Mata Devan beberapa menit lalu sudah terbuka sepenuhnya. Ruangan serba putih dengan batas pandang sempit terhalang kain yang mengelilingi ranjang. Beberapa kali ia mengerjap bingung, pikirannya masih begitu kosong sejak terakhir kali yang diingat Devan adalah suara panggilan berulang menyebut namanya serta tubuh yang melayang di rangkulan seseorang.
"Sebelas empat lima?" pekik Devan saat pandangannya meliar kesekeliling. Ini sudah terlalu siang untuk kembali ke kelas. Bahkan ia sudah melewatkan beberapa jam pelajaran setelah waktu istirahat.
"Hemm... kau tidur sangat lama."
Tirai seketika terbuka, sebuah sahutan menyambung ucapannya. Devan sontak menolehkan kepala ke ranjang kecil sebelahnya dan bangun dari pembaringan.
"Aduch!"
"Hati-hati, sudah tau kondisi badan sedang tak enak, kau masih saja ceroboh dengan bangun secara tiba-tiba. Ingat, kau masih punya perjanjian denganku, ya!" peringat Nathan dengan menunjuk-nunjuk Devan. Posisi duduknya beralih, kedua kakinya itu pun menjuntai ke bawah dengan tubuh menghadap Devan. Pria itu menempati ranjang di sebelah Devan.
"Nath, kenapa kau disini? Ku rasa aku tak pernah membuat janji dengan siapa pun."
"Dasar! Jangan coba mengelak dariku, kau pikir kebaikan dan tindakanku gratis, apa?!" balas Nathan dengan suara bariton yang langsung membuat nyali Devan menciut seketika.
"Oh ya, seharusnya kau bilang itu dengan jelas. Balas budi bukan perjanjian, kau tenang saja, aku bukan tipe orang yang suka ingkar," timpal Devan. Lengannya sibuk menyingkirkan selimut yang melingkupnya itu dan langsung melipatnya rapi. Setelah selesai, Devan meletakkannya dengan penuh kehatian dan menepuk-nepuk bagian permukaan atas selimut itu. Hal sekecil itu pun tak luput dari pandangan Nathan.
"Bagus! Sekarang kau turuti perintah pertamaku, cepat makan bubur di nakas itu!" pinta Nathan dengan kode kepala kearah nakas di tengah keduanya.
"Kau yang menyiapkannya?"
"Heh! Kau jangan berpikir aku sebaik itu, ya! Anak buah ku yang membelikannya, cepat makan dan pulihkan kondisi tubuhmu, dan setelah itu, aku akan bebas mempergunakanmu."
"Terimakasih," ucap Devan dengan menampilkan senyum tulus. Jujur saja, Devan merasa sedikit tersanjung dengan sikap Nathan yang tak ingin menunjukkan kebaikannya secara langsung. Devan sangat meyakini jika semua itu memang perbuatan Nathan.
Devan makan dengan pelan. Mulutnya masih saja pahit, apalagi bubur yang ia makan sama sekali tak menggugah selera, Devan tak suka bubur. Setelah sendokkan kecil ketiganya, Devan segera meletakkan mangkuk berisi bubur yang tampak sama sekali tak berkurang. Lengannya beralih ke gelas berisi teh hangat, meneguknya sampai tinggal setengah, dan sedikit merasa lega karena minuman hangat itu sedikit meredakan perutnya yang bergejolak.
"Kenapa berhenti, makan sampai habis!" titah Nathan dengan pandangan kearah Devan yang berubah tajam.
"Tidak, mulutku pahit sekali, Nath!"
"Kalau hanya mulut yang terasa pahit itu wajar. Tapi kalau hanya dengan itu kau tak mau makan, itu seperti kau tak mempedulikan kesehatanmu sendiri. Jangan sampai aku bertindak memaksa, ya!" ancam Nathan dengan langsung berdiri dari duduknya. Pria dengan tubuh tingginya itu berada begitu dekat di depan Devan sembari membawa mangkuk bubur di telapak kirinya.
" Nath," panggil Devan dengan pendengaran masuk ke telinga Nathan seperti sebuah rengekan. Kepala Devan yang mendongak kala menatapnya serta pandangan wajah pucat sedikit mengusik Nathan.
"Cepat buka mulutmu!" ucap Nathan lagi-lagi dengan nada perintahnya. Menyendok sedikit bubur setelah mengaduknya pelan, Nathan langsung mendekatkannya ke depan mulut Devan.
"Tidak, Nath..." tolak Devan dengan menggeleng pelan. Sorot mata yang menatap Nathan penuh dengan rasa belas kasihan, sedikitpun tak membuat raut paksaan Nathan mereda.
"Dev!"
Menghela nafas panjang, Devan pun menyambut suapan Nathan itu dengan cepat. Tanpa berlama-lama mendiamkan di mulutnya yang pahit dan langsung menelan sekaligus. Beberapa suapan pun disodorkan Nathan dengan porsi sendokkan yang semakin banyak. Mata Devan sudah sangat berair, ia tak tahan.
