakak beradik yang sangat baik ini.
"Duh, Ya Rob.. Kenapa mereka semua baik banget ke aku.. Huff.. Aku ga enak. Tapi, makasiiih banget, udah kirim orang baik ke sini.. Makasiiiih.. Makasiiiih..
"Udah, gapapa teh.. Ati-ati di jalan, ya!" Lina melambaikan tangannya ke Kira dan Ajat
"Hmm, maaf ya, aku merepotkan kamu!" Kira menerima helm dari Ajat sambil berterima kasih.
"Gapapa.. Tenang aja.. Yuk, naik! Biar Teh Icha bisa cepet istirahat!"
Kira mengangguk, mengikuti saran Ajat untuk naik ke motornya. Kurang dari dua puluh menit, mereka akhirnya sampai di kost milik keluarga Ajat. Kost sederhana di dalam gang yang muat untuk mobil dua arah, tapi mepet kalau ada dua mobil. Rumah kost sangat sederhana, tapi asri dan bersih. Letaknya bersebelahan dengan rumah yang ditempati Ajat dan keluarganya.
"Aa.. Ini temannya yang mau kost?" Wanita paruh baya, memakai cadar menghampiri Kira dan Ajat sambil membawa kunci.
"Iya, umi.. Namanya Chairunisa."
"Assalamu'alaikum, umi.. Saya Chairunisa, biasa dipanggil Nisa atau Icha." Kira mencium tangan wanita didepannya.
"Huhu.. Aku merindukan niqobku.. Itu pakaian yang ingin aku kenakan sekarang.. Ya Rob.. Astaghfirulloh.. Kenapa hatiku sesakit ini sekarang?" Ingin rasanya Kira menangis, tapi sekuat tenaga ditahannya air mata yang hampir jatuh itu.
"Uh, geulis, neng Icha.. Hayu, masuk.. Umi anter ke dalam kostnya.." Umi Ajat merangkul Kira, mengantarnya ke kamar kost Kira. "Kamarnya sederhana, ya neng.. Maaf ini seadanya.." jawab Umi, saat menunjukkan kamar ukiran tiga kali tiga meter dengan kamar mandi yang ada di dalam kost, dipan ukuran satu kali dua meter dengan satu bantal dan satu guling, dengan meja belajar dan lemari pakaian kecil. Tak ada dapur dalam kost ini. Hanya kamar biasa seperti kost mahasiswa pada umumnya.
"Alhamdulillah umi.. Terima kasih. Segini juga aku sudah alhamdulillah ada tempat tinggal. Hehe.." jawab Kira penuh dengan syukur.
"Alhamdulillah. Semoga betah, nya neng.. Umi permisi dulu. Nanti malam, ikut makan malam di rumah, yah.. Umi udah masak pepes ikan mas!" jawab umi yang sedang tersenyum, tapi tentunya tak dapat terlihat oleh Kira.
"Terima kasih, umi.. Aku jadi ngerepotin gini.. Oh iya.. Ini uang kostnya." Kira membuka tas, hampir aja dia lupa kalau belum bayar kost.
"Ih, ga usah, Neng Icha.. Bulan ini ga usah bayar dulu.. Neng Icha tenang ajah!"
"Tapi tadi aku udah deal sama Ajat.." Kata Kira tak mau kalau harus gratis lagi.
"Gapapa.. Ajat tadi ituh, takut kalau bilang gratis, nanti Neng Icha takut di bawa ke sini.. Kan zaman sekarang semua ga mudah di percaya.. Umi ngerti masalah Neng Icha.. Udah, tenang aja, istirahat, dan tenangkan pikiran dulu.. Kalau Neng Icha bisa solat.. Silahkan Solat, minta sama Alloh supaya dipermudah masalahnya.. Umi tinggal dulu, ya neng.. Oh iya, sabun, sampo dan peralatan mandi udah ada di kamar mandi.. Silahkan di pakai!"
"Terima kasih umi.. Hawwaawa.." Air mata Kira seketika pecah karena kebaikan keluarga sederhana yang baru dikenalnya. Mereka bukan orang kaya, hidup ga bergelimpang harta, tapi berada di dekat mereka, rasanya sangat adem.. Ada rasa tenang dalam hati Kira.
"Neng Icha.. Jangan nangis, atuh.. Tenang weh, sing sabar, ya neng.. " Umi Ajat memeluk Kira, untuk beberapa saat memberikan sedikit wejangan juga untuk menenangkannya. Beberapa ayat alquran yang juga diketahui Kira dan hadist dipakai oleh umi untuk menenangkan hati Kira.
