"Dev, kau tak apa kan?" tanya Fandy saat Devan baru saja menempelkan pantatnya di bangku. Menoleh sekilas ke Fandy, Devan hanya menjawab dengan anggukan dan senyum lebarnya.
Devan sibuk beralih ke tasnya dan memilih buku pelajaran yang sebentar lagi akan dimulai. Sedikit menarik nafas lega, kala ia masuk kelas di waktu pergantian pelajaran, hingga ia tak perlu menyiapkan kata basa-basi untuk guru sebagai alasan. Ini adalah jadwal pelajaran yang sama dengan waktu tiga jam sebelum waktu pulang.
"Ya, kenapa pinsan mu lama sekali?" tanya Reno menyambung pertanyaan Fandy. Devan yang merasakan tepukan di belakang bahunya pun sontak menoleh ke bangku belakang milik Reno dan Rifky.
"Maaf ya Dev, kita tak menjagamu sewaktu di uks," ucap Fandy.
"Ya, ruangannya terkunci," sambung Rifky sebelum Devan sempat membalas. Pandangannya sejak tadi terus beralih ke masing-masing kawannya yang berbicara. Meski begitu, Devan tak bisa menyembunyikan rasa bahagia saat kawan-kawan barunya itu nampak begitu khawatir dengan memberondong beberapa pertanyaan.
"Selamat pagi, pak...!"
Keempat siswa itu pun langsung duduk menghadap depan dengan posisi tegak. Seketika mereka ikut mengucap salam ke guru pria dengan tampilan menyeramkannya itu.
"Oh, jangan-jangan Nathan juga ada di sana? Kau tidak dijahili lagi, kan?" bisikan Reno begitu jelas terdengar. Devan yang sedang mencari halaman buku yang akan diterangkan oleh guru itu pun memundurkan tubuhnya untuk lebih berbicara dengan jelas pada kawannya yang duduk di bangku paling belakang.
"Sttst! Kita sedang pelajaran, perhatikan guru atau kita akan terkena teguran dari guru galak itu!" balas Devan dengan berbisik pelan juga.
"Abaikan saja pak kumis, itu. Jawab dulu pertanyaan kami, tak terjadi apa pun di uks, kan?" ucap Fandy yang ikut memundurkan tubuhnya dengan pandangan menoleh ke arahnya. Jadi, bisa dibilang posisi mereka saat ini seperti diskusi kelompok ilegal dengan penuh kerahasiaan, duduk merapat meski terhalang meja dan mata sesekali mengintai sekitar.
"Tidak, aku baik-baik saja. Nathan memang ada di sana, tapi dia justru menolongku," jawab Devan pada akhirnya. Sejak awal Devan sebenarnya tak ingin membahas tentang Nathan, ia tau kawan-kawannya akan khawatir seperti ini.
"Aku tak salah dengarkan, Rif?" tanya Reno dengan raut ragunya.
"Kau jangan bohong, Dev! Bilang saja kalau kau diancam olehnya," timpal Rifky.
"Tidak, aku-"
"Hei, kalian berempat! Kalau diskusi kalian jauh lebih menarik dari pada penjelasan saya didepan, lebih baik kalian keluar kelas saja!"
"Tidak pak," sahut mereka berempat secara bersamaan. Menunduk takut dengan membenahi posisi duduk.
Dan akhirnya rasa penasaran dari ketiga kawan Devan itu pun teralihkan dengan ancaman dari Pak Gusman yang sungguh sangat menyeramkan.
Bel pulang pun berbunyi. Devan yang baru menempati bangkunya selama beberapa jam itu pun secara tiba-tiba menjadi bingung. Akan kemana ia setelah ini?
Untuk pulang ke apartement Mike membuatnya tak yakin, ia masih belum mengumpulkan tameng yang tebal untuk menutup wajahnya, ia masih begitu malu mengingat kejadian tempo hari. Memilih melarikan diri dengan wajah sedih dan menatap Mike seolah pria itu sudah membuat kesalahan yang begitu fatal. Kenyataan status bukan siapa-siapa itu pun seperti membentangkan spanduk besar di depan umum dengan kata-kata ejekan kepadanya saat ini.
