"Aku tidak tahu jika Rere hamil saat itu." Angga membela diri. Ia pasrah menerima pukulan demi pukulan Bara. Angga babak belur mencoba melawan, namun kalah kuat.
Bara menarik kerah baju Angga dan menariknya masuk ke dalam kamarnya. Tak mau pihak hotel melihat pertengkaran mereka. Bara menghempaskan tubuh Angga di sofa. Pria itu terhuyung hingga tergolek lemah di sofa.
"Berani sekali kamu menodai adikku." Bara menatap dingin pada Angga. Wajah Angga babak belur dan bibirnya bengkak. Darah sudah mengering di wajahnya.
"Maafkan aku bang." Angga menangis pilu. Ia pantas mendapatkan pukulan dari Bara. Kakak mana yang tidak murka mengetahui adiknya dinodai lalu hamil diluar nikah.
"Kau sudah terlambat untuk minta maaf." Geram Bara dengan bibir bergemeletuk. Ia ingin menghajar Angga lagi namun Rere melindungi pria itu, menjadikan tubuhnya sebagai tameng.
"Minggir!" Bara meminta Rere untuk menjauh.
Tangis Rere pecah. Ia menangis tanpa suara. Hatinya pilu melihat Angga terluka. Sekalinya Bara marah, malah membuat mantan kekasihnya lemah tak berdaya. Rere memohon agar Bara berhenti memukul Angga. Tak ingin pria itu terluka dan mati di tangan sang kakak. Rere mencebik, berlutut di depan Bara.
Bara menyeka air matanya, mencoba menahan tangisnya. Tak habis pikir kenapa Rere harus menyembunyikan siapa ayah biologis Leon. Bara merunduk, lalu menyentuh dagu Rere.
"Bilang padaku. Kenapa kamu tidak bicara? Andaikan kamu bilang dia menodai kamu." Bara menunjuk Angga yang tergolek lemah di sofa. "Abang akan mematahkan tangan dia. Rere, kamu sudah seperti adikku sendiri. Karena kamu aku merasakan jadi seorang kakak. Kamu menyayangiku seperti saudaramu sendiri. Aku tidak bisa membiarkan air mata kamu tumpah karena bajingan itu. Tidak rela Re. Masa depan kamu terampas karena bajingan itu."
"Bang, please….Jika sayang padaku jangan lakukan lagi. Aku tidak mau abang membunuh Angga. Jangan nodai tangan ini bang." Rere menggenggam tangan Bara.
"Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya padaku? Jawab!" Bara menghardik Rere. Kesal, Rere masih saja berbohong padahal Bara sudah melakukan kesalahan dengan menjadikan Angga sebagai umpan.
"Aku tidak mau merepotkan kalian," jawab Rere menangis.
"Aku ini kakakmu bukan orang lain." Geram Bara menyentuh pipi Rere lalu menghapus air mata adiknya. Bara memeluk Rere erat.
Gadis itu hanya bisa menangis dalam pelukan Bara. Tak ada yang bisa Rere lakukan selain menangis.
"Berhentilah menangis. Aku tidak suka melihatnya," ucap Bara dingin. Rere bergidik mendengar suara Bara. Pelan namun menggetarkan, terdengar menakutkan.
"Aku akan tanggung jawab," ucap Angga dengan napas tersengal-sengal. Ia kehabisan tenaga karena dipukuli.
"Buat apa kamu tanggung jawab jika aku sudah mengambil alih semuanya?" Sinis Bara menatap Angga. Ia perhatikan Angga dari ujung kepala hingga ujung rambut. Mengintimidasi pria itu.
"Jangan ikut campur. Kamu bukan saudara kandung Rere." Angga berani bersuara menentang Bara.
"Hubungan darah antara kami memang tidak ada tapi pernikahan papaku dan bunda Rere membuat kami bersaudara. Aku menyayangi dan melindungi dia seperti adikku sendiri." Bara menyentil Angga.
"Re. Menikahlah denganku," pinta Angga memelas tanpa mempedulikan Bara. Pria itu tetap dengan tujuannya. Menikahi Rere.
"Aku tidak akan menikah sama kamu. Sampai kapan pun tidak akan ada pernikahan di antara kita," pekik Rere menghardik Angga.
"Kenapa Re? Apa kamu tidak sayang dengan Leon?"
"Jangan pernah tanyakan rasa sayangku pada Leon. Jika aku tidak sayang mungkin ketika dia dalam kandungan sudah aku gugurkan." Mata Rere berkilat-kilat.
