Suara kicauan burung di pagi ini terdengar seperti alunan musik nan merdu yang di dengar oleh Ibu Suri Istana Kang. Wanita yang paling dituakan di istana itu sedang menikmati teh bersama menantunya dan juga cucu menantunya---Ibu Suri Min dan juga Ratu Kim. Suasana hati wanita itu sepertinya sedang dalam kondisi terbaik, karena senyuman tidak pernah hilang di wajahnya yang sudah tak lagi muda itu. Ia memerhatikan langit biru yang begitu cerah, secerah senyumannya saat ini.
"Wang daebi mama, sepertinya Anda sedang dalam suasana hati yang baik," komentar Ibu Suri Min sang menantu.
"Kau benar, Daebi. Suasana hatiku memang sedang bagus karena tidak lama lagi aku akan memiliki cicit menantu," jawab sang ibu suri istana. "Aku berharap Yi Wook juga bisa segera menikah sebelum aku mati." Ia meraih cawan tehnya lalu menyesapnya sedikit.
"Saya rasa Yi Wook akan lebih memilih sendirian, Wang daebi mama," ujar Ratu Kim.
"Kenapa?" Ibu Suri Istana terlihat terkejut setelah mendengar ucapan cucu menantunya itu. "Apa kau mengatakan itu karena tidak akan menikahkannya, atau Yi Wook sendiri yang pernah mengatakan hal itu, Jungjeon?"
Ratu Kim tersenyum mendengar pertanyaan wanita ber-dangu ungu tua itu. Sejujurnya hubungan dirinya dengan wanita itu tidaklah terlalu dekat, tidak seperti hubungannya dengan ibu mertuanya. "Wook sendiri yang pernah mengatakan hal itu, Wang daebi mama. Beberapa waktu lalu saya tidak sengaja mendengar percakapan dia dengan jeonha."
"Ah begitu rupanya, aku pikir kau memutuskan untuk tidak menikahkan putra sulungmu itu." Ibu suri istana kembali menyesap teh yang ada dalam cawannya tersebut. Baru satu teguk ia meminum tehnya, tiba-tiba ia terbatuk-batuk dan lebih parahnya lagi terdapat bercak darah pada sapu tangan yang ia gunakan untuk menutup mulutnya saat batuk tadi.
Sontak saja hal itu membuat Ibu Suri Min yang kebetulan melihat hal tersebut segera beranjak dari duduknya dan mendekati ibu mertuanya itu. Dengan sigap ia menyuruh pelayan ibu suri istana untuk membawa wanita itu kembali ke kamarnya dan menyuruh pelayannya untuk memanggilkan tabib.
~"~
"Halma mama jatuh sakit?"
Raja Jeongwoo segera beranjak dari duduknya ketika mendengar kasim pribadinya memberikan kabar jika sang nenek jatuh sakit. Pria berjubah merah dengan emblem sulaman naga emas itu bergegas menuju kediaman sang nenek untuk melihat kondisinya secara langsung. Sepertinya pemilihan putri mahkota bagi putra keduanya itu harus ditunda hingga ibu suri istana kembali pulih.
"Abba mama."
Panggilan dari Yi Jin membuat langkah kaki Raja Jeongwoo terhenti. Ia berbalik dan mendapati putranya sudah hampir berada di dekatnya.
"Oh donggung, kau akan pergi ke kediaman halma mama?" tanya Raja Jeongwoo yang dijawab dengan anggukkan kepala sang anak.
"Ye, Abba mama. Soja akan pergi ke sana karena khawatir dengan kondisinya."
"Baiklah, kita pergi bersama."
~"~
Sementara itu di kediaman ibu suri istana, wanita itu sedang berbaring dengan kedua mata yang terpejam. Tabib istana sudah memeriksa kondisinya dan hasilnya rupanya cukup serius, ia harus beristirahat sejenak agar tidak memperburuk kondisinya. Di samping ibu suri istana, Ibu Suri Min sang menantu duduk untuk menemani mertuanya itu. Ia terlihat khawatir dengan kondisi ibu mertuanya yang begitu ia sayangi.
"Daebi mama, jusang jeonha dan seja jeoha datang," umum Jung Sanggung---pelayan pribadi dari Ibu Suri.
"Persilakan masuk," jawab ibu suri.
