Semua orang sudah masuk ke dalam ruangan yang menjadi sumber ledakan. Tae Hyung melipat kedua tangannya di depan dada sambil tersenyum, yang lain mematung karena asap yang mengepul di langit-langit ruangan sementara Dino menganga karena terkagum-kagum pada apa yang baru saja terjadi di ruangan itu.
"DAEBAK!!!" kata pertama yang keluar dari mulut Dino dengan tubuh yang masih tak berkutik dari tempatnya. Ia masih belum menyadari situasi saat ini.
"Uhuk-uhuk." Suara batuk dari beberapa orang yang ada dalam ruangan itu sambil mengipasi asap yang menyebar dengan tangan kosong.
Dino melihat bahwa ruangan itu sudah ramai, "Kalian lihat itu? Kalian lihat, tidak? Whoaaaa." Masih dengan kekaguman yang memuncak.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Pimpinan Song yang menyisir tubuh dua orang yang berdiri berhadapan di depan labu Erlenmeyer yang tersangga di atas kaki tiga.
Tae Hyung mengedikkan bahu sambil menunjuk Dino dengan matanya dan tersenyum melihat muridnya larut dalam kekaguman.
"Tae Hyung Ssaem bilang kalau dia akan mencampur cairan ini dan ini yang akan menyebabkan ledakan besar tapi tidak ada yang akan rusak atau hancur bahkan terluka karena ledakan itu. Aku tidak percaya awalnya tapi Tae Hyung Ssaem mencampurnya dan BUM! Meledak tanpa ada yang rusak, hancur atau luka." Cerita Dino.
"Hyung, aku suka tempat ini." lanjut Dino yang menunjukkan keantusiasannya pada Jun.
Jun menatap sendu melihat reaksi Dino, sepertinya hanya Dino yang menyukai sekolah ini dan akan bertahan.
"Apa… Hoshi benar-benar tidak kembali?" celetuk seseorang yang baru bergabung karena keramaian di ruangan itu.
"Kau? Kenapa malah bertanya? Harusnya aku yang menanyakannya." Pimpinan Song berbalik untuk melihat orang bertanya.
"Aiiisshh. Belum sempat mengatakan apapun, dia sudah masuk lagi ke mobil, lalu meninggalkanku. Hanya sedikit yang bisa kudengar semalam, Fiona." Jelas J-Hope.
"Fiona?" ulang Jun.
Semua mata memandang Jun yang tertegun, "kau tahu sesuatu?" tanya J-Hope langsung menerobos keramaian mengambil tempat di depan Jun.
"Jika memang Fiona alasannya, aku bisa mengerti." Ucap Jun lemah.
"Ya~ kau tidak menjawab pertanyaanku. Siapa Fiona?" ulang J-Hope.
"Fiona adalah anak perempuan Hoshi." Jawab Pimpinan Song. Jawabannya membuat semua yang berada di sana terbelalak, tentu kecuali Dino dan Jun. Mereka hanya menunduk sedih mengingat Hoshi dan Fiona.
"Ba-bagaimana bisa? Apa dia sejago itu?" celetuk Do Kyeom.
"Bukan seperti itu… aku lupa memberitahu kalian. Fiona adalah pasien Kanker Otak yang disayangi Hoshi." Jawab Sekretaris Lee.
"Jadi, Schwert dikenal sebagai anggota gank yang selalu menghambur-hamburkan uang dengan membeli barang-barang mewah. Orang-orang akan berpikir, mereka hanyalah anak kaya yang tak mengerti sulitnya mencari uang tapi sebenarnya, barang-barang yang mereka beli dengan uang kiriman dijual kembali dengan harga yang sesuai. Uang-uang yang mereka dapat dari penjualan barang itu, mereka berikan secara tuna ke sebuah yayasan yang menampung anak-anak penderita kanker. Di sanalah, Hoshi bertemu dengan Fiona." Lanjut Sekretaris Lee.
"Fiona memberi kesan tersendiri pada Hoshi Hyung, terlebih karena Hyung merasa mereka memiliki nasib yang sama." sambung Dino.
"Nasib yang sama? Ya ampun! Bisakah kalian tidak menjelaskan sepotong-sepotong?" geram J-Hope.
RapMonster mendaratkan tangannya ke bahu J-Hope dan memberikan tekanan agar temannya itu tidak panik.
