Harnell melupakan kunci mobilnya, ia kembali masuk kedalam kantor dan sedang berjalan ke parkiran setelah kuncinya telah kembali, namun karena terburu-buru dan tak terlalu memperhatikan sekitarnya, pria itu tak sengaja menabrak seorang wanita hingga wanita berbadan mungil itu terjatuh.
"Astaga! Kau tak apa, nona?" Harnell bertanya seraya membantu si wanita untuk berdiri, namun lelaki dengan hoodie hitam itu terkejut saat mengetahui siapa sosok wanita itu. Sehingga bukannya membantu sampai wanita itu berdiri, tapi ia malah melepaskan tangannya hingga si wanita jatuh kembali.
"Yak!! Dasar pria gila! Tidak berperikemanusiaan." Wanita itu bangun sendiri sambil mengumpat pada Harnell.
"Nyatanya kau memang bukan manusia." Bagaimana bisa Harnell tau kalau si cantik itu adalah penyihir, sedangkan ia tak tau jika sang kekasih adalah sejenis makhluk yang sama dengan Jadira.
Pria itu hendak melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan Jadira, namun niat itu ia urungkan saat melihat wanita cantik itu memiliki beberapa luka pada tangan dan kakinya. Harnell yakin jika Jadira baru saja mendapatkan lebam-lebam itu, bahkan terdapat darah segar mengalir di tangan kirinya.
"Astaga, ada apa denganmu? Kenapa terluka seperti ini? Apa ka-"
"Kau disini rupanya!" kalimat Harnell terpotong oleh suara lain. Mendengar suara menyeramkan itu, Jadira secara reflek bersembunyi di balik tubuh Harnell.
"Kau gila, kenapa kalian saling menyerang di tempat umum seperti ini? Ini memang sudah larut malam, tapi tidak bisakah kalian bertarung ditempat lain?" Harnell berbisik kesal pada wanita yang berdiri dibelakang punggungnya.
Jadi, Jadira mendapatkan luka-luka itu karena berurusan dengan dua penyihir jahat tersebut.
Harnell memejamkan matanya menahan kesal. Ia benci berada di situasi seperti ini. Ia tak mau terlibat dalam masalah mereka. Manusia setengah penyihir itu benar-benar ingin menghilang dari tempat itu, namun jari mungil berlumur darah itu menahan lengannya sambil berbisik memohon agar Harnell membantunya "Jangan pergi."
"Ada banyak urusan yang harus aku kerjakan."
"Kumohon, tolong aku."
"Aku tak mau melibatkan diri dalam urusan kalian." Harnell melepaskan tangan wanita itu dan segera berjalan kearah mobilnya. Harnell benar-benar tak mau memakai sihirnya, ia ingin hidup layaknya manusia biasa.
Sekarang mobil hitam itu berjalan meninggalkan pelataran parkir. Membiarkan Jadira bertarung sendirian.
"HAHAHAHA! Kukira pria itu akan menjadi pahlawanmu, ternyata memang nasibmu se-sial itu nona Morai." Marcus mengejek Jadira yang tidak beruntung.
"Menyerah saja kau, Morai. Cepat serahkan apa yang kami mau, maka penderitaanmu akan berakhir!" Tulip membuka suara.
"Kalian tak akan pernah mendapatkan apa yang kalian inginkan sampai kapanpun, jadi sebaiknya kalian saja yang menyerah." Jadira tetap kekeh pada pendirian, membuat tubuhnya kembali terpental beberapa meter dari tempatnya berdiri. Tulip kembali menyerangnya, menambah lebam pada tubuh itu.
"Kenapa kau sangat keras kepala, Morai?"
"Kau tampak sudah tak mampu untuk melawan kami. Tak ada yang bisa menolongmu, bahkan Junius sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Apa lagi yang kau harapkan hmm?"
"Sekali aku bilang tidak, maka tidak. Tak ada yang bisa merebut milikku dariku, termasuk kalian." Baru saja berhasil berdiri, Jadira sudah kembali terpental hingga tubuhnya menghamtam pembatas jalan. Tentu saja itu ulah Marcus.
"Aaarggghh.." tubuh wanita itu benar-benar remuk. Darah segar dan air mata berlomba-lomba saling bercucuran. Ia benci menangis. Ia tak ingin menangis. Ia tak mau terlihat lemah, namun rasa sakit disekujur tubuhnya membuat air mata lolos tanpa permisi, Jadira tak bisa menahannya.
Ingin menyerang balik Marcus dan Tulip namun terasa mustahil, bahkan hanya untuk bangun saja sangat sulit.
Tulip mendekati Jadira, mencekik leher wanita itu. Sial, Jadira benar-benar tak bisa berkutik. Ia tak ingin mati, tapi ia juga tak bisa melakukan apapun.
Siapapun dia kumohon tolong aku, kalimat itu terus saja berputar dikepalanya. Harnell brengsek cepat tolong aku! Harnell sialan! Nama pria itu terus memenuhi benaknya.
"Hentikan, Tulip. Kau sudah terlalu jauh." Marcus mengingatkan.
"Tidak bisa, wanita sialan ini harus diberi pelajaran." Tulip semakin mengencangkan cekikan tangannya pada leher Jadira.
