****
Aku menatap Pak Arash dengan kesal. Kebiasannya yang menggodaku setiap hari itu tidak pernah hilang. Padahal sudah punya calon, tapi tetap saja genit. Dasar ganjen.
Aku tertawa terpaksa, tapi mataku tetap menatap Bosku dengan tajam. "Pak Arash, ya. Kalau ngomong tuh suka bercanda. Nanti kalau calon Istrinya denger gawat loh, Pak. "
"Calon Istri saya udah denger kok." ujarnya santai. Terlalu santai hingga rasanya aku ingin mengulitinya hidup-hidup.
"Mana calon Istri Bos?" kataku dengan dagu yang sedikit ku angkat. Angkuh.
"Kamu."
"Saya?" aku menunjuk diriku sendiri.
Arash mengangguk dengan senyuman manisnya. "Iya, kamu."
"Waaah!"
Aku menoleh kearah Mbak Siti dan Keyna. Wajah mereka tampak terkejut sekaligus takjub mendengarnya.
"Jadi, calon Istri Bos itu, Rasi?"
Arash mengangguk dengan senyuman lebar yang tidak luntur. Aku buru-buru menggeleng ketika tatapan Mbak Siti dan Keyna terarah kepadaku.
"Bohong."
"Loh, kok bohong sih, Ras? Kan kamu emang calon Istri saya?"
Aku melotot kearah Arash. "Sejak kapan saya mau jadi Istri Bapak?"
"Istri? Kan saya bilang calon Ras."
"Ooh, atau jangan-jangan kamu pengen cepet nikah sama saya ya?" lanjutnya dengan tengil.
Ingin rasanya aku menjambak rambut lebat Bosku itu. Kalau bicara tidak pernah difilter dulu, langsung asal nyeblak aja. Bikin orang kesal.
Aku menarik nafas dengan pelan. Ngomong sama Arash ini harus pelan-pelan, gak boleh nge-gas. Untung mukanya ganteng, kalau nggak udah ku lempar dia dari lantai tiga ini.
"Pak." ujarku pelan. Sangat pelan sampai-sampai dia berjalan kearahku. Arash mencondongkan badannya hingga wajahnya tepat berada di depanku. Terlalu dekat.
"Bapak, kalau ngomong itu jangan asal, Pak. Saya nggak mau ya, semua orang salah paham sama perkataan Bapak itu."
jelasku dengan suara yang makin pelan. Mungkin hanya aku dan Arash yang mendengarnya.
Arash mendekatkan bibirnya ke telingaku. Hembusan nafasnya terasa menggelitik. Jantungku Makin berdetak dengan keras. aku berharap Arash tidak bisa mendengar suara jantung ku dengan posisi sedekat ini.
"Tapi saya suka. Gimana dong?" godanya.
Aku menggeram marah sekaligus malu. Andaikan aku punya pintu ajaib, aku pasti sudah mengirimnya ke Antartika. Membuatnya tidak akan pernah kembali lagi ke sini selamanya.
Aku mendesis kesal kearah Arash yang sudah menjauh. Senyumnya masih terukir dengan manisnya. Wajahnya bahkan terlihat berkali-kali lebih tampan karena itu. Aku berdecak dalam hati, astaga Ras, masih sempetnya muji-muji tuh si Bos tengil.
"Wajah kamu merah. Kamu terlihat makin cantik jadinya."
Suara pekikan tertahan terdengar dari Mbak Siti dan Keyna. Ok, ku rasa ini harus cepat di selesaikan. Kalau tidak, jantung ku bisa meledak di sini.
Aku melirik ke arah Mbak Siti dan Keyna yang menatapku dengan tatapan, 'Rasi, lo-beruntung-banget-dapetin-si-Bos'
Dan ku balas dengan tatapan tajam andalanku. Mbak Siti, tampak meringis melihatnya.
Aku kembali menatap Arash yang memasang senyum geli. Aku berjalan ke arah Arash, dan langsung menariknya menjauh dari dua ratu gosip itu. Bisa bahaya kalau mereka terus mendengar pembicaraan absurd antara aku dan Bos tengil ini.
Aku menarik Arash ke dalam ruangannya yang kedap suara. Jadi, Mbak Siti dan Keyna tidak akan bisa mendengar pembicaraan ku dan Arash dari luar.
Setelah menutup pintu, aku beralih menatap Arash yang dengan santainya duduk di atas sofa. "Bapak kalau ngomong itu jangan sembarangan, ya. Mbak Siti sama Keyna bisa salah paham, Pak."
