Jackran tidak mengerti dengan dirinya sendiri, ia seperti seorang pengecut yang lari dari sebuah masalah. Dirinya seperti terjebak dalam kegelapan yang dibuatnya sendiri. Jackran tahu ia sudah menyakiti hati Bian, tapi ia sendiri tidak mengerti alasan kenapa dirinya tak juga memberikan kepastian pada Bian, bahkan untuk menjelaskan apa yang terjadi pun rasanya ia tidak benar-benar ingin.
"Trus, ngapain lo kasih tau ke gue, bukannya kita udahan," kata-kata Bian terus terngiang dipikirannya.
Jackran menerima pertunangan yang telah direncakan untuk dirinya dan Tiara, ini adalah hal yang dari dulu ia inginkan, ia akan memiliki Tiara sepenuhnya, terlebih Tiara juga menerima pertunangan tersebut dan telah jatuh cinta kepadanya. Seharusnya ia melepaskan Bian, tidak menyakiti gadis itu. Tapi dia menjadi brengsek saat ini, dan ia tahu itu dengan pasti. Tapi lihatlah dimana ia berada kini. Jackran berjalan menghampiri Bian yang duduk di sofa depan tv sambil memainkan ponselnya.
"Apa kamu serius dengan kata-katamu tadi?" Jackran berdiri di hadapan Bian.
"Kata-kata yang mana?" Bian mendongak menatap Jackran.
"Kamu tau apa yang aku maksud," Jackran beralih duduk disamping Bian.
"Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang hubungan kita berakhir," ucap Bian sinis sembari tetap berkutat pada ponselnya, ia sebenarnya tidak tahu apa yang harus ia lakukan, dan ini sedikit canggung untuknya.
"Kamu tahu aku nggak bermaksud seperti itu."
"Ya kamu mengatakannya," Bian menatap Jackran dengan sinis, dan kembali memainkan ponselnya.
"Aku nggak tau kenapa, tapi aku pikir aku harus melakukannya," Jackran menatap kosong kedepan, ia memainkan jari-jarinya, terlihat jelas bahwa Jackran sedang bingung.
"Melakukan apa, pertunangan itu, aku nggak habis pikir sama jalan pikiran kamu, kita pacaran tapi kamu menerima pertunangan itu, kamu benar-benar brengsek," Bian sebisa mungkin menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Ya aku tahu aku brengsek, tapi aku tidak mau dia kecewa, keluarga ku kecewa," Jackran sama emosinya dengan Bian, Bian kini melihatnya seperti pria brengsek, ya walaupun nyatanya dia memang seperti brengsek.
"Terus kamunya gimana," suara Bian melunak, ia tahu tidak ada gunanya berdebat seperti ini.
"Ayah dan Ibuku selalu melengkapi satu sama lain, mereka sangat bahagia, dan Ibuku selalu berusaha untuk tetap kuat disaat titik terendah kehidupan keluargaku, aku hanya tidak ingin mengecewakannya, aku tidak ingin menghilangkan senyuman diwajahnya, aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaannya," Jackran sama lunaknya dengan Bian.
"Kamu bisa ngobrol sama Ibu kamu, ini hidup kamu dan kamu bahkan tidak pernah mencoba untuk mengenalkan aku kepadanya,"
"Aku pernah ingin mencoba," bantah Jackran,
"Tapi tidak kamu lakukan," bantah Bian.
"Aku juga tidak tahu kenapa, tapi saat itu jujur aku masih berharap dia kembali," suara Jackran melunak.
"Dan kamu bahkan masih mencintai orang lain, kamu membohongi aku, kamu bertingkah seolah-olah kamu mencintaiku tapi ternyata kamu hanyalah seorang brengsek," emosi Bian kembali memuncak setelah pengakuan tak sengaja yang dilontarkan Jackran.
"Aku mencintaimu, setelah beberapa tahun kita bersama," Jackran membantah, Jackran menyadari perasaannya ketika mereka merayakan anniv mereka yang ke 4, saat itu semua begitu membahagiakan, Bian mampu mengalihkan perhatiannya dari luka dan perasaanya dari Tiara.
"Setelah berapa tahun?" ada sarkastik dalam nada suara Bian, dan jelas hatinya sangat perih dengan kebenaran itu.
"Dan kamu selalu ragu tentang perasaanmu,".
"Aku tidak, tidak sebelum dia kembali," jujur Jackran. Ntah, kebodohan apa yang saat ini Jackran lakukan, ia hanya ingin berbicara tentang semuanya kepada Bian, ia tidak ingin lagi menyakiti Bian tapi tanpa Jackran sadari bahkan pembicaraan ini justru lebih menyakitkan untuk Bian.
"Aku pikir, aku dan kamu tidak lagi mempunyai sesuat untuk dibahas." Bian tak bisa menahan air matanya, ia membiarkan air matanya mengalir jatuh kepipinya.
