"Bi Inem masak apa ? sini biar saya bantu" ucap Laras begitu ia masuk kedalam dapur dan melihat inem, pembantu rumah ini tengah memotong bawang merah.
"Eh Mba Laras! lni... lagi mau masak sayur sama tumis daging, gak usah repot-repot Mba" jawab Inem sambil terus memotong bawang.
Laras kembali melangkah, berdiri di sebelah Inem sambil terus memperhatikan apa yang di lakukan wanita tua itu.
"Gak apa Bi, sini saya bantuin"
Laras langsung mengambil alih pekerjaan Inem memotong bawang dan bumbu lain yang di butuhkan, habis dia bingung ingin melakukan apa di rumah ini.
"Tadi malam Mba Laras pulang jam berapa ? Bibi kok gak lihat Den Rafan makan malam"
"Oh, saya pulang subuh Bi"
Inem hanya mengangguk sambil membalikan sayur sop yang ia masak sementara Laras kini sibuk memotong daging untuk nantinya di tumis dengan bawang, cabai dan bumbu lainnya.
Keduanya tengah asik mengobrol sambil melakukan tugasnya saat ini membuat makanan, tapi semuanya terdiam dan menatap kearah lain begitu mendengar suara langkah kaki yang memasuki dapur.
"Non Ririn, cari apa ?"
Inem langsung berjalan kearah Ririn yang kini tengah berdiri di depan pintu dapur dengan wajah dan rambut yang kusut khas bangun tidur.
"Minta air dong!" ucapnya pada Inem yang langsung di turuti oleh Inem.
Laras terdiam ditempatnya, ia langsung menunduk begitu ia melirik kearah Ririn yang dengan sinis melihat kearahnya.
"Ini Non minumnya" ucap Inem sambil menyodorkan segelas air pada Ririn.
"Saya mau air dingin, gak mau yang ini!" Ririn langsung menangkis tangan Inem yang menggenggam gelas itu, meski pelan, namun itu mampu membuat gelas itu langsung terjatuh.
Prang!
Suara pecahan gelas beling yang menabrak lantai itu berhasil membuat orang yang ada disana kaget, kecuali Ririn yang hanya memandang gelas pecah dengan pandangan malas.
"Aduh gimanasi Bi! megang gelas aja gak bener, lemah banget!" omel Ririn dengan ketus sambil menggerak-gerakan kaki mulusnya yang terkena cipratan air yang tumpah dari gelas itu.
"Maaf Non, maaf"
Inem berkali-kali hanya meminta maaf, tangannya terus memungut satu persatu pecahan kaca yang berserakan sementara Laras terlihat masih Shock dengan semua kejadian yang baru saja terjadi, bahkan ia tidak sadar kalau kakiknya terluka karena pecahan gelas itu yang terpental sampai mengenai telapak kakiknya.
"Aduh! Ambilin dulu minumnya, baru beresin, gue haus banget tau sekarang!"
Laras langsung tersadar dengan ocehan ketus dan gak sopan Ririn, dengan cepat Laras menunduk. "Udah Bi, bibi ambilin minum aja, ini biar saya yang beresin" ucap Laras tepat di telinga Inem yang kini terlihat takut.
Inem langsung menyetujui ucapan Laras, ia kembali mengambil gelas bersih dan menuangkan air dingin dari dalam kulkas dan memberikannya pada Ririn.
Dengan cepat Ririn langsung mengambil gelas itu, ia menegak air dingin itu hingga tandas tak bersisa, mengembalikan gelas itu ketangan Inem dan melihat kearah Laras yang masih memungut pecahan kaca "Bersihin sampai bersih, awas aja kalau ada kaki yang terluka pas masuk dapur karena injak pecahan kaca!"
"Baik Non" ucap Inem dengan wajah menyesal tertunduk penuh takut.
"Buat lo..." Ririn melirik kearah Laras. "Heh! Sekertaris simpanan"
Laras terdiam. "Gua denger tadi si Buta manggil-manggil lo tuh" ucap Ririn dan setelah langsung berjalan pergi.
Si Buta ? Maksudnya... Pak Rafan ?!
Auw!
Akibat terlalu panik, ia menggenggam kaca itu dengan kuat hingga membuat beberapa jarinya terluka.
