"Uhuk.. uhuk.." bersamaan dengan batuk dari mulutnya, mata cantik itu perlahan terbuka.
"Ck! Ternyata kau masih suka mencari masalah dengan makhluk seperti mereka." Itu sambutan hangat yang si pria berikan saat Jadira yang baru saja siuman. Bukan menanyakan bagaimana keadaan si wanita, pria itu malah mengomelinya.
"Mereka yang mencari masalah denganku."
"Seharusnya kau biarkan saja, tak usah diladeni"
"Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil milikku."
"Ck, padahal tak ada juga yang bisa diambil darimu."
"Betul, karena semuanya telah lenyap direbut oleh kekasih sialanmu itu. Tapi setidaknya aku masih memiliki satu hal paling berharga dalam hidupku."
"Yaa terserah." Bahkan Harnell tidak penasaran saat Jadira membawa-bawa Xena dalam perdebatan mereka.
Perdebatan mereka memang tak mengenal waktu dan kondisi, jika ada kesempatan maka mereka akan mulai berdebat. Namun kali ini Harnell tak ingin memperpanjang perdebatan itu.
Ia lelah seharian bekerja lalu tanpa direncanakan pada malam harinya ia harus menjadi super hero sekaligus dokter dadakan untuk wanita didepannya ini. Ya, untuk Jadira Morai.
Tunggu, untuk siapa? Untuk Jadira Morai? Apa itu tidak salah tuan Harnell? Sejak kapan kau mau peduli pada orang lain, terlebih untuk seorang Jadira. Klien yang tak kau sukai dan selalu beradu argument denganmu.
Tidakkah kau sadar jika kau sudah bertindak terlalu jauh? Mulai dari menolongnya, membawanya pulang ke rumahmu, membuatkan ramuan penyembuh dengan mantra-mantra hebatmu, hingga kau mau menyembuhkan satu-persatu tiap luka yang mewarnai tubuh mulusnya.
Ya, sedari tadi sebelum Jadira terbangun Harnell memang sedang mengobati si penyihir cantik dengan mengusap luka-lukanya agar segera sembuh. Lagi-lagi tak semua penyihir dapat melakukan itu, karena menyembuhkan luka orang lain butuh keahlian khusus dan tenaga ekstra. Hanya penyihir keturunan tabib yang bisa melakukannya. Terlebih luka yang Jadira miliki bukan luka kecil biasa, mungkin Jadira sudah lumpuh atau bahkan mati jika saja wanita itu adalah manusia biasa.
"Minumlah, ramuan-ramuan ini bisa menyembuhkan kerusakan organ tubuhmu." Harnell menyodorkan dua ramuan yang tadi dibuatnya. Bukannya menerimanya, Jadira malah menatap Harnell dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ck, jangan seperti anak kecil yang tak mau minum obat karena pahit. Minumlah, pahitnya hanya sebentar." Harnell salah mengartikan tatapan Jadira.
"Terima kasih." Jadira berucap lirih hampir tak terdengar, namun Harnell masih bisa mendengarnya.
"Cepat minum. Setelah itu aku akan menyembuhkan luka dipunggungmu."
Jadira menghabiskan dua gelas ramuan itu dalam dua kali tegukan "Sudah. Aku bukan anak kecil"
"Sekarang berbaliklah." Perintah Harnell, yang diperintah hanya menurut saja.
Pria itu menurunkan resleting baju si wanita hingga terpampanglah beberapa luka dan lebam yang membuat Harnell meringis saat melihatnya
"Aku harus membuka pengait bra-mu untuk menyembuhkan luka dibaliknya." Ujar Harnell, Jadira mengangguk sebagai tanda bahwa ia mengizinkan pria itu untuk melakukannya.
Setelah kaitan bra itu terlepas, Harnell menahan nafas ketika melihat punggung mulus yang terdapat lebam itu. Harnell mengumpati dirinya sendiri yang bereaksi berlebihan, kenapa jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.
Ayolah Nell.. ini bukan pertama kali kau melihat punggung mulus wanita dan itu semua sama saja, tak membuatmu tertarik untuk berbuat lebih. Tapi mengapa saat melihat punggung Jadira yang penuh lebam bisa membuatmu gerah.
"Aw.. akhh.."
Sial.
Sial.
Sial.
Harnell semakin mengumpati dirinya. Ia tau jika Jadira tidak sedang menggodanya, wanita itu hanya mengerang kesakitan karena punggungnya sedang ia obati, tapi mengapa hanya karena dua kata itu keluar dari bibir penuh milik Jadira bisa membuatnya ingin menelanjangi wanita cantik itu saat ini juga. Sialan, pikiranmu benar-benar brengsek Harnell La Fen.