Pintu kediaman ibu suri istana terbuka dan disusul dengan masuknya Raja Jeongwoo serta Yi Jin. Kedua pria itu memberikan hormatnya terlebih dahulu lalu duduk di dekat ibu suri.
"Bagaimana dengan kondisinya, Eomma mama?" tanya Raja Jeongwoo.
"Tidak terlalu baik. Tabib istana menyarankan beliau untuk istrihat total," jelas ibu suri sambil memandang ibu mertuanya itu.
"Begitu rupanya." Raja Jeongwoo mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Eomma mama, sepertinya kita harus menunda pemilihan sejabin sampai halma mama pulih kembali."
"Tidak perlu."
Jawaban tersebut bukanlah dari sang ibu suri, melainkan dari Ibu Suri Istana Kang. Ia berusaha untuk bangun dari posisi tidurnya dengan dibantu oleh menantunya.
"Laksanakan saja pemilihan sejabin sesuai dengan rencana, Jusang," ujarnya lagi. "Dalam waktu dekat aku pasti akan segera sembuh."
"Tapi halma mama, kesehatan Anda adalah yang terpenting saat ini. Pemilihan untuk calon istriku bisa dilaksanakan setelah halma mama benar-benar sembuh." Yi Jin yang sedari tadi terdiam akhirnya membuka suaranya. Ia lebih sependapat dengan ayahnya yang mengusulkan penundaan pemilihan.
"Aigoo, rupanya cicitku ini sangat peduli pada kesehatanku," ujar ibu suri istana dengan diakhiri seulas senyuman di wajahnya.
"Karena cicit Anda peduli dengan kesehatan Anda, jadi pemilihan putri mahkota akan di tunda sampai halma mama sehat kembali," ujar Raja Jeongwoo.
Ibu suri istana terkekeh. "Baiklah, kita tunda saja dulu pemilihan ini. Tapi, aku yakin pemilihan akan tetap berlangsung sesuai dengan rencana awal, karena aku akan segera pulih dengan cepat," ujarnya penuh dengan keyakinan dan semangat untuk sembuh kembali.
~"~
Suara pedang yang saling beradu terdengar di halaman kediaman Pangeran Agung Jaehyang. Saat ini sang pangeran tengah berlatih bersama dengan sahabat sekaligus pengawal kepercayaannya, Lee Woo Nam. Kedua pemuda yang usianya sama itu berlatih cukup serius, seolah mereka sedang bertarung bukannya berlatih. Keseriusan latihan mereka terpaksa berhenti saat seorang pelayan Jaehyang berlari dengan memanggil sang pangeran.
"Ada apa imonim?" tanya Jaehyang setelah pelayannya itu sudah berada di hadapannya. "Kenapa kau terlihat begitu panik?"
"Aigoo daegun mama, ada kabar tidak baik dari istana," ujar pelayan itu dengan napas yang sedikit tersenggal karena habis berlari.
"Kabar tidak baik dari istana?" Jaehyang jelas terkejut bukan main setelah mendengar hal tersebut.
"Ye, Mama. Saat ini wang daebi mama jatuh sakit dan kondisinya sama sekali tidak baik," ujar pelayan itu.
"Ah begitu rupanya. Baiklah terima kasih karena kau sudah mengabariku," ujar Jaehyang. "Kau boleh kembali bekerja."
"Ye, Mama. Kalau begitu hamba permisi untuk kembali bekerja."
Jaehyang menghela napasnya berat setelah pelayannya meninggalkan dirinya juga Woo Nam. Kedua matanya mulai berkaca-kaca karena dirinya adalah cicit paling disayang oleh ibu suri istana, serta ia juga menyayangi nenek buyutnya itu. Saat dirinya masih tinggal di istana, nenek buyutnya itu selalu berada di sisinya disaat ia sedang bersedih. Bahkan nenek buyutnya juga ia anggap seperti sosok ibunya disaat ibu kandungnya sama sekali tidak memerhatikan dirinya. Airmatanya akhirnya menetes keluar saat ia memikirkan hal terburuk, yaitu bagaimana jika nenek buyutnya itu meninggalkan dunia ini?
Tanpa mengatakan sepatah katapun kepada Woo Nam, Jaehyang bergegas pergi ke kamarnya. Ia pergi untuk mengganti pakaiannya lalu pergi ke istana menemui nenek buyutnya itu.