Mobil sedan berjalan di tengah sepinya jalan dan dinginya malam, pesta mewah itu sudah berakhir dan waktu saat ini menunjukkan pukul tiga pagi, Seno sudah tertidur begitu mereka masuk kedalam mobil, sementara saat ini hanya tinggal tiga orang yang masih terjaga, yaitu supir, Laras dan Rafan yang kini duduk bersebelahan di kursi penumpang.
Sejak kepulangan mereka dari pesta tersebut, tak ada yang saling bicara ataupun bertanya, mungkin karena mereka terlalu lelah, tapi entah kenapa Laras merasa tetap ada yang janggal, apalagi dari sikap bosnya yang seolah acuh padanya.
Dia tau kalau Rafan memang orang yang seperti itu, tapi entah kenapa Dia tetap merasa ada yang janggal dari sikap Bosnya pada dirinya dan entah kenapa, perasaan tidak enak hati begitu terasa saat ini, bahkan bukan cuma tidak enak hati yang ia rasakan, tapi juga rasa malu yang begitu mendalam, bahkan untuk sekedar mengangkat kepala saja rasanya sangat berat untuk Dia lakukan.
Laras memandang sebuah kalung liontin berwarna putih dengan bentuk hati terbelah yang kini berada di tangannya, mereka bilang manik-manik mata yang menghiasi hati itu adalah berlian asli yang bisa dijual.
Dia berciuman hanya untuk ini ?
Javas, demi tuhan Laras berharap tidak akan pernah bertemu dengannya lagi, Pria sinting itu ternyata bukan hanya sinting tetapi juga licik, demi menjadi pemenang dia menghalalkan segala cara, merugikannya dengan merebut ciuman pertama miliknya, membuatnya bukan hanya harus menanggung malu, tetapi juga menanggung beban psikis karena kaget.
Brengsek!
Jika Dia mengingat Pria itu, entah kenapa pasti ia ingin mengumpat, lelaki yang dengan seenak jidat menciumnya demi sebuah liontin berlian, bahkan tanpa meminta maaf dan merasa bersalah Javas dengan mudah membagi hadiah yang kami dapatkan dengan penuh kebahagiaan.
Apa Bibirnya semurah itu ? sampai ia sebegitu tidak menghargai apalagi sekedar bertanya terlebih dahulu sebelum menciumnya ?! Dia bahkan langsung Pergi begitu saja setelah mendapat hadiahnya, Sialan!
"Apa hadiahnya ?"
Laras tersentak dari lamunan, segera menaruh liontin itu kedalam tas kecilnya, lalu melihat kearah Rafan.
"Ya ?"
Rafan menghelah nafas "Saya tanya, kamu dapat hadiah apa ?" ucapnya lagi.
"Oooh... mmm... Liontin" pelan, pelan sekali Laras menjawab pertanyaan Rafan, ditambah dengan kepala yang menunduk, membuat suaranya semakin redup.
Selanjutnya dia mendengar helah nafas Rafan sambil menunjukkan senyum, senyuman yang membuat ia sangat tersinggung ketika mengintipnya. "Liontin ? Asli atau Palsu ?"
"Mmmm..."
"Sudah pasti Asli ya, orang kaya gak mungkin ngasih barang Palsu" sambung Rafan lagi ketika Laras ingin menjawabnya.
Namun selepas Rafan bicara, hati Laras seperti tersentil oleh ucapan dan nada bicara bosnya yang begitu meremehkan, angkuh dan terkesan sombong di telinga Laras.
Ya, orang kaya memang tidak akan membeli barang murah, apalagi barang palsu, Dia tau itu, sangat tau dengan jelas.
Berbeda dengan dirinya yang bahkan harus membeli barang imitasi demi punya tas yang mirip dengan tas branded, lalu di bully semua orang karena dianggap tidak menghargai karya orang.
Iya, Dia tau itu, tau!
Lantas mengapa ?
Dia tau pikiran bosnya saat ini yang pasti sedang merendahkannya, berciuman dengan pria demi sebuah hadiah, iya kan ? pasti begitu.
"Kamu kenal dari mana pasangan dansamu ?"
Dari manapun apa urusannya denganmu, Hah ?!
"Kamu bisa ya berciuman dengan orang yang baru kamu kenal"
Laras menghembuskan nafas, berkali-kali ia mengingatkan diri untuk tetap sabar dan tidak lepas kendali, walaupun hatinya sakit dengan ucapan ngaco dari mulut pedas bosnya.
