Chereads / Screaming / Chapter 4 - Bab 4

Chapter 4 - Bab 4

Udara dingin nan sejuk menyesap lembut begitu mereka tiba di pos keamanan hutan Siliwan. Hutan ini memang tergolong hutan lindung, yang benar-benar tak banyak tersentuh oleh manusia rakus yang gemar menebang pohon tanpa penanaman kembali.

Anne keluar dari mobil tanpa menghiraukan pertanyaan dari sahabatnya, ia fokus menghirup udara segar yang begitu membuatnya terlena. Menemukan udara sesejuk ini, bukanlah sesuatu yang mudah di Kota besar berpolusi seperti kota yang ia tempati, namun di sini begitu mudahnya di dapat.

"Kayaknya lo excited banget ya," Tepukan lembut di pundaknya membuat Anne menoleh kearah Mia, di punggungnya sudah terdapat tas besar.

Menyadari itu, Anne segera menuju bagasi untuk mengambil tasnya, namun Bayu sudah lebih dulu mendekat dengan dua tas tersampir di punggungnya.

"Biar gue aja yang bawa Anne," ucapnya dengan senyuman kikuk.

Bayu adalah kapten basket di sekolah, lelaki itu terkenal ramah dan mudah bergaul dengan semua orang, banyak gadis yang tejerat pada keramahan lelaki itu. Namun melihat lelaki itu bertingkah malu-malu dengan telinga memerah, membuat Anne benar-benar tidak mengenali sosok itu.

"Nah gitu Bay, ngegas dikit lah, dari dulu ngode terus!" Celetuk Sisi, yang di sambut seruan setuju oleh yang lainnya.

"Eh ngomong-ngomong, kalian pernah dengar rumor tentang hutan ini belum?" Yoga salah satu dari lima teman Bayu memecah ejekan menyebalkan yang di tujukan pada Anne dan Bayu.

Mendengar pertanyaan itu, semua pasang mata kini terfokus pada lelaki tinggi berkulit tan itu.

"Ah gue tahu! Rumor yang katanya nggak boleh berkelompok dengan jumlah ganjil kan? Santai lah, kita kan.." Ucapan Fiona terhenti begitu telunjuknya hampir selesai menghitung jumlah kepala di dalam kelompok mereka.

"Sembilan, ganjil." Imbuh Yoga

"Ey! Itu hanya rumor murahan nggak berdasar, memang kenapa kalau ganjil?" Sisi menengahi dengan ringisan canggung.

Mendengar mereka mulai larut dalam obrolan, Anne memilih mendekat kearah pos, mengikuti Bayu yang sedang mendaftarkan mereka untuk izin membangun tenda.

"Akan ada bencana yang membuat jumlah kelompok itu akan terus berkurang." Ucapan Yoga mencuri masuk kedalam telinga Anne, membuat gadis itu menoleh kearah kerumunan yang masih mendebatkan perihal rumor aneh hutan Siliwan.

Namun Anne memilih menggeleng dan acuh, itu hanga rumor, terlebih ia memiliki Tuhan yang akan menjaganya dari bahaya.

"Belum selesai Bay?"

Bayu yang duduk di kursi mendongak kearah Anne, sedikit terkejut namun tersenyum dengan manisnya, "Dikit lagi nih,"

Anne memilih ikut duduk di samping Bayu, dengan pandangan terus mengedar pada penjuru hutan yang sejuk itu. Matanya berakhir pada kertas yang sedang diisi oleh Bayu, namun rasa tertarik membuat Anne lebih mendekat kearah Bayu.

Matanya memicing menatap kertas itu, jantungnya berdetak dengan cepat, dan ia memilih untuk segera berdiri.

"Kenapa?" Tanya Bayu heran, namun Anne hanya menggeleng dengan ekspresi awas.

"Gue ke toilet dulu!" Seru Anne lalu melangkah dengan cepat menjauh dari Bayu.

