" Katamu akan mengantar pa...eh si Levi ke sekolah, kenapa kamu datang?." Mary dan Renata bergabung dengan Maya dan Ingky di tempat favorit mereka, bangku panjang di bawah pohon depan kelas.
" Pagi tadi, aku sudah mengantarnya dengan nenek. Dia masuk sekolah yang dekat dari sini. Sekolah dasar Giza. Kebetulan kepala sekolahnya teman nenek."
" Cukup dekat dari sini."
" Iya."
" Pulang sekolah, aku akan menjemputnya."
" Waktu pulang dia lebih cepat, dia akan lama menunggu." Mary bersimpati.
" Biarkan saja. Kelihatannya saja dia anak-anak,aslinya dia kakek tua nakal." Ingky melambaikan jarinya tidak peduli.
" Lebih banyak dia diluar itu lebih baik." Celetuk Renata." Akan lebih banyak dia menyerap esensi manusia."
" Kalau dia di rumah, dia tidak bisa melakukannya?." Tanya Mary.
"Bisa, tapi itu lebih sedikit."
" Di depan sekolah itu ada mini market, dia bisa menunggu di bagian kafenya. Pemilik mini market itu masih teman salah satu guru disana." Kata Maya." Tapi, dia bilang ingin mengumpulkan pahala secepatnya. Mana yang lebih baik mengumpulkan pahala atau menyerap esensi manusia?."
Renata terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab." Keduanya memang bisa meningkatkan energi tapi kualitas dan kuantitasnya berbeda."
" Esensi manusia diambil dari aura positif manusia, peningkatan energi dengan cara ini sangat lamban tapi kualitasnya bagus. Dampak yang diperoleh juga perlahan. Pengumpulan pahala diambil dari aura positif dari arwah. Karena dilepas sekaligus setelah dia tidak lagi menyimpan sifat duniawinya itu bisa diserap langsung dalam jumlah besar sehingga energi yang dihasilkan juga tinggi tapi aura ini memiliki rentan waktu tertentu."
" Untuk naik sampai level tiga, pengumpulan pahala jauh lebih efesien."
" Apa kami juga bisa mengumpulkan pahala?." Mary dan Ingky mulai tertarik dengan pembicaraan Renata dan Maya.
" Tentu." Renata mengangguk meyakinkan.
" Kalau begitu, aku juga akan melakukannya." Ingky yang telah melepaskan segel spiritualnya makin bersemangat.
" Ya, aku juga."
" Kamu tahu cara melakukannya?."Keduanya kompak menjawab.
" Levi bilang, kita bisa berbagi pahala kalau kita melakukan bersama."
" Kalau begitu lakukan bersama."
" Benar, dia kan lebih berpengalaman."
" Kurasa ada orang lain lebih berpengalaman." Ingky melirik Renata tersenyum kaku.
" Kita diskusikan lagi nanti tapi tidak tepat membicarakan di sekolah."
" Lalu, dimana kita bisa membahas ini?."
" Satu-satunya tempat paling tepat itu rumah Maya."
" Pergi terlalu sering kesana akan menarik perhatian, terutama ibu tiri Maya." Renata tidak setuju ide itu.
" Nenek memberiku Villa tua dekat sekolah Levi. Kita mungkin bisa berbicara bebas disana."
Kalimat Maya langsung memberi semangat pada ketiganya.
" Itu Lebih bagus."
"Iya."
" Aku setuju disana."
" Tapi, rumah itu belum direnovasi dan dibersihkan." Maya melanjutkan.
" Itu urusang mudah. Hanya bersih-bersih, kan?." Ingky menjentikkan jari. Meskipun ragu, Mary ikut mengangguk.
Mary berasal dari keluarga bangsawan yang tidak pernah berurusan dengan pekerjaan kasar, tapi dia percaya, dia bisa membantu.
Saat ketiganya membersihkan rumah, lebih tepatnya, Ingky, karena Mary dan Renata hanya melakukan hal- hal ringan. Maya menjemput Levi.
" Wow....kalian bisa melakukan ini?." Maya terpana dengan suasan baru villanya. Ingky yang mengawasi Maya sejak muncul di pintu segera menunjuk dua makhluk mungil yang terlihat serius mengamati seluruh ruang.
" Kalian mengeluarkan mereka?." Maya segera paham kalau rumahnya di sihir oleh peri kecil Mary dan si bocah ularnya Ingky.
" Aku tidak berani mengeluarkan Lola di rumahku. Takutnya, ibuku malah kena serangan jantung, ntar aku dikira nyulik anak orang lagi."
Maya hanya tertawa kecil ia tahu ibu Ingky sangat ketat dalam aturan.
" Aku juga geli melihat dia melingkar terus ditanganku. Meskipun terlihat gelang,tetap saja itu ular."
Lola yang mendengar Ingky hanya bisa melirik tajam dengan kesal. Wajahnya seakan penuh tulisan, jangan bergosip tentangku di bawah hidungku.
" Untuk apa kalian berkumpul?." Levi tanpa basa-basi mengambil tempat di sofa dengan acuh.
" Kudengar, kamu mau mengumpulkan pahala?." Renata menyahut.
" Ya. Cukup banyak calon costumer di sekitar sekolahku."
Ketiga yang lainnya hanya termangu mendengar pembicaraan dua iblis ini.
" Sudah memiliki janji?."
" Belum. Masih menyeleksi kondisi mereka. Meskipun butuh, bukan berarti aku serampangan melakukan pekerjaan sampah."
" Karena Kamu ingin mengumpulkan pahala, mereka juga ingin melakukannya." Levi menggerakkan sedikit kepalanya menunjuk tiga orang yang sejak tadi patuh mendengar.
" Mereka?." Levi memberikan pandangan sekilas" Yakin?." Nada meremehkan keluar dari suaranya.
" Tentu saja." Ingky tidak peduli senyum sinis Levi.
" Iya. Percuma memiliki kekuatan tanpa di gunaka." Sambut Mary bersemangat.
Maya mengangkat alis." Apa berbahaya?."
" Tidak juga. Tergantung perjanjian dan masalah costumermu."
" Apa kalian ingin melakukan dari level rendah dulu?." Tanya Renata seakan meminta pendapat Levi.
" Kurasa, kita aku menemukan Costumer yang pas. Tingkat menengah. kurasa itu baik-baik saja." Levi memicingkan matanya. Mengikuti gari pandang Levi, Renata sedikit ragu.
" Kamu yakin memilihnya?."
" Bukankah, ini sempurna." Levi mendesis.
" Kalian benar-benar ingin ikut melakukannya?."
" Kami sudah mengatakan dengan jelas." Ingky mendengus.
" Baiklah.. ini pilihan kalian.." Levi menggerakkan tangannya.
" Eh tunggu dulu." Renata melompat, menangkap gerakan tangan Levi dulu.
" Sebaiknya kita makan dulu." Dia mengedipkan mata." Aku sudah memesan makanan."
Mendengar itu, Levi langsung mengerti maksud Renata, dia hanya bisa tertawa.
" Yahh...sayang kalau makanan yang sudah dipesan tidak ada yang membantunya menghabiskan."