Chereads / Senja Kian Memudar / Chapter 17 - Episode 17

Chapter 17 - Episode 17

Rasanya mulut gue enggak sabar ingin segera kasih tahu Gita bahwa Bang Adi sudah memiliki gebetan. Biar gue bisa bebas dari desakannya untuk segera move on. Namun gue juga enggak bisa menghibur, Gita, yang punya niat baik untuk gue.

"Enggak bisa, Git. Gue tahu bang Adi sudah tidak lagi sendiri." Ucapku jujur.

"Maksud lo gimana? Gue masih enggak paham." Gita mendapat chat yang merubah wajahnya sendu. Enggak sedap dipandang.

"Tadi, bang Adi, bilang bahwa dia sudah punya gebetan. Jadi lo enggak usah deh nyuruh gue buat buka hati untuk dia." jelasku puas.

"Iya sudah terserah lo saja." Ucap Gita sedih.

Sepertinya ada sedikit perasaan yang mengganjal karena wajah Gita sedih banget setelah mendapat chat dari seseorang.

"Kenapa, Git? Apa ada masalah yang serius?" tanyaku khawatir.

Gita mengangguk lemah. "begitulah, Lay. Sebenarnya bukan masalah gue sih tapi ..." gue memeluknya karena tahu dia sudah tak sanggup melanjutkan.

"Sudah jangan dilanjutin kalau lo emang enggak siap buat cerita." Ucapku sambil menguatkan Gita.

"Enggak apa-apa kok, Lay." Gita terus memandangku. "justru gue rasa lo juga harus tahu sih."

"Apa masalah yang lo rasakan sekarang?" tanyaku lagi.

"Bang Lutfi ada masalah yang sengaja disembunyikan dari gue dan mamah." jelas Gita.

Haduh! Masa lalu yang menjadi topik utama hari ini, gue enggak tahu apa sanggup mendengar penjelasan Gita atau enggak. Nasihat dari gue pun hanya setengah enggak bisa penuh seperti biasanya.

"Masalah apa sih, Git? Gue sedikit penasaran, apa ini ada hubungannya dengan gebetan barunya kak Lutfi?" tanyaku berusaha tegar.

"Enggak dong, Lay. Abang gue masih sibuk berkelana dengan hatinya yang tak pasti." jawab Gita jujur.

Hati gue masih aman sebab kak Lutfi dari dulu memang enggak pernah berubah selalu saja mempermainkan perasaan perempuan. Gue sendiri pun enggak masalah kalau dia nyakitin seperti apa, tetapi gue enggak bisa membayangkan jika korbannya bukan cuma gue seorang.

"Terus kalau bukan masalah hati, tentang apa, Git?" tanyaku serius.

"Kalau bisa gue tebak sih ini ada hubungan dengan minimarketnya, Lay. Tapi untuk pastinya gue masih enggak tahu." Gita pun sepertinya bingung dengan keputusan yang akan diambil.

"Minimarketnya kenapa, Git? Apa ada seseorang yang berkhianat lagi?" tebakku.

Kebanyakan masalah yang menerpa para pebisnis adalah seseorang yang sangat mereka percayai tiba-tiba mengkhianatinya begitu saja. Dan, gue tahu betul kak Lutfi terlalu mudah percaya dengan orang baru sampai Gita suka mengeluh gaji karyawan yang terlalu tinggi.

Dulu pun pernah ada kejadian yang sama, salah seorang pegawai kak Lutfi diam-diam menyelundupkan uang alias korupsi. Dan katanya uang itu demi saudaranya yang sakit.

Kabar yang gue dengar dari Gita adalah kak Lutfi cuma memecatnya, enggak sampai tega memblacklist mantan karyawannya dari semua pekerjaan yang ada. Hatinya kak Lutfi memang sebaik itu, gimana gue bisa move on kalau dia masih baik.

"Sepertinya memang begitu, Lay." Gita mengenggam tanganku. "bisa lo bantuin gue kan?"

"Bantuin gimana, Git? Lo kan tahu gue sudah enggak berhubungan lagi sama kak Lutfi." tanyaku mengusap wajah.

"Iya gue tahu, Lay tapi bukan itu maksud gue." Ucap Gita masih ambigu. "lo kan sekarang kerja sama bang Adi, coba dong lo cari tahu ke dia barangkali bang Lutfi cerita masalahnya sama dia?"

Gue rasa kak Lutfi bukan type orang yang suka cerita sama orang sembarangan sebab gue hapal betul dia hanya cerita pada orang terdekatnya saja. Memang sih gue baru dua hari bekerja sama tante Adel tetapi gue tahu bang Adi jarang sekali memegang ponsel selama bekerja.

"Baiklah kalau itu mau lo, gue nanti akan cari tahu penyebab masalahnya kak Lutfi itu apa." gue langsung merapikan buku yang masih berserakan. Sebentar lagi gue harus sudah sampai di butiknya tante Adel. Jangan sampai terlambat.

***

"Wah rupanya anka kesayangan bos baru datang nih!" sindir seorang perempuan dengan jilbab phasmina di iket ke belakang.

"Maaf maksudnya siapa ya Kak?" tanyaku polos.

Wajahnya mengeras. "siapa lagi kalau bukan lo!" tudingnya. "sudah deh lo enggak usah berlagak polos begitu, kita semua juga tahu kok kalau lo ada main kan sama kak Adi?"