"Akhh.. ini sakit sekali, Nell."
"Tahan sebentar saja."
"Bisakah kau melakukannya lebih pelan?!"
"Bisakah kau percepat sedikit?!"
"Ck, bisakah kau tidak berisik? Berhentilah manja seperti anak kecil."
"Ini benar-benar sakit, bodoh." Kesal Jadira yang nyaris menangis menahan sakitnya. Harnell tau bagaimana rasanya, ia sendiri terus meringis melihat lebam dan luka tersebut.
"Aku sudah melakukannya dengan sangat pelan, tahanlah sedikit. Luka dibagian punggungmu memang paling parah." Harnell kembali mengusap punggung itu dengan hati-hati.
"Seharusnya aku pingsan saja sampai luka ku kau obati semua agar aku tak merasakan sakit seperti ini."
"Suruh siapa kau bangun lebih dulu sebelum aku selesai melakukannya."
"Sabarlah, ini hampir selesai." Lanjut Harnell.
"Aw.."
"Lebam dan lukanya sudah hilang, namun nyerinya masih terasa sedikit. Satu sampai dua hari kedepan kau sudah benar-benar pulih." Harnell memberi tahu sambil buru-buru memasang kembali pengait bra tersebut.
"Sudah selesai?"
"Sudah dibagian punggung, kaki dan tangan, tapi di dadamu belum aku obati."
Blush.
Wajah keduanya memerah karena ucapan Harnell. Untung saja Jadira masih memunggungi pria itu, sehingga mereka tak saling melihat semburat merah itu dipipi mereka.
"Kurasa itu tidak terlalu parah. Dalam waktu enam hari bisa sembuh dengan meminum ramuan yang ku buat, jika kau tak mau aku mengusapnya."
Harnell bodoh! Apakah tak ada kata lain selain 'mengusap'?
Itu terdengar sangat ambigu dan lihatlah pipi mereka kembali bersemu. Sungguh seperti remaja yang baru jatuh cinta, padahal mereka adalah dua orang dewasa yang sudah sangat berpengalaman dalam hal seperti itu. Lalu kenapa saat ini masih tampak malu-malu.
"Ehmm.. maksud.. maksudku, menyembuhkannya. Jika aku menyembuhkannya dengan mengusap lukamu, maka kau akan merasakan nyeri seperti tadi." Harnell meralat ucapannya.
"Sembuhkan sekarang saja. Aku tak mau menunggu enam hari, itu cukup lama."
"Baiklah, tapi bisakah kau membuka bajumu?"
"Hmm maksudku, bajumu memiliki resleting dibagian belakang dan polos dibagian depan, jika bajumu memiliki kancing dibagian depan itu akan lebih mudah karena kau tak perlu membuka bajumu, kau hanya perlu membuka kancingnya saja. Namun baju yang sekarang kau pakai mengharuskanmu untuk melepasnya. Kau paham maksudku, kan?"
"He'em aku mengerti. Kau tak perlu menjelaskanya panjang lebar seperti itu tuan Harnell yang tehormat." Jadira berkata sambil membuka setengah dressnya sampai batas pinggang, sehingga baju itu masih menutupi bagian pinggang hingga kakinya. Hanya bagian atas tubuhnya saja yang terbuka, itupun masih ada bra yang menutupi asetnya.
"Apa kau akan seperti ini juga jika dengan Junius ataupun pria lainnya?"
"Huh, apa maksudmu?"
"Ketika seorang pria memintamu melepaskan pakaianmu,maka kau akan melepaskannya begitu saja tanpa berpikir lagi?"
"Hahahahaha! Kenapa kau bertanya seperti itu? Itu lucu sekali."
"Jadi benar begitu?"
"Ya Tuhan mengapa pikiranmu cetek sekali, tuan?" Jadira menggeleng geli "Pertama, aku membuka bajuku setelah kau perintah karena aku ingin kau menyembuhkan lukaku. Kedua, aku belum pernah terluka dibagian itu sebelumnya, jadi Junius atau siapapun itu tak pernah melakukan seperti yang akan kau lakukan. Ketiga, belum ada lelaki manapun yang menyuruhku menanggalkan pakaianku, kecuali dirimu. Jangan terlalu menunjukkan padaku jika kau cemburu, aku bisa senang nanti."
Mendengar jawaban Jadira membuat Harnell mendadak malu. Kenapa dirinya begitu bodoh menanyakan hal seperti itu pada Jadira. Kotor sekali otakmu, Harnell.