"Mau di anter nggak? Anne! Buru-buru banget ya?"

Anne melebarkan langkahnya, mengabaikan tawaran Bayu yang berlalu menghilang ditelan jarak. Anne berlari kearah tas mereka yang tergeletak di tanah, mengais kedalam kantung besar di tas itu. Ia sedikit memekik senang saat menemukan apa yang di carinya, sebuah surat kaleng yang untungnya ada di dalam sling bag miliknya.

Anne kembali berlari kearah pos keamanan, namun Bayu sudah tidak lagi di sana. Menyadari ketiadaan Bayu, Anne memilih pergi ke pos langsung.

"Pak, boleh saya pinjam kertas yang tadi teman saya isi? Baru saja teman lelaki saya mengisinya, kelompok dengan 9 orang."

Pria paruh baya penjaga pos itu segera memeriksa tumpukan kertas di sampingnya, "Yang ada Bayu, Anne, Mia—"

"Iya, iya itu pak!" Potong Anne tak sabaran.

Saat penjaga itu menyodorkan kertasnya, Anne bahkan meraihnya dengan cepat, di jejerkannya kertas itu dengan kertas kecil yang berasal dari anonim. Anne menggeram tertahan saat menyadari hal yang mengejutkan, tipe tulisan dari kedua kertas itu sama. Lekukan, gaya, bahkan kemiringan, terlihat serupa walau hanya di lihat dari pandangan mata awam.

Anne memundurkan langkahnya, menunduk mengucapan terima kasih seperti orang linglung, lalu melangkah menuju kerumunan teman-temannya. Matanya menatap Bayu dengan awas, apakah Bayu lah orangnya? Pengirim surat aneh yang terus membuat Anne merasa di awasi?

Tapi, Anne bahkan tidak tahu maksud dari pengirim surat itu, apakah baik, atau jahat? Kadang pemberi surat itu memperingati untuk berhati-hati, kadang pemberi surat itu meluapkan kata-kata seperti kekesalan. Sebenarnya apa maksud dari surat itu?

"Anne, kenapa?"

Anne terkesiap begitu merasakan sentuhan di lengannya, reflek ia menggeleng kearah Sisi yang menyentuhnya. Matanya kembali awas kearah Bayu, saat ini Anne sedang di landa dilema dan was-was secara bersamaan.

"Lo sehat kan?"

Lagi-lagi Anne menjawab dengan reflek, mengangguk dan tersenyum kaku.

"Baguslah, yuk jalan, ini tas lo."

"Sekarang?" Seru Anne kaget seraya meraih tasnya.

"Iyalah sayang.. kita belum bangun tenda loh buat tidur nanti malam. Katanya mau buru-buru lihat air terjun?"

Mendengar air terjun, jiwa semangat Anne kembali tumbuh. Lebih baik ia berfikir positif dan menganggap pengirim surat itu hanyalah penggemar yang ingin lebih dekat namun segan. Ya, lebih baik seperti itu, agar camping ini tidak hancur akibat prasangka.

Namun, ternyata berfikiran positif di tengah kerisauan tidaklah semudah itu, Anne bahkan tidak bisa melakukannya. Sepanjang perjalanan masuk menyusuri hutan, tidak hentinya Anne melirik kearah Bayu. Rasa penasaran dan khawatir terus menyelimutinya, ia masihlah hafal betul dengan semua isi surat yang di kirimkan padanya. Bahkan bentuk tulisannya pun Anne hafalkan karena merasa terganggu dan ingin menemukan siapa pengirimnya.

Merasa kian penasaran, akhirnya Anne mempercepat laju kakinya dan mendekat kearah Bayu.

"Bay, aku mau ngomong,"

Bayu menoleh dengan terkejut, namun tersenyum lebar saat mengetahui Anne lah yang menepuk pundaknya.

"Boleh, apa?"