"Hei Dev, ayo pulang! Ngomong-ngomong kau sudah baik-baik saja, kan?" ajak Reno dengan berdiri di samping meja Devan. Kedua lengannya pun mengecek suhu tubuh di dahi dan sekitaran leher Devan. Satu per satu dari kawan sekelas mereka pun meninggalkan kelas. Lain halnya dengan keempat orang itu.
"Ya, sudah lebih baik."
"Ehmm, baguslah. Oh ya, mau kita temani untuk menunggu jemputan dari kakakmu?" tanya Rifky.
"Tidak usah repot-repot, kalian bisa pulang dulu."
"Ya sudah, kita duluan ya!"
"Jaga dirimu baik-baik, bye!"
"Eh! Kelas Nathan dimana, ya?"
"Kenapa kau tanya kelas Nathan? Kau benar-benar tidak ada masalah dengannya kan?" tanya Fandy mewakili kerutan dahi dari Reno dan Rifky.
"Tidak, kalian percaya denganku, kan? Aku hanya ingin tau letak kelasnya saja."
Setelah perdebatan antara Devan dan ketiga kawannya itu, Devan pun hadir sebagai pemenang. Mereka bersama-sama menyusuri area gedung lantai dasar dan menemukan kelas yang dituju. Devan tersenyum lebar, kedua lengannya pun melambai ke arah ketiga sahabatnya yang sudah mengantar ke kelas Nathan itu.
Setelah mengetahui letak kelas Nathan, Devan pun hanya berdiri diam di depan kelas yang masih ramai dengan suara beberapa anak. Devan tiba-tiba gugup, kedua lengannya memainkan tali tas seperti anak kecil. Kepalanya tertunduk menatap kearah sepatunya.
"Heh! Kenapa kau disini!"
Devan sontak menengadahkan kepala saat mendengar suara yang familiar di hadapannya. Dahinya seketika mengerut saat pandangan tak suka jelas terlihat di wajah pria yang terlihat begitu cantik di depannya. Pria sama yang menjebaknya di gudang.
"Selain dungu, kau juga tuli, ya?!"
Bentakan itu seketika menyentak Devan dari keterdiamannya. Pria yang beberapa senti lebih rendah darinya itu bahkan tanpa disadari sudah berjarak sangat dekat dengannya. Menatap dengan raut menantang, sedangkan Devan sendiri tak mengerti apa pun tentang arti dibalik itu semua. Harusnya Devan yang marah karena sudah dijebak di dalam gudang, bukan malah sebaliknya.
"Ada apa, Bi?"
Suara lain lantas datang dan sejenak memecah ketegangan. Bunyi derap langkah beberapa orang yang mendekat kearah Devan dan Bian itu pun sontak masuk kedalam hawa kengerian yang diciptakan oleh pria cantik itu.
"Pria yang membuatku kesal setiap kali mendengar atau menatapnya!"
Nampaknya kehadiran orang lain diantara kemarahan Bian itu sama sekali tak berpengaruh. Pria yang mengeratkan bibir dengan tangan yang terangkat kearah Devan itu sama sekali tak terbayangkan akan dilakukan. Pria itu hendak melayangkan tamparan kearah Devan yang dengan reflek menutup mata.
"Eh Bi!"
"Lepas! Aku sangat ingin mencetakkan lenganku di wajah mengesalkannya!" amuk Bian saat salah seorang kawannya menghadang tindakan kekerasan tak berdasar terlebih kearah mainan baru Nathan.
"Tenang Bi, nanti Nathan memarahimu lagi."
"Lepas! Aku tidak peduli!" titah Bian dengan nada kerasnya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk bisa melepaskan tangan yang mencegahnya. Sedangkan Devan yang menjadi objek amukan dari Bian itu pun masih tak memahami situasi, ia merasa tak mencari gara-gara atau menyinggung sesuatu yang membuatnya layak mendapat makian keras seperti ini.
"Apa masalahmu? Ucapanku kemarin tak cukup ya?" ucap Nathan yang datang dari dalam kelas dengan jalan santai, satu lengannya itu menggenggam satu lengan tas.
"Nath! Aku tak suka dengannya. Dia orang yang berani menentangmu!"
"Lantas? Lagipula itu urusanku dengannya. Tanpa menyinggungmu sebagai sahabat terdekatku, kau tak berhak ikut dalam semua permasalahanku."
"Nath!"
"Bi... Jika aku ingin marah, jelas kau orang terakhir yang bisa menerima kemarahanku. Jangan membuatku berubah pikiran!"
