Chapter 4 - BAB 3

"Jadi, bagaimana dengan aturannya?" J-Hope bicara dari belakang kemudi mobil yang memiliki kecepatan lebih dari 300 kilometer per jam, Lamborghini Aventador.

Hoshi menyunggingkan senyum, "Silakan buat aturannya, tuan pembalap."

J-Hope tertawa. Melihat Hoshi meremehkannya, membuatnya semakin tertantang dan bersemangat untuk mematahkan arogansi siswa-siswanya itu.

"Baiklah, aturannya mudah. Kau lihat Gunung Daeguk itu? Yang pertama berhasil menyalakan obor besar di sana, dia adalah pemenangnya."  Ucap J-Hope dengan tersenyum ringan.

"Gunung Daeguk? Sebaiknya anda menyiapkan berkas kepindahan kami." Ucap Hoshi penuh percaya diri.

Hoshi yang menggunakan Lamborghini seri Huracan bermain dengan pedal gas yang membuat suara knalpot mobil terdengar bising. Hoshi bermaksud menekan mental J-Hope tapi pria itu adalah pembalap profesional, J-Hope hanya tersenyum sambil sesekali membalas bisingnya knalpot Hoshi.

Jun berdiri di tengah, antara mobil J-Hope dan Hoshi, menghitung mundur untuk memulai perlombaan. Saat hitungannya berakhir dan tangan Jun sudah berada di bawah, kedua mobil langsung menekan pedal gas bersamaan. Kedua mobil itu mulai kejar-kejaran, kemudian Hoshi mendahului J-Hope.

Nama Tae Hyung muncul di layar kecil yang berada di tengah, J-Hope segera menjawab panggilan dari Taehyun, "Oh, Tae Hyung-ah…"

"Hyung, aktifkan mode sharing di layar GPSmu. Aku sudah mengirimkan posisi Hoshi padamu."

J-Hope langsung melirik layar GPS dan menemukan file yang dimaksud Tae Hyung. Saat ia membuka file tersebut, seketika posisi Hoshi berikut dengan info lainnya tampil di layar. J-Hope mengaktifkan mode suara karena ia terlalu sibuk menyusul Hoshi yang masih berada di depannya.

"Nama Takamura Hoshi, kelompok Schwert. Posisinya saat ini berada lima ratus meter di depan dengan kecepatan 250 kilometer per jam." Sistem melafalkannya dengan pasti.

"Woohoo, Kim Tae Hyung, kau benar-benar ilmuwan." J-Hope menekan pedal gas untuk mengejar ketertinggalannya dari Taehyun. Kurang dari sepuluh detik, mobil Hoshi sudah terlihat.

Sementara Hoshi melihat mobil J-Hope yang kian mendekat, ia kembali memberi tekanan pada pedal gas untuk memberikan jarak yang lebih pada mobil mereka.

"Aku harus menang dan keluar dari sekolah itu. Harus, demi Fiona." Tekad Hoshi.

J-Hope berhasil menempel pada Hoshi dan mengunggulinya untuk beberapa saat, namun Hoshi dengan cepat balik mengungguli J-Hope. Balapan mereka semakin sengit saat puncak Daeguk terlihat.

"Putaran di depan yang jadi penentunya, Hoshi-ya. Jika kau bisa mengatasinya, aku bersumpah akan membuatmu bisa merasakan atmosfir F-1." Celetuk J-Hope.

Sementara di Keimyung, hanya tinggal ketua dari Blade, Schwert dan Xifos bersama RapMonster yang berada di kelas setelah melepas J-Hope dan Hoshi balapan. RapMonster memperhatikan satu persatu siswa asuhnya, ia mencari karakter dari sikap yang mereka tunjukkan saat ini.

"Tidak mudah menjadi seorang pemimpin, bukan? Menentukan langkah bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk orang-orang yang mengikuti kalian. Salah-salah, bukannya mencapai puncak malah jatuh ke jurang dan terpuruk." Buka RapMonster yang membuat ketiganya terhentak meski segera menyembunyikannya.

"Jika anggotanya berandalan, ketuanya pasti bajingan." RapMonster berhenti di depan S.Coups.

Ia melanjutkan langkahnya, "Jika anggotanya lintah darat, maka ketuanya benalu."  Ia berhenti di depan Jun. Seperti S.Coups, Jun juga menatap nanar ke arah RapMonster.

"Dan jika anggotanya tak waras, ketuanya adalah seorang psikopat." Do Kyeom tampak tak peduli melihat RapMonster yang berhenti di depannya.