"Kamu pernah ngirim surat ke aku?" Tembaknya tanpa basa-basi.

"Nggak pernah lagi, sering malahan." Ucapan salah seorang lelaki yang tak lain teman basket Bayu membuat Anne terbelalak.

"Dia juga beberapa kali kasih kado anonim ke lo kan? hahaha." Tambah seorang yang lain seraya menyikut Bayu.

Ketika semua orang tertawa menggoda Bayu, hanya Anne yang terbelalak dengan keterkejutan, surat, kado yang di kirim anonim? Apakah pengirim itu benar-benar Bayu? Tapi melihat wajah santai Bayu dan bagaimana lelaki itu tampak malu-malu, Anne menyimpulkan kesan yang berbeda. Tidak mungkin Bayu berniat jahat, jika lelaki itu hendak melakukannya, bukankah saat ini harusnya Bayu panik karena ketahuan? Ya, pasti begitu.

"Kenpa lo nanyain itu?"

"Hah?" Anne benar-benar seperti orang linglung, menjawab pertanyaan Bayu dengan tidak siap. Namun Bayu malah tersenyum dan mengambil alih tas milik Anne.

"Lo kenapa sih Anne? Dari tadi aneh, lo baik-baik aja kan?"

Anne menggeleng kearah Mia yang merangkulnya, di ikuti oleh Fiona dan Sisi.

"Lo nggak baik-baik aja? Apa yang sakit?!" Seru Sisi.

"Nggak sakit, gue pengen cepat sampai di air terjun."

Keempatnya serempak memekik bersama, berjalan saling rangkul untuk kembali berjalan kearah tujuan mereka. Perjalanan mereka memakan cukup banyak waktu, keringat sudah mengucuri sekujur tubuh karena matahari yang sudah kian tinggi. Akhirnya mereka menghela nafas lega saat Bayu memberi kabar jika air terjun sudah kian dekat, bahkan suara jatuhnya air membuat keempat gadis itu saling pandang dengan mata berbinar.

Mereka akan melakukan camping selama 4 hari 3 malam, walau tidak terlalu lama, namun setidaknya sudah cukup untuk menenangkan diri dari penatnya ujian dan kotornya udara di kota.

"Kalian istirahat dulu aja, biar gue sama cowok-cowok yang pasang tenda." Bayu mendekat, menyodorkan empat botol air mineral kearah keempatnya yang sedang lesehan di atas dedaunan kering.

"Makasih Bay,"

Bayu mengangguk, tersenyum lebar kearah Anne seorang lalu pergi untuk menuju kearah rombongan lain, mendirikan tenda sebelum kian gelap.

"Tuh lihat, Bayu tuh suka banget sama lo."

Badan Anne terdorong saat Fiona menyikut lengannya, membuat Sisi dan Mia ikut menyoraki dengan nada ejekan. Anne hanya sanggup tersenyum, menenggak minumannya dan menatap kearah lain. Entah mengapa, perasaannya semakin tidak enak saja, tak tahu karena apa.

"Sumpah sinyalnya makin susah setelah sampai semakin dalam."

Membicarakan tentang sinyal, Anne merogoh ponselnya, memeriksa pesan yang tadi sempat ia kirimkan pada Jovan, lelaki itu pun ikut menyemangati, bahkan mengirim fotonya yang baru saja bangun tidur dengan muka bantalnya. Seulas senyuman terbit di wajah Anne, Jovan mengirim pesan jika lelaki itu akan rebahan seharian di rumah, itu karena tidak ada Anne. Rasanya kehawatiran dan rasa canggung perlahan luntur, walau keduannya melakukan hal tercela semalam, namun tidak ada sekat yang membuat mereka terasa jauh.

"HEI LIHAT INI!"