"Maksudnya, baik Hoshi dan Fiona adalah anak-anak yang sengaja dibuang oleh orang tuanya." Jawab Jun dengan nada pilu karena bayang-bayang Hoshi dan Fiona muncul dalam ingatannya.
"Dibuang?" ulang S.Coups.
"Hoshi adalah anak di luar nikah tuan Takamura dengan perempuan korea yang bekerja sebagai PSK. Awalnya Ayah Hoshi tidak mengetahui mengenai perihal Hoshi, juga karena status ibu Hoshi yang PSK sehingga sang ibu tidak ragu membuang Hoshi kecil. Hoshi kecil ditemukan oleh wanita China, kemudian membawanya ke Shenzhen. Aku mengenalnya dengan nama Li Xuen. Baru tiga tahun terakhir, Ayah Hoshi mengakui keberadaannya. Ayahnya memaksa Hoshi untuk pindah ke Jepang dan mengganti namanya menjadi Takamura Hoshi. Ayahnya memberikan kemewahan pada Hoshi yang sebelumnya tak pernah dirasakan Hoshi. Berbekal kemewahan dari ayahnya, Hoshi kembali ke Korea dengan alasan melanjutkan sekolah. Padahal ia ke Korea untuk mencari ibu kandungnya, kemudian kami bertemu dengan Hoshi dan berteman sampai saat ini." cerita Jun.
"… Dan seperti yang Dino bilang tadi, Fiona memberi kesan tersendiri bagi Hoshi, karena itu juga Hoshi tak menolak dipanggil Daddy oleh Fiona." Sambung Jun.
Keheningan menyergap selama beberapa saat. Kelompok Blade dan Xifos memikirkan kembali hari-hari yang sudah mereka lewati. Schwert melewati hari yang lebih baik dari mereka. Jika Blade melewati hari-hari mereka dengan perkelahian merebut wilayah kekuasaan dan Xifos sibuk mengisi hari dengan percobaan kimia atau menyusun strategi bunuh diri, maka Schwert menghabiskan hari mereka untuk beramal.
"Ada pertanyaan-pertanyaan yang belum kami ketahui jawabannya, seperti meski cara kami salah apakah orang lain juga akan melihatnya sebagai kesalahan walaupun kami melakukannya untuk membantu orang lain?" Dino kembali bersuara.
"Kami tidak ingin masuk ke sini, tapi kami rasa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam hidup akan kami temukan di sini. Begitulah cara kami setuju. Geundae, Hyung… Tidak bisakah kita bertahan sampai mereka kembali dan kita menemukan jawabannya?" ucap Dino dengan suara sedikit bergetar. Jun yang berdiri di seberang hanya menatapnya sendu.
* * *
Shenzhen, Cina.
"Chen Ming Hao, benarkah anda melakukannya?" tanya Hakim pada Ming Hao yang tertunduk di kursi pesakitan.
Jantung Ming Hao berdegup tak beraturan, telapak tangannya basah oleh keringat dan napasnya terdengar berat dan sulit.
"Chen Ming Hao? Silakan jawab pertanyaannya." Pinta Hakim pendamping, tapi Ming Hao tetap mengunci rapat mulutnya.
"Chen Ming Hao!" tekan Hakim pendamping.
"Se-sepertinya bu-bu-bukan aku." Ming Hao menjawab namun dengan terbata.
"'Sepertinya'? Apa kau tidak yakin dengan dirimu atau tidak yakin dengan tuduhan Jaksa?" tanya Hakim lebih detail.
Ming Hao mengedarkan matanya, menaruh sedikit harapan pada orang-orang yang dipandangnya. Mungkin akan ada bantuan untuk menjawab pertanyaan Hakim dengan yakin, namun hanya isakan tangis Ibunya yang memenuhi ruang sidang. Bahkan pengacara yang disewa keluarga Ming Hao tak bisa banyak membantunya saat ini.
Ming Hao menatap ke belakang, kepada orang-orang yang menghadiri sidangnya. Kemudian matanya memandang ke arah gadis yang menempatkannya pada situasi ini, Zhiang Tzuyu. Lama Ming Hao menatap Tzuyu yang hanya menunduk untuk menghindari tatapan matanya hingga harapannya menjadi kosong karena gadis itu tak bergeming.