Kira melepaskan pelukan umi setelah hatinya sedikit tenang.
"Maaf umi.. Aku kebawa perasaan.. Mamaku sudah meninggal dari aku usia tujuh tahun. Maaf, ya umi.." Kira menghapus air matanya, yang masih ada di sisi mata dan pipinya.
"Anggep umi ibunya Neng Icha mulai dari sekarang, yah.. Hmm .. Umi permisi dulu, Neng Icha bisa isitahat dulu disini.. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam, umi.." jawab Kira, sambil menutup pintu kostnya.
Kira segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Masih ada sedikit darah keluar, sehingga dia belum bisa mandi hadas besar. Kira hanya mandi biasa untuk membersihkan dirinya dari debu dan asap knalpot selama perjalanan ke sini. Lalu, Kira mengganti pakaiannya, dan duduk di tempat tidur, yang jauh dari tempat tidurnya selama tiga bulan ini. Ga se-empuk tempat tidur di rumah Ryan, tapi setidaknya, hati Kira merasa tenang untuk saat ini.
Kira membuka tas, merapihkan uang berserakan dan memasukkan ke dalam dompetnya.
"Huff.. Kau mengisi banyak sekali uang di dompetku, sepuluh juta, uang dari hasil penjualan laptop sama handphone juga ada, dan kartu saktimu. Aku ga akan lagi pakai kartu ini.. tapi aku akan selalu ingat hari ulang tahunmu, dua puluh tujuh desember tahun sembilan belas sembilan puluh." Setitik bening mengalir dari mata Kira. "Hari ini.. Hari terakhir kita bertemu.. Terima kasih, kau berikan kenangan indah untukku di malam hari terakhir kita bersama. Aku akan ingat selalu kalau kau adalah suamiku.. Suami pertama dan terakhirku.. Aku akan selalu memegang janjiku padamu.. Walaupun kali ini aku minta maaf aku harus membuka jilbabku untuk beberapa saat sampai kau berhenti mencariku, sampai kau melupakanku, sampai aku sudah benar-benar hilang dari hatimu. Aku minta maaf, karena aku tak memegang tanganmu saat kau melepaskan tanganku tadi.. Aku ga bisa menyakiti wanita yang kau cintai.. Kalian terlihat sangat bahagia bersama.. Aku minta maaf karena aku harus meninggalkanmu.. Aku tak mau kau hidup susah.. Kau bukan aku yang lahir dari kalangan masyarakat biasa. Aku tahu, wanita itu bisa membuat hidupmu susah.. Aku memlilih ini sebagai caraku mencintaimu. Kau izinkan aku untuk mencintaimu.. Dan inilah caraku mencintaimu.. Aku akan selalu berdoa untukmu, walau kita ga akan pernah bersama lagi.. Kau satu-satunya dan yang terakhir untukku.. Aku sayang kamu suamiku. Aku sayang kamu, Ryan. Semoga kamu bahagia.. Aku juga akan bahagia, walaupun sakit dihatiku ga akan pernah hilang." air mata Kira tumpah, dia menangis sesegukan di kamar kostnya sendiri. menumpahkan segala rasa yang sudah dipendamnya dari pagi. Hari ini.. Beginilah pengorbanan Kira untuk cintanya.. Kira meninggalkan Ryan saat Ryan melepaskan tangannya, Kira meninggalkan impiannya, saat memutuskan untuk mengilang.. Impiannya.. Impian terbesarnya sebagai scientist.. Telah direlakannya. Kira bahkan sudah mengikhlaskan apapun yang terjadi pada ayahnya demi kebahagiaan suaminya. Cinta dan pengorbanannya untuk Ryan, yang memberikan kesempatan untuk ribuan pedang menghujam hatinya.
Kira menangis, tak henti hingga akhirnya tertidur karena kelelahan. Tertidur dengan posisi meringkuk memeluk tas pemberian Ryan.
TOK TOK TOK
"Teh Icha, Assalamu'alaikum!" sayup-sayup terdengar di telinga Kira suara pintu kamarnya di ketuk.
"Astaghfirulloh.. Aku ketiduran! Iya, sebentaaar"
Klek
Wajah Lina, yang memakai jilbab berwarna pink sudah tersenyum di depan pintu.
"Teh, di suruh umi ke rumah, hayu, makan malam bareng!"