Kalender tersobek, menunjukkan hari baru dengan peristiwa-peristiwa yang tengah menanti. Muncul Matahari menjadi penjelas jika mata harus terbuka dan memulai aktivitas awal pagi. Tubuh malas memang sangat wajar jika sebelumnya mimpi tak mengenakkan menghampiri. Namun tuntutan, bukankah itu harus tetap dijalani?
Itu yang kini sedang menyerang Devan. Matanya yang sudah terbuka sejak beberapa menit lalu hanya bisa berkedip-kedip tanpa niatan untuk beranjak dari ranjang. Mimpi aneh yang bersumber dari kejadian nyata sebelumnya, menggiring fokus untuk berkhayal di dunia khayal. Foto Gista dan Mike, apa hubungannya?
Ya, Devan masih begitu janggal dengan perkataan sepupu Mike yang memberi kabar jika foto Gista dan Mike akan segera rilis, mereka model? Sebenarnya Mike dan wanita itu sedekat apa?
Memikirkan hal itu, Devan secara tiba-tiba membayangkan banyak moment antara Mike dan Gista yang jelas didepannya. Pertama, ia masih begitu mengingat pertemuan awal dengan kedua orang itu. Pertemuan di lift yang baru disadari Devan, jika Mike memandang tertarik ke arah wanita itu. Kedua, mereka bahkan tak sungkan untuk berbalas kata-kata ketus yang menurut pendengaran Devan terdengar begitu akrab. Dan yang baru kemarin terjadi, Gista membuatnya iri berat saat wanita itu terlihat mengenal sekeliling Mike. Dan sesuatu yang pasti, Devan tiba-tiba merasa cemburu untuk Mike.
Rasa tertarik memang bukan pertama kali untuk Devan, tapi yang pertama memang terasa tak seberapa kuat. Ia masih bisa menerima saat prianya dekat dengan yang lain, karena Devan masih berpikir logis, mereka makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan banyak orang. Tapi kali ini berbeda, Mike sungguh membuatnya tak nyaman kala rautnya yang berubah-ubah bukan untuknya.
Mendongakkan kepala menatap pria yang dipikirkan, Mike masih begitu lelap dalam tidurnya. Ini memang masih terlalu pagi, dan Devan tak menyesalkan kepalanya yang begitu pusing karena sama sekali tak bisa terlelap. Memandang wajah yang terlihat begitu mengagumkan merupakan obat mujarab untuknya. Mengalihkan posisi tubuh hingga berbaring miring menghadap Mike dengan penuh. Bahu Mike yang dijadikan bantalan kepala Devan itu pun masih tetap di posisi sama. Lengan kirinya pun bergerak untuk menyentuh hidung Mike yang tinggi, Mike begitu sempurna, dan pasti sudah tak terhitung jumlah wanita yang ada di posisinya sekarang.
"Eunghh..." lenguhan Mike yang menyentak Devan. Remaja itu sontak diserang rasa panik, untung saja reflek tubuh Devan masih begitu bagus, ia dengan cepat menjauhkan diri dan mengganti posisi menjadi duduk. "Pagi," tambah Mike saat matanya terbuka penuh.
"Hemm... pagi," jawab Devan gugup, bagaimana jika Mike mengetahui aksi gilanya tadi? Wajah Devan tak bisa dikontrol, dahinya berkerut dengan penuh ketakutan, namun itu hanya sesaat karena seseorang menarik lengannya dan membuat Devan berakhir di posisi sebelumnya. Ini gila! Bagaimana Mike bisa membuat setiap perbuatannya menjadi pengaruh besar untuk diri Devan?
"Hoaamm! Tidur yang sangat nyenyak," ucapan lega Mike dengan gerakan tubuh yang membuat Devan senam jantung pagi-pagi, pria itu memeluknya begitu erat!