"Aaargghh!!" Jadira mengerang kesakitan.
"Cukup, Tulip! Jika kita membunuhnya saat ini, itu tidak akan berguna. Kita belum tau dimana Morai menyembunyikan sesuatu yang kita incar itu." Marcus kembali mencoba menghentikan Tulip, namun sepertinya wanita itu mengabaikan ucapannya.
"Kau bahkan tak memohon ampun untuk dilepaskan" Tulip tersenyum mengejek.
"Cih, kau masih belum menyerah ternyata." Tulip benar-benar kesal pada Jadira yang tak memberikan reaksi apapun, wanita itu hanya terdiam sambil menatap Tulip dengan mata menyalang seolah memang menantangnya.
"Baiklah jika itu maumu, rasakan ini!" Penyihir jahat itu hendak mengangkat tubuhnya dan berniat untuk membantingnya. Ia sudah pasrah, ia hanya memejamkan matanya, bersiap menerima serangan dari Tulip.
BRAKK!! Kreek!! Suara super keras itu bisa membangunkan siapa saja yang tengah tertidur. Tubuh wanita itu menghamtam pagar hingga dadanya menancap pada pagar besi disebrang jalan yang juga ikut ambruk karena saking kuatnya tubuh Tulip menabrak pagar tersebut.
Darah hitam kental keluar dari tubuh dan mulutnya. Marcus dan Jadira membeku ditempat melihat apa yang baru saja terjadi. Sedetik kemudian Marcus segera berlari menghampiri Tulip yang mengerang kesakitan.
Jadira terdiam ditempat, masih terkejut dan mencerna yang baru saja terjadi. Seingatnya Tulip hendak menyerangnya lagi, namun mengapa malah Tulip yang celaka.
Itu berarti seseorang telah datang dan menolong. Tentu saja Junius, memangnya siapa lagi. Jangan harap Harnell mau menolongmu, nona Jadira Morai. Sekali pria itu berkata tidak, maka tetap tidak. Ia mana peduli dengan keselamatan orang lain selama itu tak merugikan dirinya. Pria itu hanya peduli pada dirinya dan hidupnya.
Tapi tunggu, Jadira tak melihat keberadaan temannya itu.
Oh.. ternyata Junius berada disebrang sana tengah menghampiri Marcus dan Tulip. Jadira dapat melihat dengan samar-samar jika Marcus dan Tulip pergi setelah Junius mengatakan sesuatu yang entah apa itu, karena jarak mereka yang cukup jauh sehingga ia tak dapat mendengar apapun. Dalam keadaan setengah sadar, Jadira dapat melihat jika pria itu tengah membereskan kekacauan yang terjadi dengan mantranya, hanya dalam 6 detik pagar dan juga jalan disekitarnya sudah kembali seperti sedia kala.
Selanjutnya teman tampannya itu menghampirinya yang hampir tak sadarkan diri. Wanita itu sudah tak sanggup lagi untuk menjaga kesadarannya, serangan Tulip benar-benar melemahkan seluruh tubuhnya.
Meski mata cantiknya hampir tertutup, namun Jadira masih dapat melihat jika Junius tengah berlari kearahnya, namun sepertinya Jadira salah, pria itu bukan Junius. Yang menolongnya bukan Junius. Ia memang sempat curiga karena serangan yang Tulip dapatkan sangat kuat, sedangkan Junius tak pernah menyerang dengan cara seperti itu.
"Harnell.." Jade berkata lirih sembari menutup kedua matanya, wanita itu tak sadarkan diri.
Inilah alasan Harnell tak mau menggunakan kekuatannya, tak mau ikut campur dengan urusan para penyihir, tak mau memasuki dunia penuh mantra tersebut. Semua itu karena kekuatannya yang super dahsyat dibanding penyihir manapun, dan kekuatan gila itu ia dapatkan dari orang tuanya.
Ayah Nell adalah manusia titisan dewa sedangkan ibu Nell adalah keturunan dari darah penyihir terkuat di dunia. Bisa dibayangkan bukan sehebat apa kekuatan seorang Harnell La Fen.
Tak banyak yang mengetahui keberadaannya, ia memang menutup diri, menyembunyikan identitas aslinya. Sudah dikatakan diawal jika Harnell hanya ingin hidup seperti manusia biasa. Harnell tak mau memiliki anak, karena ia tak mau anaknya akan menjadi sepertinya.
Jika Harnell tidak mempunyai kontrol diri yang baik, maka ia bisa menjadi penyihir terkejam di muka bumi. Sejauh ini Harnell bisa mengendalikan diri. Memang terlihat mudah, namun Harnell benar-benar sekuat tenaga untuk menahan emosinya di segala kondisi, jika ia tak bisa menahan emosinya maka hal seperti inilah yang akan terjadi. Ia hampir membunuh Tulip dengan mantranya. Emosinya yang memuncak membuat kekuatannya semakin bertambah sehingga mantra yang dikeluarkan bisa dua kali lipat lebih berbahaya dari seharusnya.
Memiliki mantra tiada tanding dan emosi yang menggebu, dua hal itu yang membuat Harnell La Fen bisa menjadi raja dari penyihir kegelapan, penyihir bengis nan kejam diseluruh negeri. Namun Nell tak mau menjadi bagian dari mereka.