Chereads / Anti Sosial / Chapter 18 - Interview

Chapter 18 - Interview

Aku berjalan berdampingan dengan Rafan di sebelahku, pagi ini bosnya akan seharian berada di kantor, selain memeriksa laporan, hari ini dia harus menginterview beberapa pelamar yang ingin bekerja di kantornya setelah sebelumnya di interview oleh Reno.

"Pak Rafan mau saya buatkan Kopi atau Teh ?" ucapku begitu kami berdua sampai di dalam ruangan Rafan dan kini ia tengah duduk di kursi kerjanya.

"Kopi" jawabnya singkat. "Hari ini ada berapa pelamar yang harus saya interview ?" sambungnya sambil menyenderkan punggungnya pada kursi kerja.

Laras menyalakan tab yang ia pegang, mengecek laporan yang di berikan Reno tentang nama-nama pelamar yang akan di interview hari ini.

"Ada sepuluh orang, Pak" jawab Laras dengan sopan setelah memeriksa data yang di berikan Reno.

Rafan terdiam seketika, namun raut wajahnya berubah kebas dengan sebelah alis terangkat. "Kok banyak banget, memang buat posisi apa aja ?" tanya Rafan.

Laras kembali memeriksa data yang tersimpan di dalam tabnya. "Sebenarnya cuma butuh tujuh orang Pak, untuk menggantikan posisi saya terdahulu satu orang, untuk pekerja di pabrik butuh empat orang, tapi sepuluh orang ini sudah dianggap yang paling terbaik"

"Kalo sudah paling terbaik kok masih harus di eliminasi ? Gak adil dong kalau begitu" sahut Rafan santai, tapientah kenapa mampu membuat Laras gugup.

Mana Dia tau kenapa, dia kan cuma di kasih tau Reno seperti itu, lagian apa susahnya sih tinggal milih, kenapa orang kayak dia musti mikirin adil gak adil, orang seperti kita itu kan sudah bisa menerima ketidakadilan.

"Maaf Pak, nanti saya tanya Pak Reno lagi" ucap Laras kaku.

"Ck! kamu apa-apa harus nanya dulu, mandiri lah sedikit, jangan nanya terus, makanya dengerin kalau orang ngomong, biar gak kayak gini kalau ditanya" jawab Rafan acuh.

Sabar Laras, tarik nafas... Sabar!

"Maaf Pak" ucap Laras pelan.

Rafan tak peduli, tangannya terangkat dan bergerak mengintrupsi. "Yasudah sana, bikinin saya kopi"

***

"Haduh... Ganteng banget anak mamah, nah kan enak nih kalau pagi-pagi begini udah bangun, udah wangi pula, jadi keliatankan gantengnya"

Ibunya tersenyum lebar begitu melihat Javas keluar dari kamarnya dengan memakai kemeja lengan panjang berwarna putih dan celana bahan berwarna hitam, Javas langsung duduk tepat di depan ibunya yang menunggunya di meja makan, sarapan sudah tersedia, Javas kini tengah sibuk memakai dasinya.

"Javas kan emang keren mah dari dulu, mamah aja yang gak sadar punya anak ganteng" ucap Javas yang membuat ibunya semakin tersenyum lebar sambil tangannya menyendokkan nasi dan lauk kedalam piring untuk anaknya.

"Iya iya deh, ganteng banget emang anak mamah"

Javas hanya tersenyum geli mendengar pujian yang terlontar dari mulut ibunya, mungkin ibunya begitu karena terlalu senang karena anak satu-satunya yang selama ini menganggur akhirnya mendapat panggilan kerja.

"Kamu hari ini udah mulai kerja atau masih belum ?" tanya ibunya sambil menyodorkan piring berisi lauk pada Javas.

Javas menggeleng singkat. "Belum, hari ini aku masih harus ketemu bos besar pemilik perusahaan, kemarin itu soalnya baru ketemu manager aja, jadi sekarang ini finalnya yang nentuin aku fix diterima kerja atau enggak" jawabnya lalu menyuapkan nasi kedalam mulut.