Ming Hao berbalik dan duduk dengan wajah putus asa. Hanya tinggal menyebutkan nama pelaku yang sebenarnya tapi terlihat sangat sulit baginya.
"Aku… Aku lupa kejadiannya." Ucap Ming Hao dengan nada putus asa.
Tangisan Ibunya semakin terdengar perih karena jawaban Ming Hao.
"Bagaimana mungkin terdakwa melupakan kejadiannya?" protes Jaksa Penuntut.
"Kami akan mengganti pertanyaannya, Yang Mulia. Tertulis dalam BAP keluarga korban, terdakwa melakukannya tidak sendirian. Ada dua hingga tiga orang selain terdakwa. Siapa mereka?" sambung Jaksa Penuntut dengan tegas.
"INI FITNAH!" teriak Ibu dari Ming Hao dengan suara yang serak dan bergetar. Seketika ruang sidang menjadi riuh.
Hakim memukul palu, memperingatkan untuk tetap tenang di dalam ruang sidang.
"Yang Mulia, pada sidang sebelumnya. Saksi memberatkan dari pihak korban sudah menjelaskan kronologinya secara rinci dan diketahui terdakwa sempat melarikan diri ke Korea Selatan dan berganti nama untuk menghindari hukuman. Juga penting untuk kami mengkonfirmasi kembali pernyataan para saksi demi keadilan." Jelas Jaksa Penuntut yang membuat Hakim mengangguk setuju dan meminta Ming Hao untuk menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut.
"BUKAN AKU! SUDAH KUBILANG BUKAN AKU!!" teriak Ming Hao sambil menggebrak meja dengan tangan yang terborgol.
"Aku memang lupa kronologinya seperti apa, tapi aku ingat siapa pelakunya…" Ming Hao memutar badannya dan berhenti tepat di tempat Tzuyu duduk bersama keluargnya, "DIA!" Ming Hao membuat semua yang hadir terkejut.
Ming Hao menunjuk pria berpakaian rapi yang duduk di sebelah wanita yang memeluk Tzuyu.
"Apa maksudmu?! Aku pelakunya? Apa kau gila? Bagaimana mungkin seorang Ayah melakukan hal itu pada puterinya, apalagi aku adalah Ayah kandung Tzuyu. Yang Mulia, jatuhi saja dia hukuman seumur hidup agar ia merenungi kesalahannya seumur hidup!" sangkal pria itu yang ternyata adalah Ayah dari Tzuyu.
"Apa kau punya bukti? Kau saja lupa bagaimana kronologi kejadiannya. Akui saja perbuatanmu dan berhenti menyalahkan orang lain." ucap tuan Zhiang lantang.
Ming Hao menggeram. Ia menjambak rambutnya dan hendak berlari menyerang tuan Zhiang sebelum akhirnya petugas yang duduk di dekatnya menahan laju amarah Ming Hao. Sekali lagi, Ibu dari Ming Hao terisak semakin perih.
Tiba-tiba pintu ruang sidang terbuka, seseorang masuk dan berjalan menuju tengah ruang sidang, "Aku akan membuatnya mengingat kronologi kejadiannya." Ucapnya tenang.
Ming Hao menatap orang yang baru datang, Ssaem~ batinnya.
"Saya Seokjin, tenaga pengajar di Keimyung University juga seorang psikiater. Kehadiran saya di sini untuk mewakili pihak sekolah untuk mendampingi Chen Ming Hao sebagai pengacara, jika kedua orang tua Ming Hao mengizinkan." Jin menatap lembut wajah kedua orang tua Ming Hao dan dengan cepat kedua orang tua Ming Hao memberi izin pada Jin. Pengacara pendamping Ming Hao beranjak dari tempat dan bergabung dengan peserta sidang lainnya.
"Keimyung University?" ulang Hakim dan Jin mengangguk.
"Halo, aku Seokjin. Kau pasti Tzuyu." Jin menatap Tzuyu yang masih dalam pelukan ibunya dengan bahasa Mandarin yang lancar.
Setelah menyapa Tzuyu, Jin kembali menatap Hakim, "Saya bisa membuat kepingan ingatan Ming Hao yang hiking kembali, Yang Mulia."
Seisi ruang sidang memusatkan perhatiannya pada Jin yang terlihat yakin dengan ucapannya, "Caranya?" Hakim memecah keheningan.