"Mike, Lepaskan aku!" rengek Devan yang berusaha mendorong dada Mike. Ini sungguh-sungguh berbeda dengan keadaan hatinya yang malah mendesak bodoh, "Lebih dekat, dekap aku lebih erat!"
"Sebentar... Ini masih terlalu pagi untuk kita melakukan aktivitas," protes Mike yang tanpa peduli penolakan tubuh Devan, ia makin mempererat rangkulannya di tubuh kecil itu.
"Hei, aku harus membuat sarapan."
"Sebentar saja Dev, aku butuh pelukanmu... Entah mengapa hari ini terasa begitu dingin."
"Jangan mengada-ngada, kita mengenakan selimut tebal saat ini," ucap Devan dengan memandang wajah Mike yang berjarak begitu dekat dengannya.
"Masih kurang hangat. Lagipula aku terbiasa saling menghangatkan tubuh sambil berpelukan," balasan Mike membuat Devan kembali ke realita, wajah Devan pun tak pelak menampilkan raut dingin. Ya, pemain wanita yang begitu handal!
"Lepas!" perintah Devan dengan suara tegas. Ia harus buru-buru pergi dari hadapan pria itu karena bisa saja air mata berkhianat dan memutuskan untuk menunjukkan keadaan hatinya. Mimpi buruk itu pasti benar, Mike dan Gista pasti sudah pernah berbuat macam-macam.
"Tidak...."
"Ouch! Kenapa kau mencubitku?" tanya Mike sambil meringis kesakitan, dadanya dicubit keras oleh Devan yang sudah lepas dari sangkar. Remaja itu sudah dalam posisi duduk dengan menatap Mike tajam.
"Aku bilang lepas tapi kau tidak dengar!" omel Devan yang langsung melepaskan selimut tebal yang membelitnya, setelah itu pun ia langsung melemparkan kearah wajah Mike. Ia langsung bangkit dari ranjang dan berjalan secepat mungkin untuk menjauh.
"Baiklah, kau bisa pergi," teriak Mike yang masih terdengar Devan walau remaja itu sudah menutup pintu kamar mandi. Melihat bias wajahnya di kaca, dan mencebikkan bibir bawahnya dengan lesu, "Harus berapa kali diingatkan? Jangan ada rasa dengan Mike, hilangkan! Bukan besok, tapi harus detik ini juga, harus!"
Negosiasi di dalam diri Devan berakhir linglung, nyatanya ia masih saja berwajah cemberut saat mengingat Mike. Mobil yang membawanya dengan kecepatan sedang tak lantas membuat jiwanya ikut terbawa, berbagai bayangan menariknya untuk menjadi penonton pertunjukan.
"Ada apa dengan wajah cemberut mu itu?" ucap Mike menyadarkan Devan dari lamunan. Kepalanya yang semula tersangga dengan tatapan menjelajah sisi sebelah pun sontak mengalih kearah Mike.
"Tidak, tadi aku memimpikan sesuatu yang membuat mood ku terbawa buruk," balas Devan sedikit mencurahkan isi hatinya.
"Mimpi apa?"
"Sudah lupa, tapi intinya sangat menyebalkan," yakin Devan dengan wajah yang menatap begitu serius.
"Oh..." sahut Mike dengan mengangguk-angguk. Menempuh perjalanan selama beberapa menit, akhirnya mereka sampai didepan gedung sekolah.
"Tak usah memberiku uang, di kantongku masuk tersisa banyak, daddy..." cegah Devan saat Mike berniat mencabut beberapa lembar uang di dompetnya. Baru disadari keanehan itu sekarang, mereka terlihat seperti sugar daddy dan sugar baby!
"Benarkah? Ya sudah kalau begitu, tapi kalau seandainya kau butuh uang, langsung beritahu aku, oke?"
"Heemm... Aku berangkat dulu, bye!"
"Sebentar Dev! Aku lupa memberitahumu, nanti aku tak bisa menjemputmu pulang, kau tak apa, kan?"
