"Double shit kenapa keberuntungan selalu saja bersama dirinya. Pokoknya terus pantau kegiatan keluarga Kim dan laporkan padaku. Ah dan satu lagi kau lihat gadis yang tadi bersamaku terus pantau semua kegiatannya dan cari tahu apa saja kegiatannya serta dengan siapa saja dia bertemu laporkan semuanya padaku segera, jika ada pria yang berani mendekati atau mencoba menyakitinya habisi saja. Jangan ada yang terlewat satu pun atau nyawamu jadi taruhannya." Titah Kris tak ingin di bantah.
***
Setelah tiba di hotel Dya langsung memasuki kamarnya tanpa banyak kata. Perasaannya benar-benar campur aduk. Entah mengapa menatap pemuda tadi membuatnya seakan kembali ke masa lalu. Entah mengapa wajah itu seakan ia kenali padahal ia sangat yakin jika hari ini adalah pertama kalinya mereka bertemu. Dya berbaring di ranjang king zisenya sambil menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya terus tertuju pada pemuda yang entah siapa namanya. Mengapa wajah itu terasa familiar untuknya, mungkinkah mereka pernah bertemu? Bila ia di mana mereka bertemu dan kapan? Pertanyaan itu terus bercokol di dalam pikiran Dya hingga ia pun tertidur tanpa ada jawaban yang bisa ia dapatkan.
Sinar mentari yang memasuki tirai jendela membuat Dya terbangun, ditutupnya kembali matanya untuk menyesuaikan matanya dengan silaunya cahaya mentari. Seusai menunaikan shalat subuh Dya memang tertidur kembali mungkin masih akibat kelelahan akibat semua kegiatan yang dijalaninya semalam. Bunyi bel dari arah luar pintu memaksa Dya untuk beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan kearah pintu untuk melihat orang yang sejak tadi memencet bel. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah asistennya Julia, Dya segera membuka pintu dan membiarkan sang asisten masuk. " Loh mba' kok belum siap-siap kita kan harus berangkat sebentar lagi, trus mba' kok ini mata udah kayak mata panda, mba' gak tidur lagi ya semalam?" Julia bertanya penuh rasa khawatir.
"Kamu tenang aja Jul, mba' baik-baik aja." Jawab Dya sambil berlalu ke kamar mandi.
"Gimana nggak mo khawatir kalau mata mba' udah kayak mata mumi gitu, nyeremin mba'" teriak Juli dari luar kamar mandi. " Kerja boleh mba' tapi jangan maksain diri juga kan yang kasian mba' juga kalau sampe sakit belum lagi nanti kan yang repot aku juga." Lanjutnya.
"Iya, iya Jul brisik ah." Jawab Dya dari dalam kamar mandi.
"Mba' mandinya jangan lama-lama kita harus berangkat!" Teriak Juli lagi.
"Ya Allah Jul sabar napa masih dua jam lagi kan?" Teriak Dya dari dalam kamar mandi.
"Mba' Dya, mba' kan harus sarapan dulu baru kita berangkat." Teriak Juli.
Lama tak mendengar jawaban dari Dya membuat Juli pasrah, itulah Dya yang sekarang terkadang sikapnya membuat orang terdekatnya geleng-geleng kepala. Dya yang sekarang terlalu acuh dan tak mau ambil pusing dengan sekitarnya. Setelah satu jam di kamar mandi Dya keluar dengan santai dan tanpa rasa bersalah sementara Juli sudah menunjukkan muka masamnya. "Tu muka kenapa Jul, udah kayak cucian gak disetrika satu bulan aja." Dya bertanya tanpa rasa bersalah.
"Tau ah!" Ketus Juli.
"Ngambek? Ingat umur Jul!" Ucap Dya dengan santai dan membuat Juli hanya bisa melotot tak percaya dengan sikap sang bos.