"Oh yasudah, mamah doain kamu diterima kerja ya, biar berkah ilmunya, semangat Nak"

Hmmm.... Manis banget emang mulut ibu-ibu kalau ada maunya, dia merasakan mamahnya berubah menjadi peri baik dengan mulut yang manis seperti madu, tidak seperti biasanya yang sepat bagai garam dan tajam bagai pisau.

"Iya Mah, amin, makasih doanya"

Keduanya makan dalam perasaan senang, ibunya benar-benar mendukungnya seratus persen, bahkan sampai membawakan bekal untuk Javas.

"Hati-hati ya kamu"

Javas membalas lambaian tangan ibunya begitu ia duduk di motor maticnya, memakai helm dan bersiap untuk berangkat ketempat tujuan.

"Iya, Assallamualaikum!" pamit Javas yang dijawab salam oleh ibunya yang masih berdiri di depan rumah, melihat kepergian anaknya.

***

Suasana hening menyelimuti antara Laras dan atasannya Rafan, bosnya itu diam seribu bahasa di tempat duduknya dengan pandangan menerawang entah kemana, sesekali dia menghelah nafas lalu menggerak-gerakan kakiknya sehingga membuat kursi roda kerjanya bergerak-gerak, meski begitu, Rafan tampaknya biasa saja, berbading terbalik dengan Laras, wanita itu terlihat salah tingkah dan tidak nyaman, karena meski dia tau Rafan buta, entah kenapa setiap melihat mata bosnya membuat dia sangat gugup.

"Pak Rafan ada butuh sesuatu ?" tanya Laras, ini kesekian kalinya Laras bertanya, pasalnya sudah satu jam sejak dia mengantarkan kopi untuk bosnya, selama itu mereka hanya begini, diam tidak jelas entah menunggu apa, bahkan Laras terus-menerus melihat kearah jam dinding, berharap jam itu cepat berputar hingga waktu interview tiba.

"Enggak, kamu kenapa nanya itu terus ?" ucap Rafan dengan kesal, alisnya bertaut tanda dia terganggu dengan pertanyaan Laras yang langsung membuat wanita itu terdiam.

Ya gimana Dia gak nanya, Dia yang terbiasa sibuk dan bahkan lupa merasakan waktu senggang, tiba-tiba mengalami kondisi langka ini, tentu saja dia jadi bingung, salah tingkah dan seperti orang bodoh yang tidak tau harus melakukan apa.

Demi Tuhan! Dia lebih suka kalau Rafan kasih dia pekerjaan dari pada begini.

"Jam berapa sekarang ?" tanya Rafan lagi.

Laras melihat kearah jam dinding. "Jam setengah sembilan Pak"

Rafan hanya mengangguk singkat dan kembali diam, dia malah tampaknya sangat menikmati waktu sekarang untuknya berleha-leha, lihat saja kelakukannya saat ini yang menyender ke kursi kerjanya hingga membuatnya hampir tidur terletang sambil menggerakkan kakinya membuat kursi roda kerja tampak seperti mengayun dirinya.

"Masih ada waktu setengah jam lagi ya berarti, bikinin saya omelete deh kalau gitu"

Hah ?!

Sungguh sangat Random sekali ya Bosnya ini, sungguh Dia sama sekali tidak bisa menebak isi kepala bosnya, kemarin dia juga marah-marah dan melemparinya dengan bantal, lalu baik seperti semula dan sekarang.... gak ada angin gak ada hujan minta dibuatkan omelete.

"Beli Pak ?" tanya Laras sangsi, berharap ia salah dengar saja dengan perintah Rafan karena pasti gak mungkin kan kalau dia yang...

"Beli ? orang saya suruh kamu bikin omelete, bukan beli omelete"

Santai sekali, mulut Rafan berucap bagaikan alir mengalir, sungguh tanpa beban, berbanding terbalik dengan Laras yang kini hanya bisa melongo dengan mulut terbuka.

Memang iya sih dia tadi meminta agar Rafan memberinya pekerjaan, ya tapi.... beneran buat omelete nih ?

"Bisa gak buat omelete ?" tanya Rafan begitu menyepelekan.