Laras hanya bisa terdiam, seolah ia menerima semua ucapan Rafan yang dengan sok tau mengambil kesimpulan tentang dirinya.
Kita gak butuh menjelaskan siapa diri kita, ketika memang orang lain bisa menilai sendiri dengan benar, maka seharusnya dia tau apa yang harus dia nilai, itulah prinsipnya selama ini.
"Besok kita berangkat ke kantor agak siang, tapi saya mau kamu siapkan sarapan dan bawa ke kamar saya, saya mau sarapan di dalam kamar" ucap Rafan sambil semakin menyenderkan dirinya pada kursi.
"Baik Pak"
"Pak, kita ke rumah Seno dulu" perintah Rafan pada sang supir.
Tak ada permbicaraan lagi, selama perjalanan hanya deru nafas Seno yang terdengar di dalam mobil ini.
***
"Assalamualaikum warrahmatullah, assallamualaikum"
Laras membuka mukenanya begitu ia selesai sholat dan berdoa, melipat dan menaruhnya kembali dengan rapih ditempat semula, riasan di wajahnya masih terlihat jelas dan sama sekali tidak luntur walau sudah terkena air wudhu, Dia baru saja pulang beberapa menit yang lalu dan pada saat mereka sampai, sewaktu membuka pintu mobil, adzan subuh langsung terdengar, maka setelah mengantar Rafan ke kamarnya, dia langsung mengambil wudhu dan masuk kedalam kamarnya yang terletak di samping kamar Rafan untuk sholat subuh.
Laras menatap pantulan dirinya di kaca, mulai mengambil kapas dan menuangkan micellar water untuk menghapus make upnya, untuk make upnya tidak terlalu tebal jadi mungkin dua kali pembersihan sudah langsung bisa cuci muka.
Memang beda kalau Make up artis yang make uppin.
Laras dengan teliti memberisihkan setiap sisi wajahnya, bahkan di bagian-bagian yang sulit seperti mata, wajah asli tanpa make upnya mulai kelihatan, mata panda yang tertutup concellar mulai kelihatan menggelap, bintik-bintik jerawat di pipinya juga semakin terlihat.
"Hah... Makin hitam aja nih pasti, apalagi malam ini gak tidur begini" gumam Laras begitu mengusap area matanya yang semakin menjadi mata panda.
Wajah melirik jam waker yang ada di meja riasnya, pukul setengah enam pagi... fix sekali Dia sudah tidak ada waktu untuk tidur, sebentar lagi sarapan dan Dia sudah punya tugas untuk membangunkan dan membawa sarapan Bosnya kedalam kamarnya, sementara ucapan Rafan yan bilang kalau hari ini mereka berangkat ke kantor lebih siang itu adalah jam sembilan.
Selesai merapikan make up, Laras langsung berganti baju lalu merebahkan badannya di kasur dengan mata menatap langit-langit kamar.
"Yang berciuman itu, silakan maju, kalian menang!"
Ucapan MC itu kembali terlintas dalam pikirnya, lengkap dengan adegan laknat yang Laras benci, sambil menghelah nafas, Laras menyentuh bibirnya, mengusap-usap sambil memikirkan wajah....
"Hoek!"
Laras seketika bangun dari pembaringan, ia mengusap bibirnya semakin kasar, sambil menirukan wajah mualnya mengingat kejadian semalam.
"IH!!"
Laras berlari ke toilet yang tersedia di dalam kamarnya, dengan cepat langsung menyalakan keran westafel yang ada, membungkukkan wajahnya sambil terus menggosok-gosok bibirnya dengan tangan.
Seharusnya memang yang ia lakukan adalah menonjok wajah pria bernama Javas itu, bukan malah diam seperti orang bodoh.
Dia sudah merasakan tangannya yang gatal ingin meninju wajah sok ganteng itu, tapi kebodohannya itu malah dia tahan dan dia simpan di dalam hati.
Laras Bodoh!
Dia tarik kembali keinginannya berharap tidak bertemu Javas lagi, Dia ingin bertemu pria itu sekali lagi, Dia ingin menonjok wajahnya lalu menendang selangkangannya itu dengan kaki dan tangannya sendiri.
Javas Sialan!