Sudah menjadi komitmen mereka berdua disaat mereka hanya berdua maka semua prosedur atasan ataupun bawahan tak lagi berlaku dan ketika di muka para kolega maka secara otomatis semua akan kembali ke mode bos dan asistennya, sehingga disaat hanya berdua seperti ini mereka bebas bersikap seperti adanya.
Mereka tiba di bandara beberapa menit sebelum pesawat berangkat. Dengan segera mereka chek in dan segera memasuki pesawat. "Mba' Dya sih susah bener dibangunin, liat kan hampir saja kita telat." Gerutu Juli saat mereka sudah duduk di salah satu kursi pesawat. "Makanya mba' lain kali kita naik jet pribadi pak Bryan aja ya mba' biar gak perlu lari-larian kayak tadi. Lagian aku kan juga pengen ngerasain gimana rasanya naik jet pribadi. Selain itu juga kan pak Bryan gak akan terlalu kuatir lagi." Bujuknya.
"Juli…." Tegur Dya yang mulai merasa risih dengan tatapan orang-orang padanya.
"Iya mba' kenapa ada yang bisa saya bantu lagi?" Tanya Juli dengan wajah tanpa dosanya.
"Bisa tenang dikit gak aku risih, dari tadi orang-orang pada liatin kita." Bisik Dya.
"Makanya mba' biar orang-orang gak liatin kita, lain kali kita naik jet pribadi pak Bryan aja." Ucap Juli lagi.
"Jul…..please diam aku mo istirahat, saat tiba nanti tolong bangunin aku." Pinta Dya yang lebih memilih menutup matanya.
"Iya deh mba'." Jawab Julia pasrah.
Baru beberapa menit Dya menutup matanya Juli kembali bertanya. "Mba' yakin mau muncul di halayak ramai nih?"
"Jul… kita udah di atas pesawat loh kok kamu baru nanya sekarang?" Tanya Dya balik sambil mengernyitkan alisnya tak mengerti .
"Aku cuma takut aja mba' gimana kalau orang-orang jahat itu kembali lagi dan nyelakain mba'?" tanya Juli dengan gamang.
Huft....Dya menarik nafas berat. "Sampai kapan aku harus sembunyi dari mereka Jul? Cepat ataupun lambat aku dan keluarga harus bisa ngadapin mereka. Gak ada gunanya terus sembunyi bahkan aku berniat buat pakai kembali identitas asli aku." Dya berucap pasti yang sontak membuat Juli membelalakkan mata tak percaya.
"Mba' yakin?"
"Sedang aku pertimbangkan Jul, udah ah aku masih ngantuk mau tidur dulu." Putus Dya yang sudah kembali menutup matanya.
Mata Dya terpejam namun pikirannya entah menerawang kemana, terlalu banyak masalah yang harus ia pikirkan. Belum selesai satu masalah, masalah yang lain sudah menjemput benar-benar kehidupan yang sangat berat. Di balik sifat dingin yang ditunjukkan Dya tersimpan beribu masalah yang menguras tenaga, pikiran dan perasaannya. Luka dan kecewa telah menumpuk di dalam hatinya. Haruskah ia terus memakai topeng dihadapan orang-orang dan keluarganya? Atau haruskah ia membuka topeng yang selama ini melindunginya? Tapi bagaimana dengan orang-orang terkasihnya. Tak terasa cairan bening itu jatuh membasahi pipinya. Secepat mungkin Dya membuang wajahnya ke arah lain untuk menyembunyikan air mata yang tanpa permisi jatuh membasahi pipinya.
***
Seorang pemuda duduk di kamar gelap itu botol-botol minuman berserakan di sisinya. Rambut dan cambang yang memanjang serta pakaian yang tampak kusut menunjukkan betapa tidak terurusnya dirinya. Ceklek …pintu dibuka disana tampak seorang wanita dengan perutnya yang membuncit menunjukkan kehamilannya yang sudah sangat membesar. Dengan susah payah wanita itu mendekati pria yang tampak sangat mengenaskan itu. "Radit, kenapa kau harus menyiksa diri seperti ini? Ayo cepat sadar jangan hanya memikirkan wanita itu lihatlah yang ada di sisimu saat ini hanya aku dan anak kita. Tolong hargai aku jangan hanya menganggapku pajangan yang tidak berguna." Mohon Sofi dengan air mata yang sudah berderai.
