"Harus hilang! Tak usah berpikir tentang Mike. Pelajar tak usah sibuk memikirkan cinta, memikirkan pelajaran yang perlu!" ulang Devan berkali-kali. Bibirnya bahkan sampai komat-kamit dengan kedua mata tertutup. Fandy yang sebangku dengannya pun beberapa kali menepuk bahu dan menanyakan keadaannya. Jelas Devan masih baik secara jasmani, tapi batinnya? Jangan tanya, kebanyakan orang pasti sudah pernah merasakan mirisnya cinta sepihak.
Bel berbunyi, seluruh siswa sibuk berkemas barang-barang di meja, mereka sangat menantikan bel istirahat di jam-jam rawan lapar ini. Sedangkan hal itu tak diikuti oleh Devan, remaja itu malah menumpu wajahnya di meja dengan bantalan tangan kiri, ia sungguh terlihat lesu.
"Dev, kau tak ingin ke kantin?" tanya Rifky yang sudah berdiri di samping tempat Devan. Ia pun sontak menegakkan tubuh dan memandang rekan-rekannya dengan senyum tipis.
"Tidak, aku masih kenyang, kalian pergilah!" ucap Devan membuat yang lain mengangguk paham, mungkin mood Devan sedang tidak stabil. Membelikan sebungkus roti dan sekotak susu mungkin saja bisa membantu, itu pikir Rifky.
"Oh, oke! Kita duluan," timpal Rifky lantas menepuk punggung Devan. Rifky memberi kode mata dengan yang lain untuk mengikutinya dan tak menanyai Devan macam-macam.
"Heemm..." sahut Devan dengan hanya menggumam. Setelah ketiganya menghilang dari pandangan Devan, ia lantas memposisikan tubuhnya seperti beberapa saat lalu, menumpu kepala.
"Hai, sayang... disini!" sebuah suara wanita yang begitu melengking membuat mata Devan seketika terbuka. Bukan! Bukan karena suara itu yang mengganggu percobaan tidur siangnya, hanya saja hidungnya yang begitu sensitif membaui aroma yang entah mengapa begitu mengganggu, firasatnya jadi tak enak.
"Setelah menunggu sekian lama, akhirnya kau membalas perasaanku juga, Nath!" seruan wanita itu hadir lagi di telinga Devan. Dan ya! Ia langsung menggeram jengkel saat tau tebakannya benar, Nathan!
"Hemm... Kau wanita beruntung."
Boleh tidak kalau Devan mengumpat? Nathan itu memang sempurna secara fisik, tapi apakah harus sepercaya diri itu dalam berucap? Sial! Hanya dengan satu udara dengan pria itu, Devan seperti tak terkontrol untuk terus mengumpat.
"Y-ya! Aku sangat beruntung karena kau memilihku."
Bodoh! Harusnya wanita itu berdoa sebanyak-banyaknya karena telah terselimuti kabut tebal yang ditiupkan sang iblis Nathan. Devan yang sudah begitu merasa dongkol pun tak bisa membuat pergerakan banyak, ia tak ingin Nathan menyadari keberadaannya. Cukup dengan diam dan menyembunyikan wajah, harusnya pria itu tak tau kan?
"Kau tak ingin beli sesuatu di kantin? Memang kau tak lapar?" tanya Nathan dengan suara beratnya, dan Devan pun masih berperan sebagai pendengar tak terlihat. Remaja dengan poni rambut yang sudah menghalangi mata itu pun menelungkupkan tubuh, wajahnya semakin disembunyikan diantara kedua lengan.
"Tidak... Ada kau disini, tak mungkin aku menyia-nyiakan waktu kebersamaan kita, kan?"
"Ohh..."
"Nath..."
"Hemm..."
"Lihat aku! Mereka bilang kau sangat romantis, aku ingin kau menunjukkan itu padaku," ucap seorang wanita dengan suara manjanya. Devan tak begitu mengenal siapa pemilik suara itu, ia masih kurang bersosialisasi apalagi dengan teman wanita.
"Hahah... Kalian para wanita banyak bergosip tentangku. Coba kau katakan, apa yang bisa kau simpulkan dari diskusi itu?"
"Kau sangat perhatian. Caramu menatap sangat tajam dan dalam, dan aku merasakan perasaan yang sangat mendebarkan seperti yang mereka bilang."
