Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Memoar

Vienna_moe
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5.2k
Views
Synopsis
Bagi Choi Ae Rin (Lee Sung Kyung) yang terpenting ialah mencintai diri sendiri. Sebab, ia mengerti bagaimana mencintai orang lain sebagai seorang kekasih namun dikhianati. Semua itu seperti menusuknya secara perlahan dan menyayat ekspektasinya akan romansa dua sejoli di bangku kuliah.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bagiku, semua belum pulih.

Dan bagiku, kenangan manis tentangmu hanya akan terkubur hidup-hidup di dalam pikiranku.

Menghilang seperti potongan puzzle kecil, terurai bersama udara.

Kau pernah memberiku rasa pahit setelah manis yang begitu lama.

Jika kita bertemu kembali, aku penasaran apa kau akan tanyakan pertanyaan yang sama?

Dua orang perempuan tengah bersandar pada penyangga koridor Club di lantai 2.

Meski suara berisik dentuman musik yang bergema, mereka dapat mendengar satu sama lain dari jarak berdekatan. "Kenapa si tinggi itu belum datang?"

"Dia akan segera tiba, lihat saja. Oh! itu, Choi Ae Rin!!!"

Dua-tiga langkah anggun dari stiletto cantik mendekat. Beberapa pria di sekeliling memandang terpesona bak tersihir.

Choi Ae rin, nama gadis itu. Ia memakai jumpsuit berwarna polos dan sama sekali tidak menghilangkan pancaran "perempuan cantik" setiap ia melangkahkan kaki.

"Maaf aku terlambat." Ia langsung menyudutkan sebatang rokok dibibir dan memantikkan api dari pemantik emas di tangannya.

"Anu... itu Ae rin, kita kedatangan senior." Perempuan berambut bob menyeka rambut ke belakang telinganya sambil berbicara, ia tampak gugup.

"Ya! Ae rin-a, kau tampak elegan di semester-semester tua sekarang ini." Seorang pria menghampiri ketiga gadis. Meletakkan tangan di pinggang dengan sedikit mengangkat jas.

Ae rin tersenyum simpul dan mematikan rokoknya.

"Aku sering kemari, kau bukannya tidak bisa menyelesaikan tugas akhirmu, kan?"

"Ae rin-a." Satu gerakan tangan menahan perempuan berambut ikal untuk berbicara lebih banyak.

"Ji yoo, jangan lakukan itu. Aku tidak mau temanku memiliki client sampah seperti dia."

"YAK!!!"

Satu tangan besar di hadapan Ae rin tiba-tiba saja berhasil menarik rambut panjangnya ke belakang sehingga badannya terangkat. Dengan posisi 90 derajat, punggungnya tersangga di tralis besi koridor yang di bawahnya merupakan lantai dance.

Mata Ae rin melihat ke langit-langit dengan jelas, saat itu ia bisa merasakan kesedihannya bertahun-tahun lalu.

***

"Aku sering sekali menunda."

Aku menunda diriku untuk membeli skincare mahal,

Aku menunda keinginanku untuk berbelanja dan makan makanan mewah di mall.

Aku menunda diriku untuk pergi berlibur.

Aku berusaha keras untuk hemat, menjalani hidup secara cukup, dan menahan semua keinginan besar yang bisa memuaskan hasrat kepemilikan.

Itu tidak seberapa dengan rasa senangku karena aku punya dia. Seseorang yang kucintai, setidaknya dia yang membuat hari-hariku terasa berwarna.

Jo Joo Woon.

"Ae rin-a, kau sudah makan?"

"Hm, belum."

"Benarkah? Mau kutemui? Kelasmu sudah berakhir?"

"Ya, baiklah. Kita bertemu di mana?"

Setelah acara telpon-menelpon itu kami bertemu. Menghabiskan sisa hari di kedai ramen yang tak jauh dari tempat tinggal masing-masing dan bercerita kejadian yang dilalui hari itu.

Jo Woon telah lulus kuliah, ia masih menunggu panggilan interview pekerjaan. Di sela-sela itu, ia sering menemaniku, membantu mengerjakan tugas. Aku merasa planet bumi yang luas ini cukup. Hanya dengan Jo Woon di sisiku.

"Ae rin-a, hari ini aku tidak bisa membayar makanan mu. Tidak apa-apa kan?"

