Chereads / Catatan Cerita / Chapter 45 - Catatan 44: Debut

Chapter 45 - Catatan 44: Debut

Hari-hari Sheren semakin sibuk. Dia terus berlatih piano bersama Winter Orkestra, namun yang berbeda adalah dia sudah memulai debutnya. Video klip telah dirilis dan animo dari masyarakat sangat luar biasa. Ada banyak tawaran yang datang padanya saat dia baru saja debut. Namun, Sheren belum berani menerima semua tawaran itu. Sementara ini, dia hanya menerima tawaran pentas bersama Golden Team.

Hari ini adalah hari di mana untuk pertama kalinya Sheren melakukan penampilan bersama Golden Team secara langsung di atas panggung. Dan dia sangat-sangat gugup. Telapak tangannya sejak tadi terus saja berkeringat dingin. Mulutnya berkomat-kamit berusaha mensugesti dirinya sendiri agar tenang.

"Hei, kok melamun?"

Sheren mengangkat wajahnya yang sedari tadi menatap pahanya, kini beralih menatap Adinda. Gadis itu terlihat sangat cantik dengan mini dress berwarna biru yang dipadu dengan stoking hitam tebal. Sepasang kakinya mengenakan sepatu berhak tinggi berwarna biru. "Aku...tidak melamun," jawab Sheren terbata. Kini, seluruh perasaan gugup bercampur baur di benak Sheren dan membuat kepalanya terasa penuh.

Adinda duduk di samping Sheren, tangan kanannya mengelus pundak gadis itu dengan lembut. Sheren mengenakan pakaian bermodel sama dengan dirinya namun berbeda warna. Sheren mengenakan mini dress berwarna hitam yang senada dengan kostum panggung Shawn. "Kamu gugup?"

Sheren mengangguk. "Aku sangat gugup. Aku takut melakukan kesalahan dan justru merusak penampilan kita."

"Melakukan kesalahan adalah hal yang wajar dan manusiawi. Tidak masalah jika kamu melakukan kesalahan di panggung. Apalagi ini adalah hari debutmu," senyum Adinda. "Kamu tidak usah merasa bersalah jika kamu melakukan kesalahan."

Lionil melongokkan kepalanya ke dalam ruang ganti wanita setelah dia mengetuk pintunya dan dipersilahkan masuk. "Teman-teman, ayo! Sudah waktunya kita tampil."

"Oke!" jawab para gadis serempak kecuali Sheren. Adinda kemudian mengamit lengan Sheren dan menuntun gadis itu agar mengikuti dirinya. Sheren pasrah mengikuti Adinda sembari berdoa agar dia tidak melakukan kesalahan yang banyak.

***

Para penonton dan penggemar Golden Team bersorak riang saat kelompok itu telah menyelesaikan penampilan mereka. Golden Team menunduk serempak pada para penonton dan penggemar, kemudian berjalan meninggalkan panggung. Sheren merasa sangat bahagia saat dia berhasil debut dengan baik. Perasaan bahagia, lega, dan haru bercampur aduk hingga membuatnya menangis.

"Loh loh heh kok nangis?!" Lucas yang berjalan di samping Sheren sontak panik. Pemuda itu menatap wajah Sheren intens, meneliti setiap sudut wajah ayu yang tertutup dengan riasan gothic yang tebal. "Kenapa? Ada yang sakit?!"

Milka menggeser tubuh Lucas, gadis cantik itu lalu menarik Sheren ke dalam pelukannya. Tangan kanan Milka menepuk-nepuk punggung Sheren lembut, memberikannya ketenangan dan perlindungan yang aman.

Lucas yang masih kebingungan, kini menatap Adinda dengan tanya. Adinda tertawa melihatnya. "Ada banyak perasaan yang hanya bisa diungkapkan oleh air mata, Luc. Perasaan tidak semuanya mampu dibahasakan," senyum Adinda. Lucas mengangguk mengerti, kini dia paham. Bagi Lucas yang terbiasa menahan diri untuk tidak mengeluarkan perasaannya, air mata adalah hal yang jauh. Emosi yang melampaui batasnya.

***

Kini, para idola muda itu tengah berada di dalam mobil menuju bandara. Mereka akan pergi ke Jakarta untuk mempromosikan album baru sekaligus anggota baru mereka. Di mobil, Sheren mengompres matanya dengan es batu yang diletakkan dalam plastik. Sepasang mata indah itu bengkak. "Maaf ya karena aku menangis. Aku tahu itu adalah hal yang memalukan," cicit Sheren.

Reyna memeluk Sheren dengan erat. "Kak Sheren enggak boleh bicara begitu! Wajar kok jika Kakak menangis di hari debut Kakak. Aku juga menangis kok waktu dulu debut."

Sheren terdiam. Menangis memang bukan hal yang memalukan, namun menangis di depan banyak orang adalah hal yang terasa memalukan bagi Sheren. Manik mata Sheren menangkap kelelahan di gurat wajah Reyna, kemudian gadis cantik itu melepaskan pelukannya. Hal itu tentu saja membuat Reyna bertanya-tanya, "Ada apa Kak?"

"Enggak apa-apa. Kamu istirahat saja. Aku tahu kamu lelah," ucap Sheren lirih.

Reyna tersenyum, "Panggil aku jika terjadi sesuatu. Oke?" Lalu, Reyna menyandarkan kepalanya pada pundak Reinarth, kemudian dia terlelap menyusul saudaranya yang telah tidur lebih dulu. Kini, hanya tersisa Sheren dan pengemudi mobil ini yang masih terjaga. Sheren kemudian memasang headset yang dia sambungkan dengan ponselnya, kemudian sebuah lagu klasik mengalun lembut. Lagu klasik favoritnya. Suara yang mengalun lembut di telinganya membuat perasaannya nyaman.