"Oke..." timpal Devan yang akhirnya melangkah keluar dari mobil Mike. Kakinya berjalan dengan menghentak-hentak, jelas itu bukan realisasi dari semangatnya menyambut pelajaran sekolah, ia hanya kesal.
"Sial! Mood ku benar-benar hancur. Dia pasti akan menemui salah seorang koleksi wanitanya dan berbuat macam-macam! Lalu kau bisa apa, Dev?!" batin Devan berteriak kesal, ia sungguh tak fokus hingga tubuhnya sedikit oleng karena senggolan seseorang.
Brak
Beberapa buku pun menjadi korban atas tabrakan kedua tubuh tak sengaja itu. Pria yang menunduk dan lekas mengumpulkan buku-buku miliknya itu pun terlambat mendapat bantuan Devan.
"Ouchh! Maafkan aku!" ucap pria yang menabrak Devan dari belakang. Setelah menunduk sebagai permintaan maaf, pria itu langsung berlari terburu-buru meninggalkannya sendirian.
"Hei-" panggilan Devan pun terhenti saat pria itu berlari kencang menjauh darinya.
"Pria berkacamata itu," ingat Devan saat beberapa kali menjumpai pria dengan kacamata tebalnya, itu kan siswa yang suka dibully gengnya Nathan!
"Hei Dev! Disini!" sebuah panggilan membuat Devan berpaling, ia pun melanjutkan langkah kearah kawan-kawannya yang memanggil.
Waktu pelajaran olahraga di jam pertama memang menyenangkan. Tak ada gangguan matahari yang menyengat dengan efek buruknya. Tiga puluh siswa berjajar dan mulai menggerakkan tubuh sesuai instruksi salah satu siswa yang ditunjuk guru kedepan.
"Lakukan pemanasan dengan benar!" perintah guru pengajar dengan tegas. Ia berkeliling dengan kedua lengan dibelakang tubuh, mereka yang mendapat lirikan tajam darinya pun sontak memaksakan gerak semaksimal mungkin.
"Hei, Reno! Jangan lemas, kau tak sarapan atau memang tulangmu lunak?"
"Dia mengejekku lagi," lirih Reno dengan sedih. Ia sudah menjadi langganan atas sindiran tajam guru olahraganya itu, meski ia sudah mengupayakan yang terbaik.
"Yang sabar Ren, lagipula sebentar lagi dia pasti akan pergi," balas Devan berusaha menenangkan.
Benar saja, tak lama setelah pemanasan berlangsung. Guru bernama Pak Jamil itu lantas pergi setelah memberi perintah untuk olahraga sesuka hati. Dasar, dia memang makan gaji buta!
Semua siswa lantas berhambur, sang pria membentuk koloni untuk permainan favorit bagi kebanyakan, sepak bola. Dan jangan tanya apa peran siswi, seperti yang sudah ditebak mereka juga membentuk koloni namun mulut yang berolahraga, mereka sedang asik bergosip.
Tak ada larangan untuk tak beraktivitas di jam olahraga, Devan pun memutuskan untuk duduk berteduh dan meneliti sekitar dengan diam, ia sedang tak mood untuk melakukan apapun.
"Tak ada kerjaan, kan?" sebuah suara membuat decikan lidah Devan, ia sudah bisa menebak jika Nathan hadir untuk mengganggunya seperti biasa.
"Ikut aku!" perintah Nathan lantas membalikkan badan dan langsung melangkah pergi tanpa menunggu persetujuan dari Devan.
"Sial, dia mulai lagi! Kalau bukan tergiur uang yang dijanjikan, mana sudi aku berurusan dengan dia!" batin Devan berusaha memanfaatkan kesempatan didepan mata. Menuruti perintah Nathan sama saja dengan bekerja, kan? Lagipula tak mungkin ia terus mengemis belas kasihan dari Mike.