Chereads / The Boss Or Next Door / Chapter 3 - Boss 3

Chapter 3 - Boss 3

"Hmm, nyaman."

Aku tersenyum, merasakan empuknya kasur yang sedang ku tempati. Tempat paling nyaman untuk beristirahat, setelah seharian berkutat dengan setumpuk berkas yang membosankan.

Sambil menikmati kenyamanan surga dunia versi ku. Aku mengambil HP yang tidak berhenti berbunyi dari tadi. Pasti Mbak Siti dan Keyna, sibuk menggosipkan Arash, yang lagi-lagi memarahi mereka sewaktu jam pulang kerja tadi. Wanita yang malang. Tapi, sepertinya dugaan ku kali ini salah. Bukan Mbak Siti dan Keyla yang  berisik, tapi Arash. Ada sekitar lima puluh pesan yang di kirimkannya padaku.

Arash😈👻

P

P

P

P

Assalamualaikum, calon istri...

Assalamualaikum

Calon istriku

Belahan jiwaku

Bales dong🙁

Calon istri, udah sampai rumah?

Belum ya...

Sayang

Baby

Honey

Aku menghela nafasku lelah. Baru membaca sedikit saja, kepalaku sudah pusing di buatnya. Aku mengelus dadaku sambil menggumamkan kata sabar.

Arash😈👻

Wa'alaikumsalam

Apa sih, Pak?

Ganggu deh😒

Allhamdulillah, akhirnya

di balas juga sama ISTRI tercinta😊

Eh, salah. Maksudnya

CALON ISTRI.

Nggak usah ngayal

Ada apa? Pake

Chat-chat saya lagi

Jam kerja saya udah

abis ya, Pak

Galak bener

Cuman mau ingetin aja,

jangan lupa bawa

dokumen buat besok ya, SAYANG

I-Y-A

Aku mendengus setelah membalas pesannya yang kurang bermutu itu. Orang yang sangat suka berbasa-basi sekali. Kenapa tidak langsung saja suruh bawa dokumen? Ini malah mengirimkan pesan-pesan yang tidak berguna dengan embel-embel CALON ISTRI. Dasar Bos gila.

Mungkin sebagian wanita sudah bawa perasaan di perlakukan seperti itu oleh Arash. Untung aku wanita strong, jadi tidak mempan dengan segala rayuan Playboy cap kaki tiga itu.

Ya, walaupun waktu pertama kali kerja bawah pimpinan Arash, aku berharap akan mendapatkan Bos tampan yang dingin seperti di novel-novel, bukannya Bos tampan yang kelewat ceria. Kadang-kadang ada dinginnya juga, sih. Kalau saja Arash itu seperti Bos yang ada di novel-novel, mungkin aku sudah jatuh hati pada Arash. Tapi sayang, ekspetasi tidak sesuai dengan realita.

Aku melirik jam yang menunjukan angka lima sore. Sudah waktunya aku mandi dan bersiap-siap untuk menunaikan shalat Magrib.

****

Salah satu yang paling ku hindari jika sedang memasak bersama Mama adalah saat Mama bertanya tentang, PER-NI-KA-HAN. Hello, umurku masih dua lima, loh. Umur yang masih sangat muda di Era-Modern ini. Banyak wanita-wanita zaman sekarang yang menikah di atas tiga puluh tahun. So, masih ada lima tahun lagi kan, untukku mengejar karir. Tentunya, sekalian mencari pasangan hidup yang cocok. Jadi, nggak perlu buru-buru.

Jika aku berpendapat seperti itu, berbeda pula dengan pendapat Mama. Bagi Mama, menikah di waktu muda itu sangat penting. Katanya sih, supaya terhindar dari zina. Bahkan, aku sudah di recoki tentang pernikahan dari lulus kuliah sampai sekarang. Apa nggak capek, ya? Kalau sudah seperti itu, aku hanya bisa diam dan manggut-manggut saja, dari pada kena marah.

"Rasi, Mama kan udah bilang jangan terlalu fokus kerja. Yang harus kamu fokuskan itu cari calon suami."

"Iya, Ma."

"Sama itu, kurang-kurangin bergaul sama temen kamu yang udah agak tua itu, yang kamu manggil nya pake Mbak-mbak."

"Mbak Siti."

"Iya, yang itu. Masa udah mau kepala tiga tapi belum nikah-nikah juga. Nggak laku apa gimana sih itu."

Satu lagi sifat Mama yang kurang aku suka, O-VER THINK- ING. Mama selalu mengeluarkan pendapat-pendapatnya yang menurutku, terlalu berlebihan. Seperti tadi contohnya. Untung saja Mama selalu bisa menjaga lisannya jika sedang ada Mbak Siti di sini, jadi tidak akan membuat Mbak Siti tersinggung dengan kata-kata Mama.

Aku sudah sering kali menasehati Mama untuk tidak terlalu berlebihan dalam menilai orang lain, takutnya malah menjadi fitnah kalau di dengar. Tapi yang namanya emak-emak tetap saja menjadi pemenangnya, tidak tergantikan. Ujung-ujungnya aku yang kena, di katain sok dewasa lah, sok bener lah. Padahalkan kedewasaan seseorang itu nggak di tentukan seberapa lama dia hidup, atau seberapa tua umurnya, kan? Kedewasaan itu di tentukan, dengan bagaimana cara pola pikir masing-masing, ya kan? Bukan umur atau yang lain.

"Rasi, kamu dengar Mama, kan?"