"Hipnotis. Hanya jika anda mengizinkan saya melakukannya, Yang Mulia." Jawab Jin.
Hakim Ketua dan Hakim anggota saling memanda dan berdiskusi, kemudian memberi sinyal kepada Jin untuk melakukannya. Tuan Zhiang mulai terlihat gusar dan beberapa orang yang bersamanya tak kalah gusar.
Jin tersenyum lalu berjalan mendekati Ming Hao. Ia mengambil tangan Ming Hao yang gemetar dan sudah dipenuhi keringat, memandang Ming Hao dan mengangguk pelan seolah mengatakan semua akan baik-baik saja. Ming Hao balas membalas menggenggam erat tangan Jin.
"Ming Hao…" Panggil Jin pelan sambil menatap Ming Hao.
"Ssaem…" jawab Ming Hao tak kalah pelan.
"Percayakan padaku." Jin memindahkan tangannya dari tangan Ming Hao ke bahu muridnya itu. Ia memberi tekanan pada bahu Ming Hao.
"Kau hanya perlu mengikuti instruksiku. Hanya mendengarku, kau mengerti?" ucap Jin.
"Sekarang pejamkan matamu." Jin memulai instruksinya.
Tangan Jin masih berada di atas bahu Ming Hao, "Untuk orang yang kusentuh. Tarik napas dan keluarkan perlahan hingga kau merasa tubuhmu semakin rileks." Lanjut Jin.
Tubuh tegang Ming Hao mulai terlihat santai hingga akhirnya ia menyandarkan tubuhnya atas dorongan Jin yang pelan.
"Jika kau sudah merasa lebih rileks, sekarang apapun yang membuatmu khawatir, kau bisa menyimpannya dalam sebuah kotak. Apa kau melihat kotaknya?"
Ming Hao mengangguk pelan, "Kau bisa membukanya dan mulai menyimpan kekhawatiranmu di sana. Setiap kali kau menyimpan kekhawatiranmu, sebuah pintu akan hadir di hadapanmu. Apa kau bisa melihat pintunya?"
"Apakah ada pintu yang terlihat gelap dan paling ingin kau hindari untuk membukanya?" tanya Jin perlahan.
"Ada… Aku tidak ingin masuk ke sana, aku tidak tahu harus berbuat." tiba-tiba tubuh Ming Hao kembali menegang. Jin kembali menenangkan Ming Hao hingga muridnya kembali tenang.
"Kau sudah menyimpan semua kekhawatiranmu, jadi kau bisa masuk ke sana sekarang jika kau mau. Kau mau masuk ke sana kan, Chen Ming Hao?"
Ming Hao awalnya tampak ragu tapi kemudian dia mengangguk. Jin kembali membimbingnya untuk berjalan dan memegang knop pintu lalu memutarnya.
"Tidak terbuka, Ssaem. Terkunci." Adu Ming Hao.
"Kalau begitu, kita akan membukanya bersama. Satu… Dua…"
"Tiga." Ucap Ming Hao dan Jin bersamaan.
Jin menunggu ucapan Ming Hao selanjutnya, apakah ia berhasil membuka pintunya,
"Silau… Aku melihat diriku sedang tidur siang itu dengan jendela yang terbuka dan angin sepoi yang menyapu tirai…"
* * *
Dua tahun lalu. Shenzhen, 13 Mei 2032.
Ming Hao saat itu baru berusia 15 tahun. Aktivitasnya setiap hari hanya sekolah, pulang, mengerjakan pekerjaan rumah lalu tidur siang. Saat ini Ming Hao tengah tidur siang setelah selesai mengerjakan soal ujian yang dibawa pulang ke rumah, namun tiba-tiba sesuatu mengusiknya. Seseorang menekan-nekan hidungnya beberapa kali.
"Tzuyu? Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana— Oh kau masuk dari jendela lagi?" ucap Ming Hao yang langsung duduk setelah melihat gadis yang membangunkannya.
"Hehehe, menyenangkan masuk lewat jendela kamarmu." Jawab Tzuyu riang dengan senyum renyahnya.
"Anak perempuan tidak boleh masuk sembarangan ke kamar laki-laki. Orang lain akan berpikir yang tidak-tidak jika melihatnya."ucap Ming Hao yang disambut gelak tawa dari Tzuyu.
