Chereads / Catatan Cerita / Chapter 44 - Catatan 43: Berlian

Chapter 44 - Catatan 43: Berlian

Bel istirahat berbunyi, Sashi dan Rhea langsung menyeret Sheren menuju taman belakang sekolah. Sedangkan yang diseret hanya bisa pasrah. Sheren tidak memiliki cukup tenaga untuk melawan Sashi dan Rhea, terlebih lagi dia mengalami kelelahan parah.

"Coba sini cerita, kenapa kamu terlihat lesu akhir-akhir ini?" Sashi langsung bertanya tanpa basa-basi saat mereka bertiga sudah tiba di taman belakang.

"Aku enggak apa-apa kok, beneran," bantah Sheren.

"Ck, kamu kira kami bodoh? Kami tahu bahwa kamu kelelahan karena wajahmu menyiratkan ekspresi itu," timpal Rhea. Rhea dan Sashi merasa gemas dengan ucapan Sheren.

"She, kami tahu bahwa kamu adalah pribadi yang tertutup. Tapi, kamu tidak sendirian She. Kamu memiliki banyak teman dan orang-orang yang sayang padamu," imbuh Rhea. Gadis berambut coklat itu mengusap lembut surai hitam panjang milik Sheren.

Mendengar hal itu membuat Sheren tak berkutik. Akhirnya, dia berkata, "Aku akan melangsungkan debutku bersama Golden Team. Tapi, kalian tahu? Aku merasa bahwa tempat ini seharusnya bukan miliku. Aku diharuskan bisa menari, padahal aku tidak bisa menari. Aku memiliki banyak orang yang membenciku, walau aku tidak kenal mereka. Aku juga merasa terisolasi dari dunia luar."

"She, aku tahu bebanmu berat. Bakatmu yang besar datang bersamaan dengan tanggung jawab yang besar. Tapi, satu hal yang perlu kamu ingat adalah kamu tidak sendirian. Ada kami di sini yang selalu siap menopangmu," ucap Rhea.

Sashi mengangguk setuju. "Rhea benar, kita bukan hanya sekedar sahabat. Kita adalah keluarga. Sudah sepatutnya kita saling menopang dan menjaga."

Sebuah senyum terbit di bibir Sheren saat dia mendengar kalimat-kalimat dari teman-temannya. Sashi dan Rhea benar, dia tidak sendirian dan dia memiliki cinta yang melimpah dari kedua temannya ini. Seperti kata Lucas, cinta adalah hal yang paling berharga di dunia ini.

***

Adeline merangkul bahu Sheren saat bel pulang sekolah telah berbunyi. Gadis cantik berpipi bulat itu menatap Sheren dengan binar riang. "Hari ini kita latihan orkestra bersama kan?"

Sheren mengangguk. "Iya, jadwalku hari ini hingga sore adalah berlatih orkestra bersama kamu." Mendengar kalimat Sheren, Adeline segera menyeret Sheren dengan langkah riang. Sebuah pertanyaan melintas di benak Sheren. Jika dipikir-pikir, teman-temannya hari ini memang hobi sekali menyeretnya ya?

Kini, mereka telah tiba di gedung orkestra. Kendati Adeline dan Sheren tiba bersama di gedung orkestra, mereka tetap menaiki kendaraan masing-masing dalam perjalanan menuju ke mari. Dan tidak ada yang spesial dari perjalanan Sheren menuju gedung orkestra, karena dia menghabiskan waktu di perjalanan dengan tidur siang yang pulas. Sheren kini telah duduk manis di depan piano, dia tengah melakukan pemanasan agar jari jemarinya tidak kaku dan mengalami kram. Dengan acak, dia memainkan tuts-tuts hitam putih itu untuk pemanasan. Namun, nada-nada yang terdengar dari tuts-tuts itu tetaplah indah walau Sheren memainkannya secara acak.

"Kamu tidak berniat bergabung bersama kami?" tanya Concertmaster yang tengah bersiap untuk memulai latihan. Concertmaster orkestra ini adalah Aldy Muhammad. Pemuda berusia 23 tahun yang berprofesi sebagai pemusik. Dia piawai memainkan biola dan telah memiliki pengalaman bermain musik di banyak acara penting di dunia.

Sheren tertawa mendengar pertanyaan Aldy. "Aku baru saja akan memulai debutku sebagai anggota grup idola Kak. Mana bisa aku memutuskan untuk bergabung dengan grup orkestra kalian?"