Seruan heboh Mia membuat ketiganya mendekat kearah gadis itu, merapatkan kepala guna menatap layar ponsel Mia yang kini sedang menampilkan foto Aura. Postingan gadis itu menunjukkan foto biasa, berdiri dengan background hutan. Namun yang membuat Mia memekik kesal, di dalam foto itu, terdapat gapura selamat datang dengan tulisan 'Hutan Siliwan' di mana tempat mereka kini camping.

"Kayaknya Aura terobsesi banget sama lo Anne! Berusaha mati-matian buat nyaingin lo."

Ucapan Mia membuat kening Anne mengernyit heran, namun gadis itu segera menjelaskan maksud ucapannya.

"Dia tahu kita mau camping sama Bayu, dan pagi tadi dia liat snapgram gue, di mana gue pamer mau pergi kesini." Tambah Mia.

"Gimana lo bisa yakin kalau Aura mencoba menyaingi gue?"

"Nggak cuma Mia yang yakin, kita juga." Fiona menengahi, bersamaan dengan itu Sisi ikut mengangguk.

"Waktu itu pas lo pergi gitu aja dari kantin, kita melihat dengan mata kepala kita sendiri kalau gadis sok lugu itu tersenyum puas dengan wajah menyebalkannya. Bahkan kita sering mergokin Aura diem-diem merhatiin lo, cuma kita milih diem aja kan?" Fiona menjelaskan, seraya menoleh kearah Sisi dan Mia meminta dukungan penjelasan.

"Betul! Lo inget-inget deh, apa yang lo punya, pasti Aura juga punya yang sama."

Benar, Anne tidak bisa memungkiri itu, Aura memang kerap menyebalkan, memiliki beberapa barang bahkan aksesoris sepele yang jelas-jelasa sama dengannya. Selama ini ia tak ambil pusing, memikirkan hal positif jika barang yang di jual di toko tidak mungkin hanya ada satu jenis saja. Namun jika sudah sejauh ini, ia sedikit merasa was-was, terlebih selama ini Anne di ganggu oleh anonim yang terus mengiriminya pesan kaleng. Siapa saja, bisa menjadi sosok itu, tak terkecuali Bayu maupun Aura.

"Udah deh, daripada kita mikirin nenek lampir Aura, mending kita ke air terjun yuk!"

Usulan Sisi membuat mereka bangkit berdiri dengan seruan semangat, ya lebih baik mereka bersenang-senang di sini, karena itulah tujuan mereka camping. Namun saat mereka berlarian saling mendahului, Anne menghentikan langkahnya, ia merasa seperti sedang di awasi. Saat ia menoleh ke belakang yang tidak lain adalah semak belukar yang tinggi, semak itu sedikit berguncang, membuat mata Anne seketika memicing awas.

"Anne! Ayo! Jangan misah, ntar ilang lo!"

Anne menoleh dengan ekspresi yang masih penuh tanya dan curiga, ia mengusap tengkuknya dengan langkah kecil mendekat kearah tiga sahabatnya. Namun Sisi yang tidak sabaran segera berlari menghampiri dan menarik lengan Anne.

"Buruan ayok!"

Di tengah tarikan Sisi, Anne menyempatkan menoleh kembali ke arah semak itu, perasannya kembali tidak enak, namun ia akan menganggapnya sebagai prasangka saja. Karena tidak mungkin ada hal aneh yang akan terjadi pada mereka, ia yakin itu.

Ketiganya kembali berlarian dengan riang, meresa lelah dan kian dekat dengan air terjun, langkah ketiganya melambat, mata mereka berbinar dengan senangnya, seakan ada ribuan bintang di dalam sana.

Anne menghentikan langkahnya, memejamkan mata seraya menghirup udara segar itu dalam-dalam, namun kehangatan yang terasa samar di punggungnya, membuat Anne menoleh dengan sigap. Matanya membelalak dan teriakan kencang lolos dari mulutnya, bahkan kini Anne terjatuh ke tanah, dengan mata yang masih membelalak menatap sosok yang berdiri di hadapannya.

