"Oh ya satu lagi, Dik. Jika ada yang perlu ditanyakan, kamu bisa meneleponku, atau datang langsung kerumahku yang ada di samping, ya? Nggak usah sungkan-sungkan," imbuhnya lagi.
"Iya, Bu."
Setelah itu Bu Ambar pun pergi, membuat Dinda bersegera menaruh barang-barang yang sedari tadi ia bawa. Menata beberapa pakaian, dan seragam baru yang ia punya. Ke dalam salah satu lemari kosong yang ada di dalam kamarnya. Sebuah TV LED terpasang di dinding kamarnya, kipas angin, beserta jam dinding berjajar rapi di sana. Di sisi kiri ada dua buah ranjang yang sengaja disusun berbentuk L. Kemudian di sisi lainnya, dua buah lemari dengan ukuran minimalis berjajar rapi.
Dinda melirik bagian ranjang yang tampak berantakan, sebuah selimut yang belum tertata. Serta beberapa helai pakaian yang tertumpuk dengan tidak rapi di sana. Dinda yakin, jika siempunya sepertinya tadi gugup. Atau bahkan, telah mencoba beberapa pakaian lalu ditinggalkan.
Dinda pun merapikan ranjang itu, melipat sebentar beberapa pakaian dan diletakkan dengan manis di atas ranjang. Dia tidak berani untuk memasukkannya ke dalam lemari. Sebab itu adalah hal yang privasi.
Kini dia berganti dengan lemarinya, mengamati dua potong seragam baru yang ia punya. Seragam putih abu-abu, yang sama seperti yang lainnya. Dan seragam berwarna biru, dengan motif kotak-kotak dan berompi. Sebuah emblem berwarna kuning bertuliskan SMA Airlangga bertengger manis di dada kanan mengisyaratkan sebuah keperkasaan.
Dulu SMAnya juga sama. Menjadi salah satu SMA bergensi di wilayahnya. Dan Dinda bisa masuk ke sana pun harus bersusah payah, menembus beasiswa agar bisa bertahan di sekolah. Tapi kabarnya SMA ini berbeda, SMA swasta elit yang bahkan dihuni oleh orang-orang kaya saja. Dinda semakin merasa gerah mengingat orang kaya, pikirannya selalu teruju kepada Panji dan keluarga.
Dinda menoleh saat pintu kamarnya terbuka. Seorang cewek masuk dengan seragam putih abu-abunya. Cewek berambut sebahu, dengan kulit putih, lengkap dengan mata bulatnya. Memandang ke arah Dinda, kemudian meletakkan tasnya di atas ranjang begitu saja.
"Elo anak baru SMA Airlangga, ya?" tanya cewek itu.
Dinda mengangguk, dia mengulurkan tangannya. "Dinda," katanya.
"Gue Nadya...," jawab cewek lencir itu. "Tumben semester ganjil ada anak pindahan. Itu sangat jarang, lho. Selamat datang deh di SMA gue, semoga elo... betah," sedikit melirik Dinda, Nadya pun menuju ke arah lemari. Memasukkan beberapa pakaian yang tampak sudah rapi. Mengambil pakaian lainnya, kemudian ia kenakan begitu saja. Kemudian, menyalakan TV, sambil menikmati cemilan yang sedari tadi ada di nakas mejanya.
Dinda sama sekali tak tahu, jenis ucapan macam apa itu. Ucapan dengan nada menggantung, seolah ancaman di depan telah menunggunya sewaktu-waktu. Tapi, Dinda mencoba mengabaikannya. Dia memilih tidur sebelum petang tiba. Sebab setelah ini dia harus ke toko buku, membeli peralatannya sebelum besok berangkat sekolah.
*****
Pagi ini Dinda resmi mengenakan seragam sekolah barunya. Bersiap bertemu teman baru, dan pengalaman baru lainnya. Mungkin di sini Dinda bisa mengambil hikmah, karena dengan tempat baru ia bisa mencoba melupakan semuanya.