Apa-apaan nih! Gue baru juga masuk ke butik sudah dituduh begitu. Padahal gue sudah membayangkan mereka semua orang yang asik, ternyata ada maunya. Enggak menyangka mereka bisa sejahat ini menilai gue hanya beberapa hari saja.

Mari kita coba seberapa besar nyali gue bisa bertahan kerja di tempat yang lingkungannya tidak mendukung. Bukan salah tempat kerjanya tetapi salah karyawannya sendiri yang memiliki sifat jahat seperti mereka.

Gue tersenyum kecut. "siapa sih yang ada hubungan dengan bang Adi? Saya saja baru kenal dia, masa iya dibilang ada hubungan."

"Kalau emang lo enggak ada hubungan dengan kak Adi, ngapain juga dia sampai sebegitu perhatiannya sama lo?" tanyanya geram.

Gue menghela napas panjang. "saya beneran enggak tahu, Kak. Di sini niat saya cuma bekerja bukan mau pedekate sama anak pemilik butik." Ucapku ketus.

"Maksudnya lo apa? Mau nyindiri gue, hah?" dia hendak memegang jilbab lalu gue tepis.

Gue tahu banget apa yang ada dalam pikiran busuknya. Pasti dia berusaha melepas jilbab gue biar di sini gue kelihatan seperti orang yang sedang mencari pasangan bukan bekerja. Ya walau gue tahu sekalipun tante Adel melihat ini pasti membela gue bukan mereka.

"Enggak Kak. Saya hanya bicara isi hati bukan bermaksud menyindir, lagipula saya di sini niatnya mau bekerja, Kak. Tahu sendiri biaya kuliah sangat mahal, Kak?" jelasku semoga saja mereka masih paham bahasa manusia.

"Yakin lo enggak ada niatan gangguin kak Adi?" tanyanya mulai melunak.

"Beneran, Kak. Gue juga enggak mau mengurus soal percintaan dulu, soalnya masih belum bisa move on dari masa lalu. Dan yang terpenting laki-laki itu bukan bang Adi." jelasku mengakui semuanya agar mereka enggak menuduhku yang macam-macam.

"Baguslah kalau lo emang masih cinta sama mantan. Awas saja ya kalau lo sampai merebut kak Adi dari gue?" dia lalu pergi bersama kedua temannya.

Ini sebenarnya bukan cobaan sih sebab gue pun enggak terganggu dengan gertakan dia. Ngapain juga gue harus takut karena memang enggak ada apa-apa antara gue dan bang Adi. Kasihan banget sama tante Adel harus punya karyawan seperti mereka.

"Enggak usah dipikirkan ucapan Viana ya Lay sebab gue tahu dia emang sudah sangat frustasi untuk mendapatkan cinta dari kak Adi." sambung seseorang dengan jilbab besarnya. Dilihat dari wajahnya dia perempuan yang sangat baik, berbeda sekali dengan ketiga perempuan tadi.

"Ouh jadi namanya Viana ya Kak?" tanyaku terbengong.

"Betul sekali, Lay." dia mengulurkan tangannya. "kenalin nama gue Mustika, boleh enggak saat ini gue jadi sahabat lo?"

Gue pun menerima jabatan tangannya. "tentu boleh dong, Kak Tik. Saya akan sangat senang sekali jika punya sahabat di sini, bekerja pun enggak ada rasa lelah."

Masih ada orang yang baik hati enggak seperti Viana sudah dibutakan matanya hanya karena cinta. Pantas saja bang Adi enggak meliriknya sebab sikapnya bar-bar begitu. Dan, apa kabar dengan dia jika tahu bang Adi sudah punya gebetan, pasti akan sangat meradang.

"Alhamdulillah, gue senang bisa sahabatan sama lo. Ouh ya mulai sekarang jangan terlalu formal ya karena gue usianya sama seperti lo." Mustika begitu senang bisa menjadi sahabat gue.

Gue mengangguk. "kalau boleh tahu lo sudah lama kerja di sini ya? Hapal banget sama anak-anak sini?" tebakku.

"Lama sih enggak, Lay, gue bekerja di sini baru tiga bulan ini." jawabnya dengan wajah ceria.

"Wah masih baru juga ya, Tik? Terus kalau boleh tahu kenapa sih lo milih kerja dibutik?" tanyaku penasaran.

Mustika tersenyum malu-malu. "gue milih kerja di sini sebab bisa sambil kuliah."

Gue menganga. "eh seriusan lo juga kuliah? Di mana?" tanyaku terlalu excited.

Suka nih kalau ada orang yang semangat kuliah, dia enggak mengesampingkan pendidikan. Mereka pasti tahu walau kerja enggak sesuai jurusan, setidaknya ilmu yang diperoleh dari kampus bisa bermanfaat untuk mendidik anak-anaknya.

"Gue kuliah di kampus swasta kok, Lay. Awalnya sih gue ingin kuliah di kampus negeri tapi nilai gue kurang, Lay." jawab Mustika lirih.

Gue menatapnya sayu. "sudah enggak apa-apa kok Tik. Mau kuliah di kampus negeri atau swasta sama saja karena yang terpenting ada niat buat belajar lagi." Ucapku menyemangatinya.

"Tapi gue ingin banget kuliah di kampus negeri, Lay. Setidaknya bisa meringankan beban, gue pun enggak terlalu ngengas dalam bekerja." jelas Mustika sedih.

"Iya juga sih, Tik."

Kuliah di kampus swasta memang harus siap dengan biaya yang begitu menguras dompet. Dan, gue pun bersyukur bisa diterima di kampus negeri.