"Tapi, semangat dan dedikasimu pada musik klasik masih sama seperti dulu," sahut Clara.

Aldy mengangguk setuju dengan pernyataan sang konduktor. "Tapi Ra, aku justru merasa kemampuan Sheren dalam bermusik semakin baik dari hari ke hari."

"Benar, dia tidak terdengar kosong saat pemanasan. Nada-nada yang dia mainkan saat pemanasan sudah terdengar hidup. Dulu, nada-nadanya terdengar hidup hanya saat dia bermain serius. Tapi kini tidak," angguk Clara.

Mendengar ucapan Clara dan Aldy membuatnya tercenung. "Aku dulu seperti itu?" tanya Sheren memastikan hal itu pada dua rekannya.

"Hingga kompetisimu yang terakhir memang iya," jawab Aldy. Pernyataan Aldy dan Clara seolah-olah menyalakan bohlam ajaib di kepala Sheren.

"Oke semua, ayo mulai latihan!" Clara lalu memberi aba-aba agar seluruh anggota orkestra bersiap-siap.

***

Ruang latihan Golden Team sangat sepi. Hanya ada Sheren di sana. Tentu saja ruang latihan ini sudah sepi karena jadwal latihan para anggota sudah selesai dari tiga jam yang lalu. Namun, Sheren harus latihan seorang diri karena jadwal latihan orkestranya membuatnya tidak bisa bergabung dengan yang lain. Dan tentu saja dia tidak mendapat keringanan berlatih. Sedangkan dia baru selesai berlatih orkestra pada pukul 23.00. Waktu latihan diperpanjang mulai hari ini atas permintaan pihak penyelenggara.

Sheren menggerakkan tubuhnya sesuai dengan video yang dia putar dari ponsel miliknya yang dia sangga dengan tripodnya. Tubuhnya pun mulai bisa menyesuaikan dengan irama yang keluar dari speaker ruang latihan. Suasana malam yang nyaris berganti dengan pagi beberapa jam lagi tidak dia hiraukan.

Setelah mengulang tarian itu sebanyak empat jam, Sheren memutuskan untuk beristirahat. Sebentar lagi, matahari akan terbit. Dan Sheren sama sekali belum tidur. Jadi, dia memutuskan untuk berkemas dan bersiap pulang karena matanya sudah sangat mengantuk. Untuk hari ini, dia akan membolos sekolah.

Pintu ruang latihan dibuka dari luar saat Sheren tengah berkemas. Bu Winona terkejut saat mendapati Sheren masih berada di ruang latihan pada pukul 04.00 pagi hari. Begitu juga Sheren.

"Loh, Bu Winona masih di kantor?" tanya Sheren terkejut.

Bu Winona mengangguk. "Saya hari ini ada rapat penting terkait orkestramu pada pukul 07.00 pagi. Sehingga saya harus bersiap lebih awal."

"Tapi, masih ada banyak waktu sebelum waktu rapat dimulai."

"Dan membiarkan agensi lain menerkammu? Dalam industri ini, kita harus bersiap lebih awal agar tidak dimangsa oleh rival kita."

Mendengar penuturan Bu Winona membuat Sheren merinding. Dia jadi teringat pada Mama yang selalu berlatih dan bersiap-siap jauh lebih lama dari waktu pertunjukan diadakan. Jadi, ini sebabnya! "Oh ya Bu, saya boleh minta tolong?"

Bu Winona mengangguk. "Tentu, kamu mau minta apa?"

Sheren tersenyum lebar. Mendengar perkataan Bu Winona tadi, ditambah lagi dia teringat pada cara Mama bekerja plus perkataan Clara dan Aldy membuat Sheren kembali menemukan motivasinya dalam dunia musik. "Saya boleh pinjam ruang piano?"

"Kamu mau melakukan apa... Oh benar juga! Kemampuanmu yang paling menonjol adalah musik klasik dengan spesialisasi piano. Tentu, tentu. Kamu bisa menggunakan ruangan itu kapan saja. Saya akan minta Wendy untuk memberikan kunci cadangan ruang piano padamu."

Sheren berterima kasih pada Bu Winona karena sudah diizinkan menggunakan ruangan itu. Kemudian, dia pamit pulang pada Bu Winona.

***

Sheren baru saja keluar dari kamarnya. Dia masih merasa sangat mengantuk, namun perutnya terasa sangat lapar. Dia terkejut saat melihat Mama tengah duduk di ruang keluarga yang berada tepat di samping tangga.

"Loh? Mama kok di rumah?"