"Aduh Mba Laras hati-hati, sini biar bibi saja"
Laras menggeleng sekilas. "Bi, Pak Rafan bilang dia mau sarapan di kamar pagi ini, aduh gimana nih, belum ada yang matang kan masakannya" ucap Laras yang langsung bangun dan tanpa merasa sakit langsung membilas luka di jarinya yang langsung membuat Inem memandang penuh nyeri kearah Laras.
"Gimana ya Bi ? saya harus siappin apa"
Inem mencoba menenangkan Laras. "Mba Laras gak usah panik, sekarang Mba Laras naik saja keatas, pasti den Rafan manggil Mba Laras karena dia mau mandi, den Rafan itu biasanya sarapan setelah mandi, jadi sekarang Mba Laras naik saja, nanti kalau masakannya sudah matang biar bibi antar keatas"
"Tapi ini..." Laras memandang pecahan kata yang masih belum bersih "Saya selesaiin ini dulu ya..." ucap Laras, baru ia ingin kembali membersihkan, tangannya ditahan oleh Inem "Gapapa Mba, gausah, biar Bibi saja, sebaiknya Mba Laras cepat naik keatas soalnya den Rafan suka marah kalau menunggu lama"
Laras terdiam, dia memandang Inem dengan perasaan tidak enak. "Maaf ya Bi, gak bisa bantuin" ucapnya yang langsung dijawab anggukan lengan dengan senyum oleh Inem. "Gak apa-apa Mba" jawabnya.
***
"Ck! kemana Dia sebenarnya!?"
Rafan menyingkap selimutnya dan mencoba turun dari ranjangnya karena Laras tak kunjung merespon panggilannya, bahkan saat ia menelepon ponsel wanita itu dengan cara menekan angka satu pada ponselnya, itu langsung menghubungkan panggilan Rafan ke nomor sekertarisnya itu.
Kakinya mulai menyentuh dinginnya lantai marmer, dia harus cepat melangkah ke kamar mandi kalau tidak mau kasurnya basah karena air seni nya keluar dengan terpaksa.
Rafan bangun dari duduknya, ia mulai melangkah sambil meraba-raba apapun yang bersentuhan dengan telapak tangannya sambil menahan rasa tidak nyaman untuk buang air kecil.
Sial! kenapa letak kamar mandinya jauh banget!
"Auw!" ringis Rafan ketika jari kakinya menambrak sesuatu.
Terus, Rafan terus melangkah sambil meraba-raba, hingga tidak menyadari kalau langkah yang semakin mendekat kearah meja yang mana ada TV besar diatasnya.
Rafan terus berjalan sampai kakinya menendang meja dan....
Brak!
"Pak Rafan!"
Rafan jatuh kebawah dengan TV besar yang meniban dirinya, membuat Laras yang baru saja masuk kaget melihat kejadian di depannya.
"Pak Rafan! bapak gak apa-apa, Pak ?!"
Laras panik bukan main, apalagi melihat wajah Rafan yang terlihat begitu kesakitan dan mencoba menyingkirkan TV besar yang tentu saja tidak ringan.
"Pak Rafa..."
"Jangan cuma manggil nama saya, tapi bantuin!" bentak Rafan yang terlihat mulai kesal.
Laras merasa bodoh saat itu, namun tangannya bergerak mendirikan kembali TV besar itu dengan sekuat tenaga dan menarik Rafan keluar dari himpitan TV itu.
"Pak Rafan gak apa-apa Pak ?!"
Laras berniat kembali membantu Rafan, namun tangannya langsung ditepis kasar oleh bosnya itu. "Dari mana kamu hah ?! saya bayar kamu itu buat bantuin saya, bukan buat bikin saya celaka kayak gini!"
Wajah Rafan memerah sejadinya dengan nafas naik turun, terlihat kesal sekali di wajahnya.
"Mmm... maaf Pak" Laras hanya tertunduk, apalagi setelah melihat wajah Rafan dan layar TV yang terlihat banyak goresan.
"Dasar gak berguna!" gumam Rafan masih diiringi dengan perasaan kesal.
"Rafan!"
Tok...Tok!
Seiring suara ketukan pintu diikuti dengan suara berat milik ayah Rafan, sepertinya Laras merasa kalau hari ini adalah hari terakhirnya berada di rumah ini.
"Buka sana pintunya!" titah Rafan masih dengan raut wajah kesal.
Laras mengangguk kaku, menuruti perintah Rafan dengan perasaan takut bukan main, bahkan saat Dia memegang gagang pintu dan ingin membukanya tangannya gemetaran bukan main.