"Kau pikir, kau bisa melakukan apa padaku? Kau itu lebih seperti sahabat perempuan bagiku, bukan laki-laki. Tuan Puteri Ming Hao, hahaha." Ledek Tzuyu yang membuat Ming Hao memicingkan matanya kesal karena diejek.
"Terserah kau, lalu kenapa kau ke sini? Mengganggu saja." cibir Ming Hao yang kesal.
"Ya ampun, kau kesal, hihihi… Ayo main ke rumahku, ayahku membelikan game baru kemarin." Ajak Tzuyu.
"Game apa?" tanya Ming Hao malas.
"Makanya kita harus ke kamarku dulu."
"Kita? Kau gila! Kau melompati jendela kamarku saja sudah luar biasa, sekarang kau menyuruhku melakukan hal yang sama denganmu?" protes Ming Hao.
"Ya Tuhan~ Bukankah seharusnya aku yang mengomel karena hal ini? Hahaha…" jawab Tzuyu sambil tertawa melihat gelagapnya Ming Hao.
Ming Hao masih diposisinya saat Tzuyu mulai beranjak dan menarik lengannya sekuat tenaga. Gadis itu menyelinginya dengan omelan dan ejekan agar Ming Hao segera bangkit untuk mengikutinya. Karena yang menariknya adalah Tzuyu, tak butuh waktu lama bagi Ming Hao untuk akhirnya mengikuti Tzuyu hingga ke kamarnya.
Berbeda dengan Ming Hao dan Tzuyu yang akrab, kedua ayah mereka memiliki persaingan sepanjang hidup. Salah satu persaingan ketat mereka adalah memenangkan hati Ibunya Ming Hao.
Karena persaingan ini, sebenarnya Ming Hao dan Tzuyu tak diizinkan berteman satu sama lain. Takdir berkata lain, meski orang tua mereka tak mengizinkan, kedua anak muda itu selalu memiliki cara untuk kucing-kucingan mempertahankan pertemanan mereka.
Sibuk bermain membuat waktu berjalan dengan cepat, matahari sudah merendah di ufuk barat, bersiap untuk menenggelamkan dirinya dan berganti tugas dengan bulan. Suara mobil yang baru berhenti menyadarkan mereka akan waktu.
"Apa itu Papa dan Mamamu?" tanya Ming Hao panik.
"Aku rasa iya." Jawab Tzuyu sembari melihat jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore.
"Mama… Tzuyu… Papa pulang." teriak Ayah Tzuyu yang baru masuk ke dalam rumah.
"Bagaimana ini? Aku tidak mungkin keluar lewat jendela. Suaraku pasti membuat Papamu melihatku nanti." Ming Hao masih terlihat panik.
"Kau… Emm…" Tzuyu melihat sekitar. Saat ia menemukan lemari, Tzuyu segera menarik Ming Hao mendekat ke lemari, "Sembunyilah di sini dulu. Aku akan intip Papa sebentar, jika Papa sudah masuk kamar, aku akan memberimu kode. Kau bisa lari cepat kan, Ming Hao?" Tzuyu terkikik kemudian mendorong Ming Hao masuk ke dalam lemari sebelum mendengar komentar Ming Hao.
Saat Tzuyu menutup pintu lemarinya yang ternyata tak tertutup rapat karena di saat yang bersamaan pintu kamarnya juga terbuka dan membuat Tzuyu juga Ming Hao yang berada di dalam lemari terkejut dan mematung, bahkan Ming Hao menutup mulutnya agar tak menimbulkan suara.
"Tzuyu, dimana Mama? Apa Mama belum pulang?" tanya sang Ayah yang masuk ke kamar Tzuyu dan langsung duduk di atas ranjang puterinya.
"Mama tidak bersama Papa? Kalau begitu, Mama belum pulang." jawabnya ringan.
Mata sang Ayah tak berhenti memandangi tubuh Tzuyu. Entah apa yang membuatnya melihat Tzuyu berbeda dari biasanya. Ayah Tzuyu memanggil Tzuyu untuk duduk di sebelahnya. Dress kuning muda yang dipakainya terlihat lebih pendek saat Tzuyu duduk. Ayah Tzuyu membelai rambut puterinya dengan lembut, ia mulai mencium semilir rambut Tzuyu yang tersurai panjang. Saat sang Ayah mendaratkan tangannya di atas paha, Tzuyu langsung berdetak menangkap keganjilan yang terjadi dengan Ayahnya.