Mama tertawa mendengar celoteh si bungsu. Wanita cantik itu meletakkan partitur yang sedari tadi dipegangnya ke atas meja. "Mama kok merasa kamu enggak suka ya saat Mama di rumah?"

"Eiii bukan gitu, hanya saja rasanya aneh saat Mama berada di rumah. Mama kan jarang berada di rumah."

"She, kamu juga akhir-akhir ini jarang di rumah loh! Kamu lupa?"

Sheren terkekeh. "Tentu saja tidak. Maklum Ma, aku kan baru saja debut dan sedang berada di perjalanan merintis karier."

"Duduk sini. Makananmu sudah ada di sini," tunjuk Mama pada tudung saji yang berada di atas meja ruang keluarga. Sheren terkejut saat dia baru menyadari keberadaan tudung saji itu. Baiklah, sepertinya fokusnya berkurang hari ini. Sheren kemudian duduk di samping Mama, tangannya memegang piring berisi spageti.

"Habiskan dulu, setelah itu baru kita bicara."

Nada suara Mama yang terdengar sangat santai justru menimbulkan kecurigaan bagi Sheren. Nafsu makan Sheren menguap sudah, namun perutnya sangat lapar. Akhirnya, dia memutuskan untuk menghabiskan spagetinya.

"Bagaimana pekerjaanmu?" Pertanyaan itu dilontarkan Mama saat Sheren telah selesai makan. 'Sungguh pertanyaan yang tidak kenal tempat,' batin Sheren kesal. Gadis itu mengambil tisu dari atas meja, kemudian mengelap bibirnya. Dia sengaja tidak langsung menjawab pertanyaan Mama karena dia sedang menerka-nerka maksud Mama.

"Pekerjaanku menyenangkan, tapi satu yang pasti adalah aku merasa lelah."

Mama tersenyum mendengar itu. "Lelah fisik atau lelah mental?"

"Eh? Maksud Mama?" Sheren tertegun mendengar pertanyaan dari Mama. Gadis itu menatap Mama intens, mencari makna pertanyaan itu dari tatapan Mama. Namun, dia tidak menemukan jawabannya.

"Kamu lelah secara fisik akibat jadwal yang padat atau lelah secara mental akibat tekanan pekerjaan yang tidak ada habisnya?"

"Dua-duanya. Aku rasa, aku tidak pantas berada di posisiku sekarang." Akhirnya, Sheren mengutarakan isi hatinya selama ini. Dia lalu menceritakan semuanya pada Mama. Tentang Siska, Jasmine, Ivana dan tatapan penuh kebencian dari peserta pelatihan yang lain. "Dan mungkin, anggota tim ini juga membenciku."

"Kamu merasa tidak pantas berada di situ hanya karena perkataan mereka?" tanya Mama memastikan maksud si bungsu. Anggukan diberikan oleh Sheren. Mama tersenyum lembut, kedua tangannya memegang lembut kedua tangan si bungsu. "She, dengarkan Mama. Kamu bisa berada di titik ini karena usaha kerasmu yang tekun selama bertahun-tahun. Kamu memiliki bakat di bidang musik, dan kamu mengasah bakatmu di bidang musik dengan sangat baik. Kerja kerasmu tidak sia-sia, sayang. Hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Usaha kerasmu terbayar dengan debutmu."

"Tapi Ma, rasanya aku tetap jahat pada mereka. Mereka berlatih belasan tahun, sedangkan aku masuk ke perusahaan belum ada satu semester dan bisa debut. Kesannya, aku mencuri kesempatan dari mereka," sendu Sheren.

Mama mengusap rambut sang putri dengan lembut. "Kamu memang baru saja masuk ke perusahaan, tapi kamu berlatih musik sama lamanya dengan mereka. Bahkan kamu bisa saja lebih lama dari mereka dalam berlatih musik. Kamu bukan berlian yang masih bercampur dalam tanah saat kamu masuk ke perusahaan. Tapi kamu adalah berlian yang sudah jadi, dan perusahaan memberikan kalung emas terbaik sebagai wadah dari berlian itu."

Sheren termenung mendengar kalimat Mama. Mama memang benar, dia terlalu menyepelekan hasil kerja kerasnya selama ini.

***

Surabaya, 7 April 2020

Aku merasa jahat pada diriku sendiri, karena aku terlalu mengecilkan usahaku sendiri. Lantas, apa bedanya aku dengan mereka yang meremehkanku? Aku bahkan lebih jahat karena tidak mempercayai diriku sendiri.