"Tidak apa, aku yang bayar saja. Kau kutraktir."

Esoknya setelah pulang kuliah, Jo Woon datang menjemputku di kampus.

"Ae rin-a bisa kita bicara sebentar?"

Setelah menemui tempat yang cocok untuk berbicara empat mata, Joo Woon langsung mengutarakannya.

"Aku butuh uang, boleh aku pinjam uangmu?"

"Berapa banyak yang kau butuhkan?"

"$500."

"Aku tidak memegang cash sebanyak itu. Kau bisa ikut aku ke ATM lebih dulu."

"Baiklah."

Jo Woon mungkin mengalami hal yang berat. Berusaha hidup mandiri dan tidak tergantung dengan orang tuanya tanpa minta uang saku lagi. Aku memakluminya dengan posisi seperti ini karena menunggu panggilan kerja juga.

"Jo Woon-a, memangnya kau kerja di mana sampai bisa mentraktir kami daging enak begini?"

"Bukan begitu seonbae restoran ini memang milik kenalanku, rasanya pas bukan?"

"HAHAHA."

Aku berdiri mematung diseberang jalan. Menatap dari jauh pria yang amat kukenal. Mereka duduk beramai-ramai dan saling tertawa. Jo Woon bahkan di dampingi seorang perempuan di sisinya.

Ketika berdiam diri, seakan duniaku berhenti berputar. Semuanya yang berlalu cepat di hadapanku seakan hilang. Air mata bukan sesuatu yang mudah tumpah buatku.

Aku masih menatapnya saat dia keluar dari tempat di seberang sana setelah asyik minum-minum. Seorang perempuan mendekatinya dan bercengkerama akrab, saling tertawa seolah menertawakan diriku yang mematung.

***

"Beraninya kau mengatai aku sampah? Kau lihat, Mungkin hanya aku yang belum menyelesaikan tugas akhir. Tapi kau dengan bisnis ilegalmu ini, cuih!"

Aku selalu menundanya,

Menunda yang membuatku senang,

Menunda diriku untuk bahagia demi semua hidup hemat yang kujalani,

Menunda diriku untuk tidak melampiaskan amarah.

Jo Woon yang bertanya, " Kenapa kau ingin putus dariku? Apa aku semiskin ini di matamu?"

Semua itu seolah menjadi potongan puzzle yang saling terkait, melintas di memoriku.

Kali ini aku tidak akan menundanya lagi.

"BUG!"

Aku melayangkan badanku dengan sekuat tenaga yang mana sontak membuat kepalaku maju dan bertubrukan dengan kepala pria gempal di hadapanku.

"YAK!" Ia memegangi darah yang keluar dari pelipisnya. Aku tidak ingin membiarkan stiletto 5 cm ku menganggur, sesaat setelah melayang di udara. Pria gempal menutupi wajahnya.

Aku kesulitan menggerakkan lenganku. Ji Yoo menahannya, satu tangannya menuang isi bir ke kepala pria di hadapanku.

"Katakan lagi maka kau tahu berhadapan dengan siapa." Ji Yoo nampak tenang mengatakan itu.

Suara orang-orang terperangah terdengar.

"Ma maafkan aku Ji Yoo-a."

"HAISH!" Lia si rambut bob hampir-hampir melayangkan pukulannya.

***

"Kau tidak apa?"

Ji Yoo membantuku membersihkan luka. Kami bertiga duduk di kursi taman.

"Tidak apa, aku belajar ini dari Taekwondo. Kau tahu itu."

"Yak! Gunakan kakimu bukan kepala tahu! Si gempal Jae Hwan memang harus dipertegas biar tahu rasa!"

"Sudahlah." Aku meringis sesaat akibat luka yang ditekan.

"Tapi, bagaimana kalau bisnis kita tidak lancar akibat perkataan Jae Hwan di club tadi?"

"Siapa peduli, dia hanya mahasiswa kampus sebelah. Kenapa kita mesti takut? Ibu mu seorang jaksa Ji Yoo-a."

"Lia." Aku menengahi.

"Apa? Kenapa?"

"Kita harus memberi Jae Hwan pelajaran lain kali."

"Setuju!"

CAST:

CHOI AE RIN

KIM JI YOO

SHIM LIA