"P-papa mau teh?" Tzuyu akan berdiri namun gerakan cepat tangan sang Ayah menahannya untuk berdiri. Wajah Tzuyu mulai memucat.
Dari balik pintu lemari yang terbuka sedikit itu, Ming Hao dengan jelas melihat yang terjadi antara Tzuyu dan Ayahnya. Meski merasa ganjil namun sisi lain dirinya membuatnya kembali berpikir mungkin memang seperti ini kasih sayang seorang Ayah terhadap anak perempuannya, ia saja yang tak tahu karena ia tak punya saudara perempuan.
Ayah Tzuyu bertindak makin berani, ia menarik wajah Tzuyu untuk menghadapnya dan segera melumat bibir cherry Tzuyu dengan buas, tak memberi Tzuyu ruang untuk bernapas. Rontaan Tzuyu malah membuat Ayahnya semakin jadi, Tuan Zhiang berdiri dan mendorong Tzuyu hingga gadis dengan wajah yang sudah basah karena air mata, tertidur di atasnya. Selanjutnya yang terjadi, Tuan Zhiang melucuti pakaian Tzuyu dan meniduri puteri kandungnya sendiri.
Ming Hao menyaksikannya, ia bahkan tak berkedip karena terkejut atas apa yang dilihatnya. Ia mendengar rintihan Tzuyu yang meminta tolong, bahkan Ming Hao menyadari tangan Tzuyu yang terulur seolah meminta pertolongan padanya. Namun, Ming Hao hanya anak muda yang berusia 15 tahun saat itu, ia tak mampu berbuat apa-apa dan hanya terpaku menyaksikan kebejatan Tuan Zhiang terhadap Tzuyu, puterinya sendiri.
Tuan Zhiang menyadari bahwa ada orang lain dalam ruangan itu dari mata Tzuyu yang terus memandang lemari. Bukannya takut, Tuan Zhiang malah melanjutkan aksi bejatnya hingga puas lalu pergi dari kamar Tzuyu setelah mencium lembut kening puterinya yang sudah ketakutan dan terkulai lemas. Sebelum pergi, ia melirik ke arah lemari dan tersenyum licik.
Ming Hao berlari keluar setelah yakin Tuan Zhiang tak kembali. Ia segera mengunci pintu dan menyelimuti Tzuyu yang terus menangis lemah. Tak berani menyentuh Tzuyu, ia hanya memandangi wajah Tzuyu sambil terus bergumam kata maaf.
Di luar, Tuan Zhiang yang mendengar pintu kamar Tzuyu terkunci segera bergegas meminta bantuan tetangga untuk mendobrak pintu kamar Tzuyu. Ia mengatakan puterinya terkunci bersama seorang pria di kamar dan mendengar teriakan dari dalam kamar yang ia yakini sebagai suara puterinya.
Pintu kamar terbuka dan Tuan Zhiang bersama tetangga menemukan Tzuyu yang menangis dalam keadaan meringkuk dengan tubuh yang berbalut selimut, Ming Hao sendiri hanya berdiri memandangi Tzuyu. Tuan Zhiang yang berlagak marah, membuat para tetangga yakin bahwa Ming Haolah yang memperkosa Tzuyu, Ming Hao mengelak yang justru mendatangkan amukan massa kepadanya hingga akhirnya Ming Hao dilaporkan ke polisi.
Tzuyu mengalami trauma psikis yang membuatnya berhenti bicara untuk waktu yang tak bisa diprediksi. Ming Hao banyak terluka karena pukulan dari massa yang mengamukinya, sedangkan Tuan Zhiang sibuk menghancurkan semua bukti yang mengarah padanya dan membuat bukti baru yang mengarah pada Ming Hao.
Ming Hao pergi ke Korea Selatan setelah semua luka di tubuhnya sembuh. Nekat ke Korea Selatan mengikuti Jun karena rasa takut dan rasa bersalah yang menghantuinya, Ming Hao sampai mengganti namanya menjadi The8 agar orang-orang di Schenzhen tak bisa menemukannya.