Laras terdiam menatap Rafan dengan raut wajah ketus. "Bisa kok Pak, tapi masalahnya bahannya gak ada, di dapur hanya ada kopi dan mie rebus" jawab Laras masih mengatur cara bicaranya.

"Ya kalau gitu berarti cuma kurang telor aja, kan mienya udah ada, kan ?"

Hah ?! ini maksudnya bosnya mau dibikinin omelete yang kayak gimana sih ? bukannya bosnya mau dibikinin omelete beneran yang ala-ala luar negeri itu, yang harus ada susu dan keju, bukan omelete-omeletan indomie ala indonesia, kan. Mana mungkin omelete yang itu.

"Kamu bisa gak sebenernya bikin omelete ?"

"Bisa Pak" jawab Laras tegas.

'Yakin ?"

"Yakin kok Pak"

Apaansih kok nyebelin banget ini bosnya.

Rafan tak menjawab namun sudut bibirnya terangkat, membuat rasa kesal dalam hati Laras semakin membuncah karena melihat smirik Rafan yang begitu meremehkannya.

Tok... Tok...

Suara ketukan pintu memecahkan perdebatan mereka tentang omelete "Masuk!" ucap Rafan yang langsung mempersilahkan.

Reno berjalan masuk kedalam ruangan Rafan, matanya terlebih dahulu melihat kearah Laras dan Rafan secara bergantian, wajah Laras tampak datar dan wajah bosnya tampak santai seperti biasanya, namun entah kenapa Reno merasakan hawa berbeda dari keduanya, terutama pada Laras.

"Selamat pagi Pak" sapa Reno begitu ia berdiri di hadapan bosnya.

"Oh kamu Reno, iya Pagi, ada apa ?" jawab Rafan yang langsung tau begitu mendengar suara Reno.

"Pak Rafan saya ingin memberitahukan kalau ada beberapa pelamar sudah sampai untuk interview, apa Pak Rafan mau mempercepat interview atau menunggu sampai tepat pada waktu yang telah di tentukan ? Karena saya pikir akan lebih baik kalau cepat dilakukan agar tidak mengganggu jadwal Pak Rafan sangat padat hari ini "

Padat apanya, orang dari tadi diem aja kok!

Rafan langsung duduk dengan tegap, menghelah nafas dan kembali bersikap seperti biasanya yaitu sikap profesional kerja.

"Oke saya setuju dengan kamu, lebih cepat lebih baik" jawabnya. "Yasudah panggil satu persatu saja ya, saya mau nilai satu-satu secara langsung, suruh mereka masuk saja kesini" sambung Rafan tegas dan penuh wibawa.

"Baik Pak, saya permisi"

Reno kembali berjalan keluar, menyiapkan seperti apa yang diinginkan oleh Rafan, meninggalkan Rafan dan Laras kembali di ruangan luas itu.

"Selagi saya interview, kamu bikinin saya omelete, karena begitu saya selesai saya mau makan omeletenya" ucap Rafan setelah Reno keluar.

"Tapi Pak... Pak Rafan mau dibikinin omelete yang seperti apa ?"

"Yang seperti biasanya"

"Yang seperti.... ?"

"Omelete Laras omelete, memang ada berapa jenis omelete di dunia ini sampai kamu bingung begitu" keluh Rafan.

"Baik Pak, kalau begitu saya permisi, mau bikin Omelete!"

Bodoamat ya, Dia gak akan tanggung jawab kalau sampai omelete yang dia bikin salah, siapa suruh bosnya ditanya jawabannya seperti itu.

Laras berjalan keluar dari ruangan itu, tepat disaat dia kembali menutup pintu tepat saat itu juga pandangan terpaku pada seseorang.

"Loh... Kok..."

Laras melotot seketika, tangan menunjuk kearah seseorang yang berdiri tak jauh dari tempatnya saat ini.

"Lah ketemu lagi, ngelamar kerja juga ?"

Dengan senyuma cerah pria itu menatap Laras, melambaikan tangan kearahnya seolah bagaikan teman lama yang bertemu kembali.

Javas, pria gila yang menciumnya di pesta dansa, kenapa dia ada disini ?!