"Iya, Ma."

Aku mendesah dalam diam. Kalau tau bakal di suruh bantu-bantu masak, mending tadi aku di kamar saja sampai Mama selesai masak. Bukan bermaksud durhaka, memangnya siapa yang tahan setiap hari di recoki tentang pernikahan? Kalau aku sih, No.

"Udah lah, Ma. Rasi kan masih muda."

Aku tersenyum menatap pahlawan serta cinta pertamaku itu. Papa memang selalu di depan. Aku memeluk Papa yang baru saja duduk dengan manja. Sepertinya kegiatan bermain catur Papa sudah selesai dengan abangku yang satu itu.

Mama yang melihat sikap manja ku dengan Papa mendengus seraya tangannya tetap aktif mengaduk sop ayam.

"Papa, iih. Anaknya jangan dibelain terus, nanti malah ngelunjak."

"Ya, terus siapa lagi yang bakal bela anak kita selain kita, Mama yang ku cinta?"

Aku membenamkan kepalaku sambil menahan tawa melihat semburan merah muncul di kedua pipi Mama. Papa memang jagonya kalau soal menjinakan Mama. Baru di puji sedikit saja, Mama langsung luluh. poor, Mama.

Aku terkesiap ketika merasakan seseorang menarik bahu ku untuk menjauh dari pelukan Papa. Aku menoleh dan Langsung mendengus ketika tahu siapa pelakunya.

"Udah gede masih aja manja-manjaan sama Papa, nggak malu tuh sama umur."

Aku menepis tangan Bang Rangga yang masih bertengger di bahuku, "Nggak tuh, ngapain malu?"

Bang Rangga menarik hidungku agak kuat, "Dasar, manja."

"BANG RANGGA!"

Aku menggosok hidungku yang kurasa sedikit memerah. Dasar, jahil. Pantas saja nggak nikah-nikah, padahal umurnya udah mau tiga puluh. Kalau kayak gini mending ku jodohin aja sama Mbak Siti.

"Gimana kerjaan tadi?"

Papa mengelus bahuku lembut. Aku tersenyum dan langsung bergerak duduk di samping Papa.

"Baik kok, Pa."

"Masa iya? Emang Arash nggak ganggu kamu?"

Aku mendelik ke arah Bang Rangga.

"Papa, Bang Rangga kok nggak nikah-nikah sih? Apa jangan-jangan dia nggak laku ya, Pa?" aku tersenyum licik.

Papa tertawa, "Nggak tau, tuh. Belum bisa move on katanya sama yang lama."

Aku ikut tertawa bersama Papa. Bahkan Mama pun ikut tertawa, walaupun tangannya masih aktif  menyiapkan makan makan malam. Well, itu bukan candaan semata, karena Bang Rangga memang benar-benar belum move on dari mantan pacarnya yang sekarang sudah menjadi istri orang, atau mungkin sudah menjadi calon Ibu.

Aku melirik ke arah Bang Rangga yang wajahnya sudah tertekuk sebal. Sepertinya dia merasa di sini tidak ada yang memihaknya.

Suara tawa kami terhenti ketika mendengar suara seseorang yang mengucapkan salam. Aku memutar bola mataku malas, sudah bisa di tebak siapa yang datang di jam-jam makan malam ini.

"Hai, bro. Akhirnya lo datang juga." Bang Rangga menepuk bahunya akrab.

"Wah, kamu datang. Mama udah nungguin kamu dari tadi."

Mama memeluk orang itu dengan sayang. Aku mendecih sebal. Sok cari perhatian.

"Ngapain kamu sini? Numpang makan?"

Aku tersenyum puas. Memang hanya Papa yang bisa mengerti aku. Orang itu membalas ucapan ketus Papa dengan senyuman sok manisnya itu.

"Eh, Papa calon mertua. Bisa aja kalau ngomong." aku mendecih mendengar omongan sok manisnya.

Bisa tebak bukan siapa orang itu? Dia dengan tidak tau malunya mengambil duduk tepat di depanku, sambil mengumbar senyum manis yang membuatku ingin mencakar-cakar wajahnya.

"Hai, calon istri."

Aku mendecih sambil mengalihkan pandanganku kearah Papa yang masih memasang aurah permusuhan kepada Arash. Iya, Arash. Dia memang tinggal di samping rumahku, lebih tepatnya tetangga sebelah.

"Arash, kamu apa kabar?"

"Baik, Ma."

Aku memutar bola mataku dengan kesal. Iyalah baik, orang dia baru pulang liburan.

"Oh, iya. Arash bawa oleh-oleh dari Bali buat Pamertu sama Mamertu. Nanti Arash ambilin, ya?"

Mama menggangguk sambil mengucapkan terima kasih. Sedangkan Papa belum mengubah mimik wajahnya kepada Arash. Tapi emang dasarnya Arash itu nggak tau malu, jadi dia cuek aja sama tatapan membunuh dan tak suka Papa.

"Kalau buat gue ada nggak?" tanya Bang Rangga dengan antusias.

Arash mengangguk, "Ada,"

"Apa oleh-oleh nya?"

"Boneka pengantin."

"Sialan lo!"

***

Assalamualaikum, semua.

Judulnya ku ganti ya teman-teman, covernya juga.

Gimana? Suka judul dan cover sekarang atau yang dulu?

Tolong vote and komennya teman-teman, supaya aku tau di mana yang salah dan yang perlu di perbaiki.

Terima kasih😘😘😘