"Rafan!"
Tepat disaat Laras membuka pintu, suara Nareswara kembali terdengar bahkan lebih keras dari sebelumnya dan terlihatlah wajah ayah Rafan, beserta dengan istri, Ririn dan Bi inem.
"Astaga Rafan!" ucap Naresawara begitu melihat kondisi putranya saat ini, tergeletak di lantai dengan TV besar yang jatuh kebawah, wajahnya terlihat kaget dan khawatir.
"Laras, ada apa ini ? kenapa Rafan bisa sampai begini ?!"
Laras terdiam dengan wajah pucat pasi, hanya bisa berdiri menunduk dengan kedua tangan terpaut yang kini semakin lama semakin dingin.
"Saya tanya, ada apa ini!?" tanya Nareswara kembali dengan tegas.
Semua orang kini menatap kearah Laras yang seperti tersangka utama yang sedang di dakwa, rasanya Dia ingin menangis saat itu juga, ini memang salahnya yang tidak becus dalam bekerja, tapi dia takut mengakuinya, apalagi saat ia melihat tatapan menuntut dari orang-orang yang menatapnya.
Hanya hening, Laras tak juga menjawab pertanyaan Nareswara.
"Sudahlah Pah, saya yang salah" Rafan, pria itu akhirnya angkat suara yang sontak langsung membuat Laras menatap kearahnya.
"Bagaimana bisa kamu yang salah ?!" tanya Nareswara masih merasa tidak puas dengan jawaban anaknya.
"Iya, panjang ceritanya, pokoknya aku yang salah"
Nareswara tak mendebat lagi, dia hanya menghelah nafas dan mulai menyentuh tangan anaknya. "Ayo, Papah bantu kamu berdiri" ujarnya yang langsung mengalungkan lengan Rafan ke lehernya dan membawanya ketempat tidur.
Bagaimana kondisi Laras ? Dia masih berdiri diambang pintu dengan kepala tertunduk yang di belakangnya sudah berdiri Nyonya Nareswara, Bi Inem dan Ririn.
"Den Rafan tidak apa-apa ?" tanya Inem merasa khawatir.
"Gak apa-apa kok Bi"
Rafan kembali berbaring dengan kakinya yang kini terlihat membiru, mungkin akibat terbentur meja dan tertimpah TV besar.
"Kamu yakin tidak apa-apa ? kamu gak mau ke dokter ? atau papah hubungi dokter untuk datang ke rumah"
Rafan langsung menggeleng begitu mendengar saran tawaran yang diberikan ayahnya. "Ngak Pah, Rafan istirahat sebentar aja, lagian pagi ini Rafan masih harus ke kantor" ucapnya.
"Ck! masalah kontor masih kamu pikirin, itu bisa diatur, nanti papah suruh Seno untuk handle semuanya"
"Gak usah Pah" tolak Rafan lagi yang langsung membuat ayahnya tak bisa mendebat.
"Heran deh kenapa gak ketenangan di rumah ini, tadi si Inem mecahin gelas, sekarang lo drama ketindih TV, Drama!" sahut Ririn yang lalu mengibaskan rambutnya dan beranjak pergi meninggalkan kamar Rafan yang di susul oleh ibunya.
"Yaudah Pah, aku mau istirahat sebentar" ujar Rafan yang secara halus mengusir ayahnya.
"Yasudah, Papah keluar dulu, kamu istirahat" bersamaan dengan ucapanya, Dia mengelus rambut anaknya dan beranjak pergi dari sana.
"Bibi ambilin sarapan ya buat den Rafan" ucap Inem yang lalu pergi juga dari kamar tuan mudanya.
Tinggalah mereka berdua disana, Laras yang masih berdiri diambang pintu dan Rafan yang kini terbaring di ranjangnya.
Hening, baik Rafan dan Laras tak ada yang saling bersuara dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Jangan cuma diam, cepat bereskan semuanya" ucap Rafan akhirnya, pria itu seperti tau kalau disana masih ada Laras, bukan hanya dirinya walaupun tidak bisa lihat.
"I.. iya Pak"
Laras membereskan semua kekacauan yang membuatnya berasa menjadi manusia paling bersalah di dunia, dia mengangkat TV besar itu sendiri, menaruhnya kembali diatas meja seperti buffet dengan sekuat tenaga, tanpa mengeluh, sejenak tatapannya terpaku pada layar besar TV itu yang retak bagaikan dinding tembok.