"Re, kenapa bicara seperti itu?" Angga menyayangkan perkataan Rere.
"Kamu memancingku Angga. Berapa kali kukatakan jika aku tidak mau menikah dengan kamu. Kita tidak bisa menikah."
"Kenapa?" Angga menahan tangis. Malu sebagai lelaki menangis karena cinta, tapi mau bagaimana lagi.
"Aku tidak mau menikah dengan kamu. Hari itu aku putuskan untuk melupakan semuanya dan mengakhiri hubungan kita," jawab Rere histeris. Bara hanya melongo ketika melihat Rere marah. Baru kali ini Bara melihat kemarahan sang adik.
"Kamu anggap apa aku?" Rere menunjuk dadanya. "Sakit Angga. Kamu telah menorehkan luka yang dalam di hatiku. Asal kamu tahu malam itu aku mengalami peristiwa paling mendebarkan dalam hidupku. Aku hampir mati dibunuh orang, aku merasa takut dan cemas. Aku takut mereka menemukanku. Kamu yang aku harapkan menjadi pelindung malah menjadi monster. Aku tidak mengenali kamu lagi Angga. Mana pacar yang baik, lucu dan bucin padaku. Hari itu kamu memperlihatkan topeng kamu Angga. Aku benci kamu sejak hari itu."
"Kenapa kamu tidak mau menikah?" Bara buka suara.
"Apa?" Rere tersentak. Kaget dengan penuturan Bara.
"Jika dia menodai kamu, berarti kamu harus menikah dengan Angga untuk membersihkan nama baik keluarga kita. Leon harus mendapatkan pengakuan secara hukum. Ini Indonesia Rere bukan Eropa. Kamu tidak bisa anteng punya anak tapi status kamu masih gadis. Menikahlah dengan Angga." Kata-kata Bara bak vonis di telinga Rere. Bara sengaja melakukannya untuk menekan Rere agar jujur.
"Tidak mau." Rere menggeleng. "Sampai kapan pun aku tidak mau menikah dengan Angga. Please….Jangan paksa aku bang. Jika kamu menyayangiku jangan paksa aku." Rere menangis tersedu-sedu.
"Begitu besar kebencian kamu padaku? Hingga tak mau menikah denganku demi anak kita?" Angga bangkit memegangi perutnya yang sakit akibat tendangan Bara.
"Aku sangat membenci kamu. Pergilah dari hidupku," usir Rere kasar. Ia terpaksa melakukannya agar Angga menyerah dan tak mengejarnya lagi.
"Re kenapa kamu tega?" Air mata Angga tumpah tanpa ia sadari. Ucapan Rere menghujam jantungnya, tepat sasaran. Nyeri ia rasakan. Benar kata orang karena satu kesalahan, orang akan melupakan seribu kebaikan kita. Meski lelaki dilarang menangis Angga tak bisa membendung perasaannya.
Bara masih melihat cinta di mata Rere untuk Angga namun perempuan itu mengelak dan tak mau mengakui.
"Kamu saja tega waktu itu. Kenapa aku tidak?" Ketus Rere membalas pertanyaan Angga. "Pergilah, pergi dari hidupku. Bawa semua kenangan tentang kita. Hubungan kita sudah tak bisa dilanjutkan lagi. Kamu tidak akan mengerti rasa sakit ini. Kamu monster. Harusnya kamu menjadi pelindungku bukan mencoba memperkosaku malam itu."
"Mencoba memperkosa kamu?" Angga bergidik, memastikan jika yang ia dengar salah. "Berarti aku tidak memperkosa kamu waktu itu itu?"
"Tidak," jawab Rere tegas. Ia harus jujur daripada Angga menjadi bulan-bulanan Bara. Sekian lama memendam perasaan, akhirnya Rere harus mengatakannya. Tak mau Angga menjadi korban. Tak mau Bara menumpahkan darah Angga. Kebenaran harus diungkapkan meski menyakitkan.
"Hari itu aku...."
"Aku tahu. Hari itu kamu sudah melecehkanku, tapi tidak sampai memperkosaku. Tia menyelamatkan aku malam itu. Dia datang ke apartemen. Tia mendengar teriakanku. Tia memukul kepalamu dengan vas bunga hingga kamu pingsan. Hampir saja melakukannya padaku. Aku tak berdaya dibawah kungkunganmu. Kamu tidak ingat karena mabuk." Rere memegang dadanya. Sakit rasanya mengungkap peristiwa kelam itu. Kekasihnya berusaha memperkosanya. Wanita mana yang tak kecewa dan terluka.