Ming Hao menceritakan semuanya sambil terisak dan air mata yang terus mengalir tanpa ia sadari, semua yang hadir akhirnya mengerti apa yang terjadi sesungguhnya. Tekanan batin akibat rasa bersalah dan ketakutan membuat otak Ming Hao memilih untuk melupakan beberapa kejadian yang terjadi saat itu.
Tanpa Ming Hao sadari, napasnya kini terhela panjang bersamaan dengan dadanya yang tak lagi terasa sesak. Jin menangkap perubahan itu, ia tersenyum tipis dan mulai mengarahkan Ming Hao kembali sadar. "Ssaem~ hiks…"
Jin memeluk Ming Hao sambil terus menepuk pundak Ming Hao, "Tidak apa, Ming Hao. Semuanya baik-baik saja sekarang."
"Yang Mulia, anda telah mendengar sendiri bagaimana kejadian yang sebenarnya. Ming Hao bukan pura-pura lupa tapi alam bawah sadarnya memilih untuk mengunci ingatan itu rapat-rapat. Nona Zhiang Tzuyu juga mengalami pukulan mental yang hebat seperti halnya yang terjadi pada Ming Hao, tapi Nona Zhiang memilih untuk mengunci rapat mulutnya. Keduanya berada di ambang depresi yang sama, saya yakin pikiran untuk mengakhiri hidup pernah terlintas di benak mereka. Sementara kedua anak muda ini berperang dengan keadaan dalam dirinya, pelaku mungkin tengah menyusun rencana baru untuk menyiksa batin Tzuyu dan melimpahkan kesalahan pada Ming Hao." Ucap Jin di depan para Hakim dengan mata yang melirik ke tuan Zhiang.
"Apa maksudmu? Kau benar-benar menuduhku? Yang Mulia, metode hipnotis mereka tidak bisa diterima. Bagaimana jika mereka sudah merencanakannya sebelum masuk ke sini? Tuduhan mereka terhadapku benar-benar tidak masuk akal." Elak tuan Zhiang menggebu.
"Kau mau aku mencobanya pada Nona Tzuyu? Atau mungkin… padamu?" tantang Jin pelan.
Tuan Zhiang mencoba menyembunyikan ketakutannya, "Lakukan padanya. Aku yakin jawabannya sama, anak muda itu yang melakukannya!"
"Sebagai informasi, hipnotis bukan hanya mengembalikan kenangan tapi juga melihat kejadiannya sekali lagi. Jika Nona Tzuyu melakukannya, bayangkan ia harus melihat dirinya diperkosa lagi oleh si pelaku. Apa anda yakin akan melakukannya?" papar Jin.
"Aku tidak peduli! Aku yakin bukan aku pelakunya."
Plak!!
"Bagaimana bisa kau setega itu pada puterimu?! Apa kau yakin bukan kau pelakunya? Pasti kau pelakunya! Dasar bajingan!!"
Tamparan keras yang mendarat di wajah Tuan Zhiang berasal dari isterinya dengan wajah yang sudah basah. Wanita itu tak lagi bisa menahan amarahnya, ia memukul dada suaminya berkali-kali sambil menyumpah serapahi suaminya.
Tuan Zhiang meraih kedua lengan isterinya, "Sudah kukatakan ini fitnah! Mereka ingin menjebakku."
Hakim melanjutkan persidangan, "Nona Zhiang, saya akan bertanya sekali lagi. Apakah saudara Chen Ming Hao yang melakukannya?"
Tzuyu menunduk dengan jemari yang saling menekan. Air matanya tak berhenti mengalir saat ingatannya kembali ke Ming Hao yang begitu menderita saat dipukuli padahal bukan dia pelakunya.
"Nona Zhiang…?" Panggil Hakim sekali lagi.
Tzuyu memberikan reaksinya, ia menggeleng pelan. Jin tersenyum lega sembari memandang Ming Hao yang masih menunduk. Para Hakim mengangguk, kemudian mulai berdiskusi, sementara tuan Zhiang terduduk lemas dengan jawaban Tzuyu.
"Dengan jawaban yang diberikan Nona Zhiang, maka tidak ada alasan bagi kami untuk menjatuhkan hukuman kepada Chen Ming Hao. Oleh karena itu, saudara Chen Ming Hao dibebaskan dari segala tuntutan."