"Apa kalian pikir, karena kekuasaan, kekayaan dan kepintaran yang kalian miliki sehingga orang-orang itu takut? Tidak, yang mereka takuti sebenarnya adalah sifat bajinganmu, S.Coups, kekayaan keluargamu, Jun dan Psikopat-wanna-be milikmu, Do Kyeom." Lanjut RapMonster.

"Mereka bisa saja pergi meninggalkan kalian tanpa menoleh ke belakang tapi mereka harus tinggal karena bisa saja sesuatu terjadi saat mereka memilih pergi dari sisi kalian. Hingga akhirnya mereka terjebak bersama kalian di sekolah ini, mempertaruhkan masa depan mereka sebagai akibat mengikuti pemimpinnya."

"Rumput akan terus tumbuh selama akarnya masih tertanam di tanah. Jika ingin rumput itu hilang, maka akarnya harus dicabut atau dibakar sekalian. Seperti Blade, Schwert dan Xifos, kalian adalah akar yang harus dicabut lebih dulu untuk menghentikan perilaku buruk mereka. Dan sebagai pemimpin, bukankah kalian bisa mengurangi beban anggota dengan mengambil sebagian tanggung jawab mereka? Atau kalian adalah pemimpin sampah yang hanya memikirkan diri sendiri?"

RapMonster mengeluarkan secarik kertas dan memberikan pada mereka, "Ini adalah lokasi kerja paruh-waktu, kalian akan bekerja setiap hari dari jam dua siang hingga jam enam sore. Ingat semua ucapanku tadi."

RapMonster meninggalkan ketiga siswanya yang berkumpul mengelilingi kertas pemberian RapMonster.

"RUMAH LANSIA?!" seru ketiganya bersamaan.

* * *

"Ming Hao… hiks." Tangis Ibu The8 saat melihat puteranya masuk ke ruang pimpinan Song.

"Kenapa mereka bisa ada di sini? Susah payah aku menghindari mereka tapi kalian malah membawanya ke sini." ucap The8 yang tak menggubris tangisan ibunya.

"Masalah itu dihadapi bukan dihindari, Ming Hao." Jawab pimpinan Song.

"Namaku The8! Dan… tahu apa kalian tentang itu?" seru The8 dengan geram, menahan emosinya yang siap meledak.

"Bukankah seorang pria sejati selalu mempertanggungjawabkan semua kelakuannya?" sela Jin.

"TAPI BUKAN AKU YANG MELAKUKANNYA!!" teriak The8 yang tak bisa lagi menahan emosinya. Air matanya mulai menetes.

"Aku tahu." Balas Jin yang menaruh tangannya di pundak The8 sambil memberi kekuatan pada jemarinya.

"Karena itulah orang tuamu ada di sini, untuk menjemputmu. Membuatmu bertanggung jawab untuk melepaskan beban yang kau pikul sendiri hingga kau tak perlu lari lagi dan mulai mencari kebahagiaanmu sendiri, setelah berhasil membuat orang yang melakukannya di penjara. Lari dari masalah hanya akan membuat pelaku yang sebenarnya melanjutkan hidupnya dengan tenang atau kembali membuat orang lain bertanggung jawab atas kesalahannya." Lanjut Jin yang membuat The8 terhuyung ke lantai seolah lututnya tak mampu menahan bebannya lagi.

Melihat The8 terduduk di lantai sembari menangis tersedu, sang Ibu langsung menghampiri dan memberikan pelukan yang erat kepada puteranya. Mengusap punggung putera yang lama ia tunggu kepulangannya.

"Bukan aku, Ma… Hiks… Bukan aku yang melakukannya… Ming Hao tidak akan berani melakukan hal sekeji itu… Kenapa Mama, Papa dan yang lain tidak percaya pada Ming Hao?" isak The8 yang memanggil dirinya Ming Hao dalam pelukan sang Ibu.

"Mama tahu, Ming Hao tidak mungkin melakukannya… Maafkan Mama… Hiks… Maafkan Mama, Ming Hao sayang." Ucap sang Ibu sambil terus mengusap punggung puteranya yang masih menangis.

"Ayo kita pulang, Nak. Kita beri pelajaran kepada pelaku yang sebenarnya." Timpal sang Ayah yang memegang pundak The8 dan perlahan membantu keluarganya kembali berdiri.