Benar! Tatapan Nathan memang begitu tajam. Karena ketajaman itu, sampai-sampai Devan ingin sekali mencolok kedua bola mata yang menatapnya selalu sama, menyebalkan. Diakui pandangan Nathan sempat mengusiknya beberapa kali, namun bukan jantung yang berdebar seperti yang wanita itu katakan. Jantungnya masih berdetak dengan ritme sama, hanya saja desakan kedua lengannya yang mendadak tremor kala menahan diri untuk tak meninggalkan bekas hantaman ke wajah Nathan itu lebih tepat. Ya, hadirnya Nathan memang begitu berpengaruh.
"Hanya itu? Berarti mereka masih menyimpan banyak hal lain untuk diri sendiri."
Krieet
Suara decitan bangku membuat rasa penasaran Devan tumbuh. Ada apa dengan kedua orang yang menempati sisi kiri tempatnya sekarang? Nathan tak berbuat macam-macam, kan? Devan seketika diserang rasa panik, tak ada yang menolongnya, kah? Itu pikir Devan. Ia khawatir bila Nathan tak pandang bulu dalam membully.
"Eungh... Nath, kita ada di lingkungan sekolah!"
Apa itu, Devan tak salah dengarkan? Suara lenguhan, apa yang pria itu lakukan? Sungguh, wajah Devan berubah sangat merah, ia tak menyangka ada diposisi sekarang ini. Devan heran, kenapa tak ada yang memprotes tindakan mesum mereka, bukankah tadi di kelas masih tersisa beberapa orang?
"Biar! Memang siapa yang bisa menegurku?"
"Eunghh... Eemph...!"
"Sial!" umpat Devan dengan geraman rendah. Wajahnya semakin disembunyikan, kali ini wajahnya sudah begitu menempel ke meja.
"Sial! Berapa banyak aku mengumpat akhir-akhir ini?" ucap Devan dengan wajah masam.
"Aku harus segera pergi dari sini!" tambahnya didalam hati. Dengan mengumpulkan keberanian, Devan pun berdiri dari duduknya lantas bergeser keluar dari bangku dengan pelan, ia tak ingin keberadaannya diketahui Nathan dan akan mengakibatkan dirinya malu setengah mati.
"Hei!" sebuah seruan menghentikan langkah Devan.
Sial! Lihat, Devan mengumpat lagi! Akhh, ini karena pengaruh Nathan yang buruk hingga membuat mulutnya berucap kotor. Dengan berdoa didalam hati, Devan kemudian berbalik ke asal suara milik Nathan, semoga saja pria itu tak mengusiknya di tengah situasi hatinya yang sedang sulit ini. "Ada apa?" tanya Devan dengan tampang polos tak bersalah. Pandangannya meliar beberapa saat. Benar, ruang kelas ini hanya ada mereka bertiga dengan peran Devan sebagai obat nyamuk.
"Mau kemana?" tanya Nathan yang kini beranjak dari duduk menempelnya dengan sang wanita. Devan pun memperhatikan dengan cukup baik kala Nathan menarik kasar lengannya dari sang wanita. Dasar, Nathan itu jelas brengsek! Setelah perlakuannya melecehkan wanita di muka umum, sekarang pria itu belagak tak berdosa dan langsung buang muka.
"Kau pikir? Atau kau mau aku tetap duduk diam disini dan mendengar suara menjijikkan yang kalian buat?"
"Hahah... Ada apa denganmu, sedang banyak pikiran?"
"Tidak, lagipula bukan urusanmu juga untuk tau, kan?"
"My maid! Aku butuh makan, cepat!"
Devan lantas membelalakkan mata, Nathan menjulurkan lengan kanan dengan beberapa lembar uang ratusan yang digesek-gesek diantara kedua jarinya, Nathan jelas merendahkannya. Saat Devan hendak memprotes, pria itu langsung menaruh uang diatas meja. Dan demi apa pun, Devan tak pernah bertemu orang semesum Nathan. Lihat! Pria itu kembali pada wanitanya dan melahap habis bibir wanita itu.