Nadya memandang Dinda yang masih berdiri mematung di depan lemari, tatapan Dinda tampak kosong dan linglung. Bukan, bukan cuma hari ini, bahkan Nadya memerhatikan hal itu sedari kedatangan Dinda ke sini. Bahkan tadi malam, Nadya nyaris tak bisa tidur. Semalam dia mendengar isakan Dinda. Bahkan, hanya beberapa saat Nadya pikir cewek berparas cantik itu tidur, yang ada hanya cewek cantik itu mengigau dan berteriak histeris seolah-olah ketakutan sambil menyebut nama Panji beberapa kali.
Dan subuh tadi, seberondong pertanyaan dilontarkan oleh tetangga kamar Nadya. Mereka yang tak tahu jika di kamar Nadya ada penghuni baru pun mengira jika semalam Nadya ngelindur atau bahkan kesurupan. Nadya rasa, dari pada dipindah sekolah, seharusnya Dinda ditaruh di psekiater. Atau tempat-tempat yang membuat jiwanya sedikit tenang.
"Elo udah tahu kan letak SMA kita?" tanya Nadya.
Dinda menoleh ke arahnya, mengangguk pelan kemudian meraih tas ranselnya. Tapi, anggukan Dinda benar-benar tak lantas membuat Nadya puas. Nadya khawatir jika cewek yang menjadi teman kamarnya ini nanti akan melakukan hal di luar batas. Bunuh diri, misalnya? Meski ia cukup penasaran dengan apa yang dialami Dinda dulu. Tapi Nadya pikir, hal itu benar-benar cukup membuat mentalnya kacau-balau.
"Bareng ama gue aja, deh!" putusnya.
Dia lantas berjalan di depan, disusul Dinda dari belakang. Tanpa banyak kata Dinda mulai berjalan sambil meneliti setiap tempat, dan sudut yang ada di distrik ini. Memang, kos-kosan Mbak Ambar terletak cukup dekat dengan SMA Airlangga. Bahkan saking dekatnya, hanya perlu waktu lima sampai sepuluh menit untuk sampai ke sana.
"Nad, apa ada toko buku di sini? Gue mau beli beberapa peralatan sekolah," kata Dinda pada akhirnya.
Satu kalimat cukup panjang yang baru saja Nadya dengar. Nadya mengambil arah kiri, kemudian dia terhenti di salah satu toko buku yang lumayan besar. Bahkan di sana, sudah banyak siswa-siwi yang memakai seragam serupa dengan mereka. Ya, mulai dari toko buku ini, adalah batas SMA Airlangga berada.
"Lo bisa beli di sini, gue tunggu di konter itu, ya. Mau beli pulsa!" kata Nadya.
Dinda lantas mengangguk, masuk ke dalam toko buku untuk membeli beberapa bulpen, spidol, dan beberapa buku paket. Dia memerlukan itu, dan uang saku dari ibunya selama sebulan bisa ia gunakan dulu.
Toko buku di sini bisa dibilang cukup besar untuk ukuran anak-anak SMA. Setelah pintu kaca besar, pengunjung disajikan beberapa deret majalah yang tertata rapi tepat di samping kasir. Kemudian, dibagian sebelah kanan rentetan buku paket, novel, dan peralatan tulis-menulis ada di sana. Dan yang paling ujung, ada kursi yang cukup panjang beserta meja mungkin untuk anak-anak sekadar nongkrong atau membaca buku.
Dinda menyusuri rak demi rak buku yang ada di sana, kemudian dia mengambil posisi paling ujung. Membaca bagian belakang buku sebelum ia yakin untuk membelinya. Namun tiba-tiba, ia menangkap suara erangan yang sangat aneh.
"Nath, gue cinta ama elo,"
Dinda melirik sekilas, pada tempat paling ujung ruangan itu. Kedua tangannya tiba-tiba bergetar, saat melihat sepadang anak SMA yang mengenakan seragam sepertinya sedang berciuman di sana.
Dia mematung untuk sesaat, dadanya tiba-tiba terasa sangat sesak. Rasa perih kembali menjalar di ulu hatinya. Terlebih, saat cowok itu melirik tepat di manik matanya?
Dinda langsung mundur, buru-buru dia mengambil asal salah satu buku yang ada di sana kemudian menuju kasir.
Tatapan itu, picingan mata itu, seolah-olah membuatnya dipaksa kembali mengingat sesuatu yang tidak ia inginkan.