Chereads / The Boss Or Next Door / Chapter 4 - Boss 4

Chapter 4 - Boss 4

Happy reading!

****

Aku mengendarai mobil kodok ku untuk pergi ke kantor. Pagi ini cuacanya lumayan cerah, walaupun masih agak mendung. Tapi karena pagi ini aku bahagia, suasana yang agak mendung itu jadi tertutupi.

Arash, alias Bos ku di kantor dan juga tetangga samping rumahku itu, tidak datang untuk menumpang sarapan tadi. Pagi hariku menjadi lebih indah kalau tidak melihat wajahnya.

Mungkin kalian semua agak kaget melihat cara bicaraku dengan Arash di kantor, padahal kami itu tetangga dan sudah kenal dari kecil. Sebelum bekerja di sana aku memang sudah mengultimatum Arash agar tidak membocorkan status ketetanggaan kami. Ya, walaupun sifatnya yang usil ingin menjadikan ku Istrinya itu tidak di tutupi.

Sesampainya di parkiran kantor, aku melihat Mbak Siti dan Keyla yang juga baru sampai. Seperti biasanya, Mbak Siti di antarkan Adiknya, sedangkan Keyla di antarkan pacarnya. Mereka berdua memang tidak pernah membawa kendaraan setiap ke kantor. Katanya sih takut bawa kendaraan.

"MBAK SITI, KEYLA."

Aku melambaikan tanganku ke arah mereka berdua. Aku berlari kecil menghampiri mereka.

"Cerah banget muka lo? Abis menang lotre?"

Aku nyengir mendengar sindiran Mbak Siti ketika aku sampai di dekatnya, menampilkan gigi putih ku yang alhamdulillah rapi, tidak maju mundur ala lagu syahrini seperti gigi Mbak jamu yang sering lewat depan kantor.

"Iya dong. Kita itu harus mengawali hari dengan gembira!"

Aku menggandeng tangan mereka berdua memasuki kantor. Mengabaikan tatapan heran yang mereka layangkan kepadaku. Jangan heran, biasanya setiap pagi mereka akan berhadapan dengan muka kusutku, seperti belum di setrika. Lecek. Baik itu karena aku baru selesai lembur kemarin malamnya atau karena Arash yang datang pagi-pagi buta hanya untuk minta makan.

Tapi karena tadi malam tidak lembur dan Arash tidak datang untuk minta makan, wajah kusut yang biasanya ku tampil kan hilang di bawa angin, seperti Arash yang tiba-tiba tidak datang untuk menghancurkan pagi hari indah ku. Malahan, rasanya aku ingin berteriak dan mengumumkan kepada semua orang di kantor ini betapa bahagianya diriku pagi ini.

Sesampainya di lantai tiga tempat divisi ku berada, aku segera menuju  Pantry. Sambil bersenandung, aku membuat secangkir teh melati. Aku menghirup aroma teh melati dengan khitmat, menyesapnya pelan-pelan sambil menikmati pemandangan dari jendela besar di Pantry ini.

"Kamu ngapain?"

"Uhuk!"

Aku menepuk dadaku sambil menahan rasa panas yang menggerogoti tenggorokanku akibat tersedak.

"Bapak ngapain sih? Ngagetin aja?"

Arash menaikan sebelah alisnya, ia membantu menepuk punggungku pelan. "Saya nggak ngagetin kamu. Tapi negur kamu, takutnya kamu kerasukan hari ini."

Aku mendelik, menepis tangan Arash dari punggungku.

"Enak aja, saya masih waras tau."

Arash mengedikkan bahunya. Tanpa sungkan, ia mengambil cangkir teh ku dan meminumnya. Aku melotot melihatnya. Enak banget, dia.

"Tumben kamu minum teh pagi-pagi?" tanyanya setelah menghabiskan seperempat dari isi cangkir teh yang baru kuminum sedikit.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku merampas cangkir teh yang ingin ia minum kembali. "Bapak kalau mau bikin sendiri dong, jangan minum punya saya!"

"Pelit banget jadi calon istri." gumamnya sambil menepuk kepalaku pelan. Ia mengacak-acak nya dan pergi dari Pantry tanpa merasa bersalah.

Aku mendelik kesal, merapikan rambutku yang berantakan karenanya. Padahal aku tadi sudah senang karena tidak bertemu dengannya di rumah tadi. Kenapa dia harus muncul, sih?

****

"Cieeee yang di apelin calon suami di Pantry, cihuy!"

Aku melotot kearah Mbak Siti yang tertawa bersama Keyla. Di apelin mata lo, Mbak.