Bian memperhatikan Jackran yang hanya menunduk melihat lantai. Ia merasa sakit atas apa yang ia dengar, dan ia pikir sudah cukup untuk kejujuran Jackran dan Bian berterima kasih tentang itu.
"Aku harus menjelaskan semuanya, aku harus menceritakan bagaimana aku memulainya, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana," Jackran kembali bersuara, ia melihat Bian yang menangis, air matanya jatuh dan itu cukup membuat Jackran merasa semakin buruk.
"Itu semua kebohongan, jadi aku tidak perlu mendengarkan apa-apa." Bian menghapus air matanya, sudah cukup ia menangis dan ia harus kuat untuk berdebat dengan seorang Jackran, seorang laki-laki yang menyakitinya sepanjang kejujurannya. Bian cukup merasa bodoh dengan ketidaktahuannya dan keyakinannya bahwa Jackran tulus mencintainya.
"Itu tidak semuanya tentang kebohongan," Jackran berbicara dengan giginya, ia merasa Bian terlalu mengambil kesimpulan secara sepihak.
"Aku pernah benar-benar bahagia, aku pernah benar-benar menginginkan hubungan ini Bi, kenapa kamu melihat seolah-olah aku seperti laki-laki yang tidak mempunyai hati," sambungnya.
"Ya memang tidak," ucap Bian sinis.
"Berhentilah bersikap kekanak-kanakan, aku tau aku telah menyakiti kamu, tapi kamu tidak bisa berbicara dengan keadaan marah, itu menghilangkan semua kenangan berharga yang kita punya,".
"Kenangan apa, kenangan yang bahkan sekarang aku merasa jijik dengan itu," yang Bian tahu kini semua kenangan itu adalah kebohongan dan kebodohannya. Ia merasa malu untuk dirinya sendiri, merasa malu karena selama ini apa yang dikatakan Ria adalah kebenaran dan Bian marah akan hal itu. Bian seperti ditertawakan oleh semua orang, oleh teman-temannya Jackran dan ia juga ingin menertawakan dirinya sendiri saat ini.
"Berhenti seperti ini Bi, aku menghargai waktu yang telah kita habiskan bersama, aku tidak pernah menyesal dengan hubungan kita, dan aku tau ... aku tau aku salah, aku tau bahkan ketika kita memulai hubungan ini, aku hanya ingin melupakan Tiara, tapi aku tidak bermaksud menyakiti kamu, aku tidak tahu kalau ini akan benar-benar menjadi brengsek untukmu," Jackran tergagap dalam penjelasannya, sebisa mungkin untuk bersikap tenang meskipun saat ini ia sangat marah, ia tidak tahu kenapa ia harus marah, dan seharusnya ia tidak marah, ia sadar akan hal itu.
"Bagaimana mungkin kamu tidak mengerti tentang itu, jadi kamu hanya seorang yang sangat egois yang menyelamatkan dirimu sendiri dan menyakiti orang lain tanpa perasaan bersalah," kenyataan pahit yang semakin menohok Bian, ia benar-benar merasa lelah untuk berdebat saat ini, tapi sepertinya Jackran masih menginginkan perdebatan yang tidak tahu buat apa, perdebatan yang hanya akan semakin menyakiti Bian dengan semua kejujuran Jackran.
"Maksud aku, aku tidak pernah berfikir untuk itu, aku hanya…," Jackran tak bisa melanjutkan ucapannya, ia tahu yang ia lakukan adalah kesalahan dan ia tidak harus membela dirinya lagi.
"Hubungan ini terjadi karena kita berdua, aku merasa berhutang pada diriku sendiri untuk menceritakan yang sebenarnya, itu semua bukan hanya tentang kebohongan, aku tahu kamu merasakannya, kamu merasakan perasaan ku," Jackran melanjutkan ketika Bian hanya diam memainkan baju, ia memakai piyama yang nyaman.
"Ya itu dulu, sekarang kamu sudah sadar dan kembali menemukan rasamu yang pernah hilang," ucap Bian sinis.
"Terima kasih karena kamu mengakuinya," Jackran merasa cukup lega entah untuk apa, yang pasti dia cukup senang karena Bian mengakui bahwa ia merasakan perasaan Jackran kepadanya. Jackran sendiri tidak mengerti, kenapa ia harus mendapatkan pengakuan itu, tapi ia harus.
"Aku akan kembali menceritakan semuanya sehingga kamu tahu itu semua bukan tentang kebohongan, aku benar-benar menghargai waktu yang kita habiskan bersama," Bian tidak tahu untuk apa Jackran menceritakan hal mengerikan yang hanya akan menyakitinya, menurut Bian semuanya sudah berlalu dan dia tidak harus bertemu dengan Jackran lagi, kecuali di kantor, setidaknya mereka tidak harus bertemu secara pribadi. Bian hanya mengangguk dan membiarkan Jackran pergi, ia hanya menatap punggung Jackran dengan sedikit harapan, ntah harapan untuk apa.