The8 memeluk Ayahnya yang langsung dibalas peluk oleh sang Ayah, tak melewatkan sang Ibu yang juga ditarik masuk ke dalam pelukan Ayah dari The8. Setelah melepaskan pelukannya, keluarga itu berdiri berjajar. The8 menyeka air matanya. Sang Ayah yang merangkulkan tangannya di pundak The8, beberapa kali menepuk pundak puteranya untuk memberikan kekuatan. Sementara sang Ibu, menunduk dengan memegang saputangan di depan hidungnya.

"Terimakasih, Pimpinan Song. Aku akan membawa anakku kembali untuk menyelesaikan semuanya." Ucap sang Ayah dengan bijak.

Pimpinan Song mengangguk lalu menatap The8, "Apa kau akan kembali?"

"Apa aku boleh kembali?" The8 balik bertanya dengan ragu.

"Sekolah ini terbuka untukmu. Jika kau ingin kembali, aku akan menunggumu. Jadi, cepat selesaikan urusanmu dan bertemu kembali di sini, The8… Ah, sebenarnya lebih nyaman memanggilmu dengan nama Ming Hao, The8 terlalu sulit diucapkankan." Jin menggoda The8 dan membuat orang-orang yang ada di sana tertawa kecil karena leluconnya.

"Ming Hao juga tidak buruk." Balas The8 yang sekarang mulai terbiasa kembali dengan nama Ming Hao.

"Terimakasih, Ssaem." Sambung Ming Hao sambil mengulurkan tangannya.

"Terimakasih tidak mengenyangkan, kau harus traktir aku ketika kembali." sahut Jin dan membalas uluran tangan Ming Hao.

"Ingat satu hal, Kejujuran bukan hanya memperbaiki diri sendiri tapi bisa memperbaiki diri orang lain juga. Kau mungkin akan terlihat seperti sedang berkhianat tapi itu bukan pengkhianatan, yang kau lakukan merupakan hal yang tepat untuk mengajari sahabatmu untuk jujur dan bertanggung jawab." Tutup Jin sembari mengantar Ming Hao dan keluarganya keluar dari ruang pimpinan.

* * *

Bunyi mesin yang masih melaju dengan kecepatan tinggi bercampur dengan bunyi rem dan knalpot dari dua mobil yang masih bersaing di jalanan menuju Gunung Daeguk. Keduanya belum menyerah meski jalan semakin terjal dan jurang yang curam selalu siap menyambut mereka jika tak hati-hati.

"Tikungan terakhir menjadi penentu. Jika kau bisa melewatinya dengan mulus, aku kalah." ucap  J-Hope.

Hoshi yang mengenal jalan menuju puncak Gunung Daeguk memiliki pemikiran yang sama dengan J-Hope, tikungan di depan adalah tikungan terakhir yang menentukan nasibnya. Bukan hanya karena tikungannya yang sedikit tajam tapi juga karena jalan yang semakin menyempit sementara di sisi lain jalan terdapat pemukiman warga yang berada tak jauh dari jalan.

Hanya ada dua pilihan jika mereka berdua tak hati-hati ketika melewatinya. Pertama, mereka bisa meluncur masuk ke jurang. Kedua, menerobos pemukiman warga dan menyebabkan kerusakan.

Saat memikirkan strategi, tiba-tiba saja dari arah berlawan iring-iringan truk bermuatan melewati mereka. Kedua orang itu terkejut tapi tak satupun dari mereka berusaha untuk mengalah.

"Kau akan menginjak pedal rem, bukan?" goda J-Hope.

Hoshi mempertimbangkan langkah selanjutnya, namun yang benar-benar ia pikirkan adalah dirinya tak boleh kalah dari J-Hope. Hoshi membawa mobilnya lebih melebar ke arah kiri, hingga menyisakan jarak kecil antara mobilnya dan jurang bukan tanpa alasan. Sebuah truk tiba-tiba mengambil jalurnya untuk mendahului truk lainnya.

Dengan kecepatan tinggi, Hoshi tetap menjalankan mobilnya meski ban kiri belakangnya tak lagi menyentuh aspal. Saat ia berhasil melewati truk itu, Hoshi menstabilkan mobilnya kembali dan melaju seolah tak terjadi apa-apa.

J-Hope menghentikan laju mobilnya sesaat, ia menyaksikan bagaimana Hoshi melewati rintangan yang sulit. Setelah melihat mobil Hoshi kembali stabil, J-Hope melanjutkan perjalanannya.

"Apa dia benar-benar ingin menang? Dasar sinting." J-Hope tertawa lalu kembali melanjutkan perjalanannya, namun tak melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi seperti sebelumnya. Selama sisa perjalanannya, ia hanya tertawa setiap kali mengingat Hoshi melaju dengan mulus dan tanpa ragu.