Berapa Dia harus mengganti ini ?
Hanya pertanyaan itu yang kini terlintas dibenaknya, menatap nanar dengan bahu lemas bukan main, belum lagi ketika ia melihat kebawah lantai yang mana banyak berserakan barang-barang pecah belah yang kini juga hancur seperti gelas tadi.
Laras mulai memunguti satu persatu serpihan kaca-kaca itu, tak jarang jari tangannya tertusuk serpihan kaca itu, bahkan luka jarinya yang ia dapat sebelumnya, kini semakin terkoyak karena ditambah dengan goresan serpihan kaca yang baru.
Dalam diam, Laras menahan tangisannya, namun semua itu ada batasnya, sambil terus memunguti serpihan kaca itu seiring itu juga air matanya luruh keluar membasahi pipinya, tanpa isakan, tanpa rengekkan, Laras menangis dalam diam.
Dia sering mendapat bentakkan ibunya, tapi tak pernah sampai sesakit ini ketika ia mendengar bentakan Nareswara yang sambil memandangnya dengan penuh tuduhan.
Dia sering mendapatkan penolakan dari siapapun, tapi tak pernah sampai sesakit ini ketika Bosnya sendiri yang melakukan padanya, Dia takkan pernah melupakan cara Rafan yang dengan kasar menangkis tangannya, berkata keras dengan pandangan begitu marah.
Yaallah, aku ingin mundur, tapi ini bahkan baru awal, pantaskah aku ?
Tok... Tok...
Laras segera menyeka air matanya, bergegas membuka pintu yang ternyata itu Bi Inem yang membawa nampan berisi sarapan untuk Rafan.
Inem memperhatikan Laras sejenak, Dia melihat wanita itu tersenyum, namun penuh kesedihan.
"Ini Bi Inem bawain sarapan untuk aden" ucap Inem sambil berjalan kearah Rafan dan menaruh nampan itu di nakas sebelah ranjang majikannya.
"Den Rafan beneran tidak apa-apa ?" tanya Inem yang lalu melihat kearah kaki Rafan "Kaki aden biru, mau bibi pijettin ?"
"Gak usah Bi"
Inem tak mendebat, namun ia mengalihkan pandangannya pada Laras, melihat dari atas sampai bawah. "Mba Laras masih belum obatin kakinya, nanti semakin parah loh kalau tidak diobati"
Laras tak menjawab, hanya menyunggingnya senyumman tipis.
"Memang kaki kamu luka ?" Rafan bertanya begitu mendengar Inem bicara soal luka.
"Iya Den, mungkin kena pecahan kaca, tangannya juga tadi kena kan, Mba ?"
Laras lagi-lagi tidak menjawab, Dia kini berjalan kearah dimana letak sapu berada dan mulai menyapu lantai, melanjutkan tugasnya merapikan kekacauan.
"Sudah Mba gak usah di bereskan, Biar bi Inem saja yang bereskan nanti" larang Inem yang tidak digubris oleh Laras, ia kembali beralih pada Rafan. "Den Rafan mau sarapan sendiri atau Bi Inem suapi ?"
"Kenapa kamu ngebuat saya jadi kelihatan jahat ?" ucap Rafan dengan pandangan lurus kedepan, membuat Inem dan Laras memandang kearahnya.
"Kalau kamu terluka harusnya bilang, saya gak akan suruh orang sakit kerja, kenapa kamu bikin saya jadi orang yang kelihatan gak punya hati, Laras" Rafan kembali melanjutkan ucapannya yang langsung membuat Laras berhenti dari aktivitasnya.
"Mmm.. Maaf Pak"
Rafan mengelah nafas begitu mendengar ucapan Laras "Hah... Lagi-lagi kamu buat saya kelihatan gak punya hati, Laras." ucapnya dengan pandangan malas. "Pergi, obatin lukanya dulu"
"Mba Laras mending obatin lukanya dulu, terus sarapan, den Rafan biar Bi Inem yang jagain"
"Cepat, jam sembilan kita langsung pergi ke kantor" sahut Rafan seolah setuju dengan ucapan Inem.
"B..baik Pak"
Laras pun segera pergi dari kamar itu, meninggalkan Rafan dan Inem yang kini tengah menyuapi sarapan majikannya.