Tanpa menjawab godaan mereka, aku duduk di meja kerjaku. Sebentar lagi jam kerja kantor akan dimulai, dan aku ingin pekerjaanku cepat selesai tanpa harus lembur seperti biasa. Walaupun gaji lembur itu lumayan, aku tidak mau kalau harus tiap hari. Lagipula keluarga ku tidak semiskin itu sampai aku harus rela kerja lembur tiap hari. Walau tidak sekaya Arash And Familiy.

Aku menghidupkan Komputer dengan sedikit malas. Arash memang cocok disebut sebagai perusak mood. Andai saja aku tidak ke Pantry aku pasti tidak akan bertemu dengannya, tentu saja mood ku pagi ini tidak akan rusak.

"Tapi....,"

Aku meraba dadaku yang sempat berdetak lebih cepat ketika Arash memegang rambutku tadi. Apa mungkin aku punya gejala penyakit jantung ya?

"Kenapa lo, Ras? Megang-megang dada?"

"Tau nih, Rasi. Dada lo nggak akan besar kalau lo yang pegang."

"Hahahaha, betul tuh. Lain cerita kalau Pak Calsu yang pegang." sambil menggerakkan tangannya seperti meremas.

"Sialan."

Aku melempar pulpen kearah Mbak Siti dan Keyla yang tertawa terbahak-bahak. Aku tau dada mereka lebih besar sedikit dari pada dadaku, tapi tidak perlu di bilang secara langsungkan? Apalagi sampai membawa Arash.

Untuk menghindari ejekan tidak bermutu mereka, aku buru-buru mengerjakan pekerjaan ku yang tertunda karena memikirkan Arash tadi.

****

Aku mengucek mataku yang sedikit perih. Terlalu lama melihat layar monitor memang sangat tidak baik bagi kesehatan mata. Dan pekerjaan ku mengharuskan untuk melihat layar monitor itu setiap hari, kecuali hari pekan.

Aku melirik jam di pergelangan tanganku, sudah jam lima lewat. Kantor sudah mulai sepi, dan yang tertinggal di ruangan ini hanya aku dan beberapa orang yang ku yakini akan lembur, untung pekerjaan ku sudah selesai jadi tidak perlu lembur.

Setelah merenggangkan tanganku yang sedikit pegal aku mematikan komputer dan membereskan barang-barang di meja kerjaku. Hari ini aku terpaksa pulang naik taxi atau ojek online, karena abangku yang paling tampan tapi tidak laku itu tiba-tiba datang kekantor tadi siang, dan meminjam mobilku untuk perjalanan dinas. Mobil yang selalu di bangga-banggakannya itu, malah teronggok di garasi rumah karena kehabisan bensin.

Aku heran, padahal dia tinggal mengisi bensin mobilnya itu dan tidak perlu repot-repot datang kesini. Dasar orang aneh. Pantas jomblo.

Dengan perasaan sedikit jengkel, aku berdiri di halte dekat kantor. Menunggu taxi lewat. Ntah karena  sial atau ceroboh, sampai di halte tadi aku baru ingin memesan ojek online dan bodohnya aku lupa memeriksa ponselku yang ternyata habis baterai. Benar-benar mengesalkan.

Dengan kaki yang kesemutan karena terlalu lama berdiri, aku melirik jam yang sudah menunjukkan angka jam tujuh kurang. Sudah satu jam lebih aku berdiri di halte dan belum ada satupun taxi yang lewat.

TIN TIN TIN

Aku menghela nafas berat. Ntah sudah berapa kali pemilik mobil silver di sebrang sana menyembunyikan klaksonnya dari setengah jam yang lalu. Aku sudah berusaha mengacuhkannya, tapi bukannya berhenti suara klakson itu malah semakin menjadi-jadi.

Aku menghentakkan kakiku kesal. Memandang tajam kearah mobil silver itu, berharap pemiliknya tau kalau aku sedang tidak mau di ganggu.

"RASI, AYO!"

Aku memutar bola mataku acuh. Berusaha tidak peduli dengan suara ajakan dan klakson mobilnya. Aku mengalihkan pandangan ku ke ujung jalan, melihat apakah ada taxi yang berbaik hati lewat di depanku dan menyelamatkan ku dari pemilik mobil yang mungkin sudah tidak waras itu.

Aku terpekik ketika merasakan tubuhku tiba-tiba terangkat.

"ARASH, APA-APAAN SIH? TURUNIN!"

Aku memukul punggung Arash yang menggendongku bagaikan karung beras dengan seenaknya.

"Diam."

Ia memukul pantatku dengan keras.

"ARASH!"

****

TBC!