"Apa bra ini juga menganggumu untuk mengobati lukaku? Apa aku perlu melepasnya juga? Jik-"
"JANGAN!" Jadira hampir terlonjak mendengar teriakan pria itu. Kenapa reaksi Harnell berlebihan sekali, bukankah pria itu bisa bicara lebih pelan tanpa harus berteriak seperti itu.
"Ehh, maksudku.. lukamu hanya dibagian payudara atasmu, jadi kau tak perlu membukanya karena itu hanya akan menganggu." Menganggu pikiranku, lanjut Harnell dalam hati.
"Ooh okeey."
"Sekarang sebaiknya kau rebahan, posisi tersebut lebih mudah untuk aku mengusapnya, ah maksudku menyembuhkannya." Sepertinya Harnell harus lebih fokus.
Jadira telah telentang, Harnell mengambil selimut untuk menutupi sebagian tubuh wanita itu. Selanjutnya jari-jari panjang milik Harnell dengan perlahan mengobati bagian dada Jadira dengan mulut komat-kamit membaca mantra.
Jadira mati-matian meredakan detak jantungnya yang tak mau dikontrol. Ini gila, benar-benar gila. Sensasi aneh menjalari seluruh tubuhnya saat kulit tangan Harnell menyentuh kulit payudaranya. Jadira hanya tidak tau kalau Harnell juga merasakan darahnya berdesir karena skinship yang sedang terjadi diantara mereka.
"Akhh!"
Sial!
"Bisakah kau diam? Aku sedang berkonsentrasi." Seru Harnell yang lagi-lagi kehilangan fokusnya karena suara Jadira.
"Aku hanya kesakitan."
"Tahan sebentar."
"Aw!" Jade kembali meringis hingga akhirnya Harnell memberi tahu jika ia telah selesai.
"Huuftt.. akhirnya." Nell menghembuskan nafas lega dan tiba-tiba membaringkan tubuhnya disamping Jadira, disisi kosong ranjang itu.
Mata pria itu terpejam, ia benar-benar lelah. Jadira menatap Harnell yang nampak sangat lelah. Wanita itu mendekat kearah Harnell dengan tubuh setengah telanjangnya dan cup! Satu kecupan berhasil mendarat di hidung tinggi si pria.
"Terima kasih.." Bisik wanita itu lembut.
"Jadira, kurasa kau sudah tau jika sedari dulu siapa satu-satunya wanita yang bisa membuatku bergairah."
"He'em lalu?" Jadira sengaja menggoda seorang Harnell.
"Cepat pakai bajumu atau aku akan kehilangan kendali. Jika aku menyerangmu saat ini, pecuma saja aku kerja keras untuk menyembuhkan lukamu. Tubuhmu yang belum sembuh total akan remuk kembali."
"Kau mengkhawatirkanku?" Jadira mengerling pada Harnell.
"Tidak, aku hanya tak mau usahaku menjadi sia-sia." Pria itu kembali memejamkan matanya.
Jadira tersenyum, lalu bangkit duduk dan memakai dress putih itu dengan benar. Bukankah dressnya kotor krena darah? Memang, namun Harnell telah menyulapnya hingga kembali seperti baru. Sungguh praktis sekali hidup para penyihir.
Cup!
Kali ini satu kecupan mendarat di sudut bibirnya. Pria itu tak bergeming bahkan saat Jadira menjadikan tangan kirinya sebagai bantal untuk kepalanya.
"Terima kasih.." ucapnya sekali lagi sambil memeluknya dari samping. Pria itu tetap memejamkan mata dan tak memberi jawaban apapun, namun siapa yang mengira jika tangan kekar itu mebalas pelukan sang wanita. Oh Tuhan, hati Jadira menghangat rasanya.
"Tidurlah, kita sama-sama perlu memulihkan tenaga kita." Harnell dapat merasakan jika wanita dalam dekapannya ini menganggukan kepala cantiknya dibalik dada bidang lelaki itu.
Sebenarnya apa yang sedang dilakukan oleh Harnell dan Jadira? Mengapa mereka bertingkah mesra seperti layaknya sepasang kekasih? Bukankah hubungan mereka hanya sebatas klien yang suka berdebat? Lalu mengapa tiba-tiba menjadi seperti ini?
Apa Jadira sudah berhasil merebut Nell dari Xena? Atau mereka hanya sekedar melepas rindu?
Rindu?
Rindu yang seperti apa?
Entahlah, mereka juga tak tau.
Mereka hanya ingin melakukannya. Menyalurkan kenyamanan satu sama lain, menikmati posisi mereka saat ini, serta memulihkan tenaga mereka yang benar-benar terkuras.
Hanya itu.