***

"She? Sheren? Ayo bangun!"

Entah sudah berapa lama dia tertidur, namun Sheren merasakan seseorang mengguncang bahunya lembut. Secara perlahan, manik mata Sheren membuka. Manik mata itu mengerjap sesaat, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya secara tiba-tiba. Kini, dia bisa melihat wajah Milka yang berdiri di belakangnya dengan jelas. Wajah gadis itu menunduk menghadap Sheren.

"Engghhh...Sudah sampai Mil?"

Milka mengangguk. "Ayo turun, kita bisa ketinggalan pesawat jika tidak segera bergegas."

Sheren mengangguk. Dia bersiap turun. Sebelum itu, Sheren mengecek kondisi wajahnya, matanya sudah tidak bengkak. Penampilannya pun terkesan rapi dan menarik. Setelah dirasa cukup, Sheren lalu turun dari mobil diikuti oleh anggota lain. Mereka kemudian berjalan bersama-sama memasuki bandara.

"Wah, aku sungguh tidak sabar untuk segera tiba di Jakarta!" seru Reyna riang.

Michaelo mengangguk. "Aku juga. Aku sudah tidak sabar untuk mengistirahatkan punggungku di kasur hotel yang empuk."

"Bukan begitu Kak Elo! Aku mau segera sampai agar aku bisa segera berbelanja," bantah Reyna sedikit kesal.

"Belanja terus kamu ini! Jangan terlalu boros, Reyna," tegur Adinda.

Reyna mencebik. "Aku berbelanja untuk menikmati hasil jerih payahku. Lagian, aku gak keberatan kok jika aku harus menghabiskan seluruh gajiku untuk sebuah tas."

Reinarth menjitak pelan kepala adiknya. "Kamu ini! Kamu ingat kata-kata Bu Wendy? Kita bisa sukses dan menghasilkan banyak uang dalam sekejap, tapi kita juga bisa jatuh dalam sekejap! Dan uang kita tidak selamanya terus mengalir lancar seperti sekarang!"

Sementara itu, Sheren justru sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia tidak mendengarkan percakapan teman-temannya. Yang ada di pikirannya kini hanya satu, yaitu: piano baru. Sheren dengar dari Mama, ada sebuah toko alat musik yang menjual berbagai macam alat musik kualitas terbaik. Bahkan, piano yang Sheren gunakan di rumah berasal dari toko itu dan kualitas suaranya sangat baik.

"Sheren nanti mau ngapain di Jakarta sesudah manggung?" tanya Lionil.

Sheren tersenyum lebar sambil menatap Lionil. "Aku akan pergi ke toko alat musik."

Lionil tersenyum, teman-temannya ini memiliki pemikiran yang sangat berbeda-beda walau mereka berada di satu tim yang sama. Jika Reyna memilih menghabiskan gajinya dengan belanja tas, sepatu dan baju. Lain halnya dengan Sheren, dia menghabiskan gajinya untuk membeli alat musik yang bisa dia gunakan untuk jangka waktu lama.

***

Jakarta masih sama seperti yang diingat olehnya. Saat libur semester, Sheren sering berkunjung ke Jakarta untuk berlibur. Kemacetan dan suara deru kendaraan yang ramai menyambut telinga Sheren sesaat setelah mobil yang dia tumpangi berlalu meninggalkan bandara. Di dalam mobil mini bus itu, teman-teman Sheren sibuk bercanda satu sama lain. Hanya Sheren yang tidak ikut dalam candaan itu, gadis itu hanya menatap kosong pada jendela mobil yang menampilkan jalanan yang dipadati oleh kendaraan.

"Kamu kenapa? Kok diam saja?" Shawn penasaran, mungkinkah Sheren sakit? Atau dia mabuk darat? Tapi, mana mungkin dia mabuk darat?

Sheren yang duduk bersebelahan dengan Shawn kini mengalihkan atensinya pada Shawn. "Enggak, aku enggak apa-apa kok. Aku baik-baik saja. Hanya saja, ada sesuatu yang sedang kupikirkan."

"Apa ada yang mengganggumu?"

"Lebih ke pertanyaan untuk diriku sendiri. Aku tidak menyangka aku bisa ada di sini sekarang, bersama kalian. Rasanya, tidak pernah terpikir sekalipun di otakku untuk menjadi seorang penyanyi idola. Bagiku, kalian adalah orang-orang yang hidup di dunia yang berbeda denganku."

Shawn tersenyum. "Karena selama ini, kamu tidak pernah memikirkan masa depanmu dengan sungguh-sungguh."

"Aku memikirkannya kok, tapi aku berpikir untuk berhenti dari dunia musik dan memilih karier lain."

"Kenapa begitu?" Senyum di wajah Shawn luntur saat dia mendengar bahwa Sheren pernah memikirkan untuk berhenti dari dunia musik.

Sheren menghela nafas berat. "Aku hanya tidak ingin terus menerus berada dalam sangkar emas itu. Aku ingin sebuah kebebasan, dan keluar dari dunia musik serta memilih karier di bidang lain adalah solusinya. Tapi, aku sadar bahwa aku sama sekali tidak memiliki keahlian lain selain musik."

"Rasanya pasti capek sekali ya?"

Sheren tersenyum. Manik matanya kini menyorot kumpulan awan putih yang menggelayut di cakrawala biru ibukota negara ini. "Bukan hanya capek, aku ingin mati saja rasanya."

***

Jakarta, 27 April 2020

Hari ini akhirnya aku benar-benar debut secara resmi di panggung yang megah. Aku tahu euforia yang kurasakan ini terlalu dini, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak gembira. Dan aku juga sadar bahwa dengan debutku ini, justru tantangan yang sesungguhnya dimulai.