Hakim mengetuk palu tiga kali menandakan keputusannya bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Ibu dari Chen segera menghambur memeluk anaknya erat. Beban puteranya kini telah sirna, yang ia harapkan setelah ini hanyalah kebahagiaan bagi Ming Hao.
Petugas pengadilan menangkap tuan Zhiang dan menahannya. Tzuyu masih menangis dalam pelukan sang ibu, perasaannya campur aduk.
Ming Hao menatap Jin yang seolah mengerti arti tatapan Ming Hao. Keduanya berjalan menuju tempat Tzuyu. Jin berdiri di belakang Ming Hao, sementara Ming Hao berlutut di depan kursi roda Tzuyu, "Maafkan aku." Ucapnya pelan.
"Maaf jika ini menyakitimu, Tzuyu." Ming Hao kembali terisak di hadapan Tzuyu.
"Maaf karena tidak segera mengakhiri semuanya, dan juga terimakasih karena sudah bertahan hingga saat ini. Aku tidak akan mengampuni diriku jika terjadi sesuatu padamu. Hiks…" sambungnya.
"Te-rima kasih, Ming-hao." Ucap Tzuyu lemah.
Suara Tzuyu yang lemah telah mengejutkan sang Ibu, Ming Hao dan Jin. Sejak kejadian itu, Tzuyu mengunci mulutnya dengan berhenti bicara, apalagi saat itu Ming Hao pergi tanpa berpamitan dengannya. Kini saat semua berakhir dan Ming Hao kembali, Tzuyu membuka mulutnya untuk pertama kali dalam dua tahun terakhir.
"Tzuyu…"
"Maaf karena tidak bisa membelamu saat itu, hiks…"
"Tidak apa, Tzuyu. Semua sudah berakhir." Tenang Ming Hao dengan menggenggam tangan Tzuyu.
"Aku takut… Aku takut jika nanti melihat Ibu menangis." Lanjut Tzuyu.
"Aku mohon jangan membenciku lagi, Ming Hao. Jangan tinggalkan aku lagi. Sekarang aku hanya punya kau dan ibu. Hiks… Jangan membenciku… Maafkan aku." Tzuyu semakin menenggelamkan kepalanya dan terus menangis.
Reflek Ming Hao memeluk Tzuyu. Pelukan menjadi satu-satunya pilihan yang ada untuk menggambarkan kehidupan berat yang mereka jalani di usia muda. Air mata keduanya yang mengalir adalah beban yang mereka lepas bersama, beban yang seharusnya sudah mereka lepas dua tahun lalu.
Hidup adalah tentang memilih. Memilih jalan mana yang benar dan salah. Ming Hao dan Tzuyu mengajarkan tentang hidup berempati. Saling mengerti meski awalnya menyakitkan. Memiliki masalah dalam hidup artinya kita berada dalam tahap memilih untuk menghadapinya dan menjadi dewasa atau lari untuk menghindarinya dan tak pernah tahu cara menghadapinya.
Apakah Ming Hao akan kembali ke Keimyung University bersama Jin atau menetap di Schenzhen bersama Tzuyu?
* * *
Keimyung University.
Jun tengah membersihkan kelas bersama siswa yang lain, saat matanya menemukan sebuah mobil sport memasuki halaman sekolah. Ia menghentikan pekerjaannya untuk memperhatikan orang yang akan keluar dari mobil itu.
Saat ia menemukan sosok yang ia kenal, "Hoshi?" bisiknya.
Seketika Jun langsung berlari meninggalkan kelas, ia berlari menuju Hoshi yang berjalan bersama dengan J-Hope.
"Hoshi!!" Panggilnya.
"Jun…" balas Hoshi dingin.
Jun berhenti tepat di depan Hoshi, namun temannya berjalan melewatinya diikuti J-Hope yang tak membuka mulutnya.
"Hoshi…" Jun menahan lengan Hoshi hingga langkah Hoshi terhenti.
"Fiona…?" tanyanya ragu.
Hoshi tak mengalihkan pandangannya ke Jun dan malah menunduk. Isakan kecil terdengar dan berasal dari Hoshi, Jun segera berdiri di depan Hoshi menunggu jawaban dari temannya.
"Meninggal." Jawab Hoshi di tengah isakan tangisnya. J-Hope menaruh tangannya di atas bahu Hoshi dan memberikannya tekanan.
Bersambung ...