Hueek
"Tidak, aku sungguh-sungguh tak bisa memakannya. Aku tak suka bubur dan memakannya malah membuatku mual," kesal Devan sembari memukul-mukul kedua pahanya yang bersila.
Huekk
"Ehh! Jangan muntah disini. Tahan-tahan, ayo ku antar ke toilet!"
Nathan seketika panik. Bertindak cepat dengan menaruh mangkuk di nakas dan beralih merangkul bahu sempit Devan. Menggiring langkah Devan kearah toilet yang untungnya ada di satu ruangan dengan uks.
Hueek
"Keluarkan semua biar lega!"
Rasa kemanusiaan Nathan pun seketika muncul. Memijat belakang leher Devan bermaksud sedikit membantu.
"Huhh..."
"Basuh mulut dan wajahmu!"
Nathan bergerak cepat saat Devan membasuh wajahnya di air mengalir, ia menyabet beberapa lembar tisue dan memberikannya ke Devan.
Nathan langsung mengajaknya pergi dari ruangan uks yang sebelumnya dikunci. Melempar tas Devan ke pemiliknya, mereka memang belum sempat memasuki kelas. Nathan berjalan cepat tanpa mempedulikan Devan yang berusaha berjalan mengimbangi dibalik tubuh lemasnya. Melewati beberapa lorong yang begitu sepi tanpa aktivitas.
Setelah sampai ke tempat terakhir ia melihat jejak Nathan, Devan pun celingukan ke segala sudut kantin besar itu untuk mencari Nathan. Langkahnya berlanjut jalan setelah menemukan tas Nathan yang ada di salah satu meja kantin.
"Minum teh ini dulu!"
Tak lama setelah Devan menyamankan duduknya, Nathan hadir dengan seorang pelayan membawa baki beberapa pesanan. Devan seketika tersenyum lebar, hidangan bakso yang tersaji itu terlihat begitu menggiurkan. Namun senyumannya seketika terusik dengan pandangan Nathan yang menajam. Seolah mengerti kode, Devan pun langsung meneguk sedikit teh hangat sesuai perintah Nathan.
"Nath," panggil Devan setelah pria itu duduk tepat di depannya dan mengunyah dengan lahap menu yang sama sepertinya.
"Kenapa lagi, jangan bilang kau tak mau makan makanan yang kubelikan untukmu dengan penuh keikhlasan ini!" omel Nathan masih dengan mulut yang terisi makanan. Wajahnya kembali ke raut asli setelah sebelumnya Devan sempat mendapati sedikit kekhawatiran waktu Devan muntah.
"Bukan, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih padamu. Meski kau selalu berbicara kasar dan bertindak sesuka pikiran jahilmu, tapi aku tau kau masih punya hati yang baik," ucap Devan yang ditanggapi Nathan dengan raut wajah tak berubah sama sekali.
"Jangan sekali-kalinya kau menyebut aku sebagai orang baik lagi, atau aku malah akan bertindak sebaliknya."
Nathan mendekatkan wajahnya kearah Devan. Mereka saling menatap untuk bisa mengerti lebih dalam. Mata yang berlari-larian menatap keseluruhan dengan teliti. Deheman Devan pun memutus kontak mereka. Sedikit kikuk dengan kedekatan mereka beberapa saat lalu itu pun segera disingkirkan, melahap habis menu di depan mereka adalah fokus mereka saat ini.
"Sekali lagi, terimakasih Nath! Oh ya, aku harus segera masuk ke kelas, guru pasti akan menghukumku jika aku terlihat ada di sini," ucap Devan setelah menandaskan makanannya. Nathan yang sudah lebih dulu selesai dan memainkan permainan di ponselnya itu duduk bersandar di punggung kursi.
"Hemm," sahut Nathan dengan deheman. Pandangannya masih tertuju ke layar datar yang dipegangnya itu.
Setelah mendengar nada persetujuan dari Nathan, Devan pun segera bangkit dan menarik tas miliknya. Berjalan menjauh sampai beberapa meter berjarak dari Nathan.
"Oh ya, pulang nanti mampirlah dulu ke kelasku!"
"Heh?"
Mendengar suara Nathan itu pun membuat Devan berbalik tubuh secara otomatis. Pria dengan banyak gelang dilengannya pun juga balas menatapnya.
"Apa? Setidaknya kau harus memberikanku ucapan terimakasih dengan tindakan, kan? Nanti bawa tasku!"
"Aku tak tau kelas mu."
"Kau jelas punya mulut, tanya saja, semua orang pasti tau aku!"
"O-oke."
"Hemm... Setidaknya membawa tas yang berisi satu buku dan charger tak berat, kan?" batin Nathan. Pandangannya sesekali terangkat, mengawasi Devan yang berjalan begitu pelan.