"Kau sudah merubah itu, kau sudah berubah saat mainan baru jauh lebih penting dari per-persahabatan kita!" ucap Bian penuh dengan nada kecewa. Ia lantas pergi dengan berjalan cepat menghindari Nathan yang seperti memojokkannya.
"Bi."
"Bi!" panggil Sandy dan Marco secara bergantian. Mereka berdua lantas berlari mengikuti langkah sahabatnya. Sedangkan Randy, pria pendiam itu masih sempat memberi kode untuk Nathan sebelum berjalan dengan kakinya yang lebar namun tak tergesa.
"Bawa tasku!"
Devan pun segera menangkap tas yang dilemparkan Nathan kepadanya. Kedua alisnya secara mendadak menjadi bertaut, ia memahami satu hal penting dari masalah yang baru saja terjadi, Bian adalah satu komplotan dengan Nathan. Dan dengan cepat menyimpulkan sesuatu, kombinasi mereka berdua pasti akan membuatnya tak menemui nyaman lagi.
"Siswa tadi itu kawanmu?"
"Hemm."
"Jadi pasti kau ikut mengerjaiku tempo hari, kan? Terkunci di gudang sampai malam dan secara tiba-tiba kau datang layaknya pahlawan yang menyelamatkanku! Sebenarnya maksudmu apa, sih!"
"Sttst! Rendahkan volume suaramu ketika berbicara denganku. Lagipula pertanyaan darimu wajib ku jawab, ya?"
Devan sampai tergagap mendengar jawaban tanpa rasa bersalah Nathan. Mulutnya bahkan sampai ternganga lebar dengan seringai iblis yang dibuat pria dihadapannya itu.
"Aku bertanya dengan serius, pasti kau menjebakku untuk bisa memberikanku kesan bahwa kau telah menjadi penolong dan aku harus balas budi, begitu kan?!"
"Memangnya kau siapa? Aku tak pernah mau repot-repot merencanakan sesuatu yang pada akhirnya selalu ku dapatkan."
Kalah. Devan selalu kalah dalam berdebat. Kepalanya saat ini menunduk dalam menyembunyikan rasa kesal yang tak mungkin terealisasikan.
"Percepat langkah pendekmu itu!"
Menghela nafas besar, Devan yang baru saja sedikit merasa keringanan paska kesakitannya tadi itu pun harus mengumpulkan tenaga untuk berlari mengejar Nathan.
"Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?"
Saat ini Nathan sedang membonceng Devan di motornya. Helm merah jambu yang nampak sangat meriah itu berbanding terbalik dengan wajah masamnya.
"Jawab pertanyaanku! kau masih ingat peranmu, kan?"
"Hufh! Tidak apa!" balas Devan pelan. Ia masih berpikir jika semua yang dilakukannya adalah karena janji yang kepalang terucap. Dan lagi-lagi rasa takut akan kekuasaan Nathan disekolah itu membuatnya berpikir jika ia melawan, bisa saja Nathan akan membuat surat rekomendasi untuknya supaya di keluarkan dari sekolah.
"Oh ya... Berhubung para pelayan ku liburkan, kau harus ke rumahku setiap pulang sekolah, bantu bersih-bersih! Dan karena kondisimu baru saja pulih, hari ini kau masak makanan untukku saja."
"Dari permintaanmu terdengar seperti kau sedang memperbudakku, ya?"
"Siapa bilang? Aku adalah orang kaya yang tak kikir soal uang, kau bisa meminta berapa pun yang kau mau. Lagipula, ku lihat kau sedikit tak nyaman tinggal dengan kakakmu, kan?"
Mendengar ucapan Nathan itu sedikit membuatnya berpikir. Mike memang orang baik, tapi jika dengan seringnya mereka dalam lingkup sama akan berdampak buruk untuk keduanya. Devan yang akan semakin serius membentuk cintanya, dan Mike yang pasti akan merasa tak bisa bergerak bebas di tempatnya sendiri.
Meski hal itu akan sangat sulit untuk Devan. Mendapati kenyataan sederhana seperti mobil Mike yang tak terparkir untuk menjemputnya saja sudah membuat Devan kecewa setengah mati.
"Aku setuju. Tapi soal tak nyaman tinggal dengan kakakku itu tak benar, setelah bantu-bantu di rumahmu, antar aku pulang!"
"Deal!"
"Deal!"