Puncak Gunung Daeguk sudah di depan mata, Hoshi terus melaju hingga ia benar-benar berada di puncak. Setelah mematikan mesin mobilnya, ia keluar dan langsung tertawa kencang. Hoshi tertawa karena sadar dirinya masih hidup dan ia sampai lebih dulu.

"Hahaha… Woaaahh… Aku yang menang?! Benar aku, kan?" Napas Hoshi mulai tersengal karena tawanya masih berlanjut.

Mobil J-Hope terlihat, Hoshi melambaikan kedua tangannya berlawanan arah menandai keberadaannya pada J-Hope.

J-Hope keluar dari mobil, "Anda lihat? Aku yang menang, bukan?" Hoshi langsung menghampiri J-Hope dengan wajah gembiranya.

"Ya, kau menang." Raut wajah J-Hope tak terlihat kecewa. Ia bahkan terlihat senang atas kemenangan Hoshi.

"Anda tak terlihat kecewa… Ah sudahlah, yang penting aku menang dan aku menang dari pembalap F-1. Hahaha." Hoshi benar-benar melarutkan dirinya dalam kegembiraan.

"Tapi ada yang mengusikku. Kenapa malah ambil kiri? Kalau kau langsung ambil ke kanan, bukankah itu lebih baik? Kau hanya akan menabrak beberapa rumah warga." J-Hope duduk di atas kap mobilnya dengan melipat kedua tangannya di dada menunggu Hoshi menanggapinya.

"Jika akhirnya aku masuk ke jurang, orang tuaku hanya kehilangan aku saja. Bayangkan jika aku menabrak beberapa rumah warga, aku tidak tahu berapa banyak keluarga yang akan kehilangan anggota keluarganya, belum lagi aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku. Dan… apa setelahnya aku bisa melanjutkan hidupku?" jawab Hoshi santai.

Namun jawaban Hoshi tak diterima J-Hope dengan santai, ia merasa seperti tertampar karena pemikiran Hoshi yang lebih dewasa dari umurnya.

"Karena aku menang, aku akan minta hadiahku." Ucap Hoshi.

"Oh, hadiah… Kau benar-benar ingin keluar dari Keimyung?" tanya J-Hope setelah sadar dari lamunnya.

"Tentu saja. Aku harus keluar dari Keimyung University tanpa penolakan dari sekolah manapun. Aku benar-benar tidak bisa hidup tanpa uang dari Ayahku." Jawab Hoshi.

J-Hope hanya menatap Hoshi.

* * *

Jun melihat Jin mengantar Ming Hao dan kedua orang tuanya melewati pintu utama Keimyung University, ia bergegas mendekati Jin saat mobil yang berpenumpang Ming Hao dan kedua orang tuanya melaju jauh.

"Itu The8, kan?"  tanya Jun.

Jin hanya menatapnya tanpa menjawab.

"Mau kemana mereka?" tanya Jun kembali.

Lagi. Jin tak menjawab, ia melangkah melewati Jun.

"HEI! AKU SEDANG BERTANYA." Teriak Jun yang menghentikan langkah Jin.

Pria yang ditanyai Jun tak menoleh apalagi membalikkan badannya, "Ke China." Jawab Jin.

"Tidak! Tidak boleh! Aku harus menghentikannya." Jun mulai panik setelah mendengar jawaban Jin.

"Biarkan dia menyelesaikan masalahnya, Jun." cegah Jin dengan menarik lengan Jun saat anak muda itu hendak berlari.

"Tidak. Dia tidak akan sanggup. Anak itu terlalu bodoh. Aku harus menghentikannya. Lepaskan… biarkan aku mengambil kunci mobil dan mengejarnya." Jun berusaha melepaskan pegangan tangan Jin di lengannya, tapi Jin semakin mengeratkan pegangannya.

"Dia harus menyelesaikannya supaya bisa kembali." ucap Jin.

"Ssaem, anda tidak mengerti. Anda tidak tahu apapun tentang The8 dan masalah ini. Kumohon, biarkan aku mengejarnya." Jun masih terus berusaha melepaskan pegangan Jin.

"Atau biarkan aku membantunya. Lepaskan pegangan ini, Ssaem. Dia bisa saja masuk penjara. Kumohon… Jika kau tidak mau melepaskan pegangan ini, setidaknya pergilah bersamanya, Ssaem. Hiks." Jun mulai terisak, ia tak lagi berusaha melepaskan pegangan tangan Jin di lengannya.  Kepalanya bahkan mulai menunduk menyembunyikan air matanya.

Bersambung .....