"Akkhhh! Sial-sial-sial.... Kenapa semua hal ini harus terjadi padaku? Kebencian, marah, jengkel, bimbang, kenapa sedetikpun hati ku tak pernah tenang?" keluh Devan yang langsung menghempaskan tubuhnya keatas ranjang. Kedua lengannya membentang dengan pandangan menatap kearah langit-langit. Ia masih tak menyangka atas kejadian tadi siang, Nathan tak ada habis-habisnya untuk membully. Kalian harus tau, setelah kejadian yang memaksanya jadi pendengar sepasang mesum, ia mendapat kesialan lagi setelah itu. Ya, hukuman dari guru karena ia sering absen di jam-jam tertentu. Karena siapa? Jelas seluruh masalah Devan bersumber dari Nathan!
Ay, ay, ay
I'm your little butterfly
Green, black and blue
Make the colours in the sky
Ay, ay, ay, I'm your little butterfly
Green, black and blue
Make the colours in the sky
guk guk gukk
"Suara apa ini?" ucap Devan kemudian bangun dari pembaringannya. Devan yang masih mengenakan seragam sekolah kusutnya itu pun menjelajah ke seluruh ruangan. Tas, asalnya dari tas Devan yang sebelumnya di lemparkan asal. Devan kemudian mengambil benda yang menjadi asal keluar bunyi, ponsel?
Ay, ay, ay
I'm your little butterfly
Green, black and blue
Make the colours in the sky
Ay, ay, ay
"Tuanku," baca Devan pada keterangan pemanggil. Ia mengerutkan dahi beberapa saat hingga muncul nama yang dimaksud tuan, "Itu Nathan!"
"Halo!" sebuah suara menyapa pendengaran Devan, itu Nathan. Kenapa ponsel pria itu ada di dalam tasnya? Kapan ia meletakkan?
"Apa lagi rencana mu, Nath! Disekolah kau sudah membuatku begitu kerepotan, kau mau menerorku lebih sadis? Kau mau membuatku jadi gila?"
"Apa? Aku hanya menyapa mu, Dev!"
"Oke! Halo juga, Nath!"
"Nah... Begitu kan lebih beradab."
"Oke masuk ke topik utama, kenapa ponsel ini ada didalam tas milikku?" tanya Devan dengan mendesak. Devan berjalan kearah ranjang dan mendudukkan diri disana, tas miliknya sudah terhempas kembali ke lantai.
"Karena aku menaruhnya."
"Aku tau... tapi untuk apa?"
"Pengetahuan dasar pun kau tak tau, jelas untuk memudahkan komunikasi kita lah!"
"Jangan bertele-tele!" tanya Devan sedikit membentak, pria itu selalu saja menguji tingkat kesabarannya.
"Aku berkata sejujurnya. Ku lihat kau tak punya ponsel, jadi ku beri."
"Dan dengan ini kau lebih mudah untuk memerintahku kapan pun, kan?"
"Hahah... Benar. Tapi untuk sekarang aku sedang berbaik hati, hari ini aku tak mengganggumu. Tapi ingat! Besok berlaku seperti biasanya."
"Sial! Nath, aku tak menyangka kerja denganmu begitu membuatku mahir dalam mengumpat," omel Devan dengan suara yang mulai naik.
"Wah! Apa aku harus mengucapkan selamat?!"
"Nath! Kau-" Devan sudah bersiap ingin mengumpati pria itu dengan beberapa nama binatang, namun pegangan pintu yang di gerakkan membuat Devan reflek meluncur ke ranjang dengan posisi tubuh tengkurap, ponselnya pun disembunyikan dibawah tubuh.
Klek
"Dev, Ada apa denganmu?" tanya Mike saat pandangannya masih sempat menangkap gerakan meluncur Devan.
"Tidak, tidak apa! Kenapa kau kemari?" jawab Devan masih tak memindahkan posisi tengkurap, hanya kepala Devan saja yang melongok kearah Mike yang berjalan semakin dekat.
"Tidur lah!" jawab Mike dengan santai, Devan yang mendengarnya pun diserang nelangsa, Mike mulai bertingkah.
"Hah! Ini masih sore, Mike!"
"Sekarang aku sedang pusing, temani aku tidur!"
"Aku belum mandi dan ganti pakaian, tubuhku bau keringat-"
"Agak sana, beri aku tempat!" potong Mike. Pria bertatto itu lantas menaikkan tubuhnya ke sisi sebelah Devan. Mendapat perintah seperti itu, Devan lantas berguling ke sisi terjauh. Namun belum sempat gerakannya mencapai tempat ujung, Mike sudah menangkapnya. Dan untuk kesekian kalinya Devan berakhir di pelukan pria itu.
"Mike! Panas... Jangan peluk terlalu erat!"