Sebuah seringai bengis tercipta di bibir Radit. "Dasar brengsek tidak tahu diri, wanita murahan sepertimu tidak pantas bahagia. Lihat apa yang sudah kau lakukan pada cintaku, kau sudah membuat aku terpisah dengan orang sangat aku cintai bicth." Maki Radit sambil menarik rambut Sofi dan membuat Sofi semakin menangis.
Sambil menahan kesakitan yang dirasakannya Sofi terus berontak dan berusaha melepaskan rambutnya dari cekraman Radit. Melihat perlawanan Sofi membuat Radit semakin emosi. "Dasar bitch berani sekali kau melawanku."
Plak…..sebuah tamparan mendarat di pipi Radit membuat Radit yang sedang diselimuti emosi seketika berbalik dan menatap orang yang baru saja berani menamparnya dengan tatapan membunuh.
"Kenapa! Apakah kau akan membunuh ibumu karena berani menamparmu?" Tanya Ayu Kumala dengan air mata yang sudah mengalir deras di pipinya. Radit melepaskan Sofi dan segera memalingkan wajahnya dari dua wanita yang selama ini ia anggap sebagai penghancur kebahagiaannya. "Pergilah dari hadapanku dan jangan pernah tunjukkan wajah kalian di hadapanku." Usir Radit dengan dingin.
"Radit kau h..."
"Aku bilang pergi dari hadapanku sekarang juga." Teriak Radit sambil melemparkan vas yang diambilnya dari atas nakas.
Prang….bunyi vas yang dilemparkan Radit yang diiringi oleh pekik ketakutan dua wanita yang saat ini bersamanya di kamar itu.
Dengan rasa takut dan sedih yang menyelubungi hati mereka, dua wanita itu meninggalkan kamar yang di dalamnya ada seseorang yang teramat sangat mereka cintai namun tak pernah menganggap keberadaan mereka. "Semua ini karena Dya, brengsek dasar wanita tidak tahu diri lihat saja akan kubuat ia dan keluarganya membayar setiap tetes air mata yang telah dikeluarkan oleh putraku." Ayu ibu Radit berucap penuh dendam sementara sofi hanya bisa diam sambil menangis entah karena penyesalan ataukah sakit hati yang dirasakannya saat ini.
***
Dani menatap langit malam dari balkon kamarnya, sebuah senyum pedih tersungging di bibirnya "Mendung begitu pekat dan menutupi keindahan bintang-bintang yang harusnya menghiasi malam ini. Begitupun dirimu yang seharusnya ada di sisiku menemaniku saat ini namun karena kebodohan dan keegoisanku bahkan kini keberadaanmu pun aku tak tahu sama seperti bintang-bintang yang ditutupi oleh awan mendung." Lirihnya, tak terasa setetes cairan bening jatuh membasahi pipinya. "Kau ada di mana sekarang? Masihkah kau merindukanku ataukah kau telah menemukan yang lebih baik dariku?" Radit memegang dadanya yang terasa sesak mengingat pertanyaan yang baru saja dilontarkannya sendiri. Memikirkan Dya mencintai orang lain selain dirinya membuat hatinya kembali diliputi rasa takut dan trauma yang berlebihan. Seketika bayang-bayang Dya bersama pria lain membuat kakinya gemetar dan nafasnya sesak. Keringat dingin mengucur membasahi tubuhnya sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan dirinya namun dadanya yang terasa sakit membuatnya semakin sulit bernafas hingga kegelapanpun datang menjemputnya.