"S-ssiapa.. "

Badan Anne segera di tarik oleh ketiga sahabatnya, di paksa untuk bangkit berdiri. Namun matanya masih menatap sosok bertopeng monster di hadapannya. Pakaian sosok itu serba hitam, dengan jubah besar yang menjuntai menutupi hingga batas mata kaki sosok itu. Keempatnya saling bergandengan, dengan langkah kaki kian mundur saat sosok itu melangkah maju.

"Kyaaaa!!!" Teriak keempatnya hampir bersaan saat ada sosok berjubah hitam lain yang muncul dengan langkah lari cepat kearah mereka.

Gandengan keempatnya lepas, berlari tak tentu arah untuk menyelamatkan diri. Saat ini mereka masih berada di tebing, dan di bawah sana adalah dasar dari air terjun tinggi yang hampir mereka capai. Namun tak ada lagi semangat untuk menuju air terjun, karena kini mereka sedang di hantui rasa ketakutan pada sosok yang kian dekat itu.

Badan Anne berguling ke tanah akibat terjangan yang menumbuk punggungnya, matanya menatap penuh ketakutan pada sosok yang kini kembali berdiri dan mendekat. Anne menyeret kakinya yang terasa lemas seakan tak bertulang, ia terus beringsut menjauh dengan suara yang sama sekali tidak bisa keluar dari mulutnya. Rasa takut membuatnya seperti gagu, hanya suara tarikan nafas yang terdengar kasar dan berisik.

"Tolong... tolong lepasin gue! Lo siapa?! Akkhh!" Anne meringis kesakitan saat rambutnya di tarik paksa, membuatnya mendongak dengan sensasi perih menyerang kulit kepalanya.

Matanya mengedar, mencari keberadaan ketiga sahabatnya, namun matanya benar-benar tidak bisa menjangkau ketiganya, hanya ada suara teriakan samar yang beradu dengan pekikan kesakitan yang keluar dari mulutnya.

Otak Anne terus di peras dengan sekuat tenaga, ia harus melakukan sesuatu untuk lepas dari cengkraman sosok itu. Jemarinya meraba tanah, mengais sesuatu untuk bisa ia jadikan alat menyerang, hingga sebuah batu runcing tersentuh oleh jarinya.

Dilayangkan batu itu kearah lengan sosok yang menjambaknya, dengan teriakan kencang Anne menyleding kaki sosok itu ala kadarnya. Tarikan itu lepas, memanfaatkan keadaan, Anne bangkit dan merangkak, ia mulai menangis saat kakinya benar-benar terasa lemas tak berdaya. Ia kembali di tahan, kali ini kakinya di cengkram dengan erat. Dengan sekuat tenaga dan gerakan asal, Anne menendangkan kedua kakinya kearah sosok itu, entah bagian mana yang terkena, Anne bahkan sama sekali tidak berani menatap sosok itu.

"Akkh!!!!!!!"

Akhirnya cengkraman itu lepas, Anne segera bangkit berdiri dan berlari sekuat tenaga, namun kemalangan sepertinya sedang ada di pihaknya. Berkat dirinya yang terus menoleh ke belakang memastikan aman, Anne tidak tahu jika di hadapannya adalah tebing yang dalam. Badannya terperosok jatuh, berguling-guling tanpa ada yang menahannya. Di pikiran Anne yang diliputi rasa sakit yang mendalam, ia pasrah jika nanti ia akan mati setelah lepas dari gulingan itu.

Badannya terhenti, dengan kepala yang membentur batu, seakan tenaganya benar-benar habis, rasa perih di mana-mana, serta darah yang mulai merembas dari sela rambutnya, Anne melirih kesakitan.

"S-sssakkittthh...."

Lirihan itu terdengar amat pelan, bersamaan dengan kesadaran yang mulai hilang, bergantikan kegelapan yang melelapkannya.