Arash mengedikkan bahunya. "Saya gak ngomong sembarangan kok. Kan, kamu emang calon Istri saya."
Aku menarik nafas dan menghembuskan nya pelan. "Untung Pak Arash itu Bos saya, kalau bukan Bos udah saya tendang Bapak dari sini."
"Aw, kamu galak banget sih, sayang."
Aku melotot melihat tingkah tengil Bos yang semakin menjadi-jadi. Aku menghembuskan nafasku sekali lagi, guna menenangkan hatiku yang dag dig dug karena tingkah Bos yang hampir membuatku baper. Ingat ya. HAMPIR.
"Kamu kenapa? mau melahirkan?" tuh kan, untung gak jadi baper.
Aku tersenyum kepada Bos ku yang super tampan itu. "Udah ya ,Bos. Dari pada kita ngomongin hal yang unfaedah kayak gini, mending Bos periksa deh hasil kerja lembur saya itu. "kataku dengan menunjuk meja kerja Bos yang sebelumnya memang sudah ku isi dengan tumpukan berkas.
"Ah, kamu nggak asik nih." Arash menepuk pahanya sekali sebelum berjalan kearah meja kerjanya.
Aku mengurut dadaku pelan. Tingkah Bos ku memang tidak pernah sesuai umur. Jarang serius. Untung dia jenius, jadinya perusahaan ini nggak bangkrut di bawah pimpinannya, malahan semakin maju. Walaupun Bosnya nggak beres, alias tengil.
Aku berjalan kearah Arash yang menyenderkan tubuhnya di meja sambil memeriksa hasil kerjaanku dengan serius. Okey, caranya menyandar sebenarnya biasa saja, tapi karena Arash yang melakukannya, jadi luar biasa. Aurah tengilnya itu jadi hilang kalau sedang serius seperti ini.
Aku berdiri di depan Arash dengan jarak satu meter. Bahaya kalau terlalu dekat, bisa-bisa jantungku copot saking keras debarannya. Arash masih sibuk memeriksa hasil pekerjaanku. Aku Masih memandang Arash dengan sabar ketika tiba-tiba Arash mendongakkan kepalanya sambil menahan tawa. Aku mengerutkan dahiku bingung dengan tingkah Bos ku ini.
"Aduh, Rasi. Jangan lihatin saya kayak gitu dong, saya kan jadi nggak konsen nih. "katanya dengan tertawa pelan.
Aku memicingkan mataku sebal. "Terus saya harus ngapain kalau nggak lihatin Bapak?"
"Ya, ngapain gitu kek. Baca majalah..." Arash menunjuk majalah yang ada di meja. "...Atau main Ponsel sekalian searching di google baju pengantin paling bagus untuk kita nikahan."
Aku memutar bola mataku malas. Arash dan segala ke tengilannya. "Dari pada Bapak ngegodain saya terus, mending saya keluar deh. Kalau misalnya bacanya udah selesai, Bapak bisa panggil saya. Bye" Aku keluar dari ruangannya tanpa memberikannya kesempatan untuk menjawab. Bisa sampai besok kalau aku terus meladeni godaannya itu.
Keluar dari ruangan nya, aku menemukan Mbak Siti dan Keyna yang berdiri di depan mejaku. Pasti mereka sedang menungguku untuk meminta penjelasan. Aku berjalan dengan santai ke arah mereka, tepatnya meja kerjaku, seakan-akan tidak pernah terjadi apapun.
Baru saja pantatku mendarat mulus di kursiku, Mbak Siti langsung bertanya, "Rasi, lo ya diem-diem menghanyutkan."
"Iya, betul tu Mbak."
Aku hanya memutar bola mataku malas. "Udah deh, mendingan Mbak sama Keyna kerja. Nanti ketahuan sama Bos loh."
Mbak Siti mengibaskan tangannya santai di depanku. "Alah, Bos kan baik. Nggak kayak lo yang galak."
Baru saja aku ingin menjawab, suara teriakan Arash lebih dulu terdengar.
"SITI, KEYNA, KEMBALI KE MEJA KALIAN. KERJA."
Tuh kan, baru saja di bilangin. Arash itu orangnya emang kayak gitu. Di luar jam kerja dia orangnya emang ramah, humoris. Tapi, kalau pas jam kerja keluar deh sikap aslinya. Galak.
****