Chapter 81 - I Can't...

Emily pasti tak menyangka bahwa ia akan dilabrak oleh seorang wanita bernama Dira dan mengaku merupakan calon istri Arya yang sebenarnya. Kini setelah Dira pergi, Emily terduduk di salah satu sofa di ruang tengah dan mulai menangis sendirian.

Dari awal Emily sebenarnya tidak ingin lagi mengambil resiko patah hati berhubungan dan pacaran dengan Arya. Ia tahu posisinya bukanlah gadis yang luar biasa. Emily cuma seorang gadis yatim piatu tanpa keluarga, tanpa pelindung dan hanya bisa mengandalkan dirinya. Ia sudah hidup sendiri selama belasan tahun dan menerima banyak bullyan dalam hidupnya.

Bertemu Harry dari umur 14 tahun, Emily sempat merasa memiliki seseorang yang bisa melindunginya. Sampai orang tuanya meninggal dan Harry menjadi satu-satunya keluarga yang ia punya. Dan menikah dengan Harry adalah impiannya dulu sampai pria itu mengkhianatinya. Dalam rasa sakit hati dan kecewa, ia malah bertemu Arya di The Delacey saat sedang mabuk.

Emily sesungguhnya tidak begitu sadar telah mengajak Arya yang sedang duduk sendiri sambil minum untuk berkencan. Dan Arya malah membawa Emily ke apartemen mewahnya di Manhattan untuk mengobrol. Hanya mengobrol semalaman dan saling tertawa. Hal yang sudah lama tak dirasakan oleh Emily. Ketika kali kedua bertemu Arya dan sikapnya masih sama baik, Emily merasa sangat beruntung.

Saat itu ia merasa bahwa ternyata laki laki baik itu masih ada. Saat ia melihat Arya yang memberinya teh lemon agar mabuknya hilang lalu meminjamkannya kaos agar ia bisa beristirahat dengan nyaman tanpa berhubungan badan, Emily tak pernah merasa diperlakukan semanis itu. Meskipun keesokan harinya mereka tetap melakukannya tapi Emily sepenuhnya sadar apa yang ia lakukan dengan Arya karena bukan dalam keadaan mabuk.

Jika ia memang ingin jujur mengakui, Arya memiliki sudut spesial dihatinya namun Emily tidak ingin bermimpi terlalu tinggi. Apalagi setelah pelan-pelan Emily mengetahui siapa Arya dan latar belakang keluarganya.

Arya adalah seorang CEO dari perusahaan design yang iklannya sering ia lihat di Fifth Avenue di pusat Manhattan. Tak hanya itu, kini ia juga memiliki beberapa bank dan perusahaan konstruksi. Bandingkan dengan Emily yang hanya seorang dokter hewan yang sedang berusaha mendapatkan lisensi untuk membuka sebuah klinik hewan kecil di NY nanti. Itu pun jika ia mampu.

Emily masih terus menangis sampai dirinya puas. Tidak ada siapapun di rumah saat ini. Dan Arya mungkin baru akan pulang pukul 7 malam nanti. Ia kemudian mengeringkan air matanya dengan cepat sambil menenangkan diri. Emily masih punya waktu 30 menit untuk menata meja sebelum Arya pulang. Setidaknya jika terjadi sesuatu malam ini, ia sudah menyiapkan makan malam. Tidak baik bicara dengan perut kosong, begitu pikir Emily.

Arya tiba di Penthouse-nya tepat pukul 7 malam. Emily sendiri sudah selesai membereskan meja dan membersihkan diri. Ia duduk di depan meja makan ketika Arya masuk. Arya langsung tersenyum begitu melihat Emily menunggunya di rumah.

Belakangan Arya sangat bahagia ketika Emily memutuskan untuk tinggal bersamanya. Penthouse-nya sudah tidak sepi lagi. Ada sentuhan wanita yang membuat seluruh ruangan menjadi hangat. Setiap hari, Arya jadi punya alasan untuk pulang. Jika dulu setelah bekerja ia akan menghabiskan waktu di luar bersama Bryan atau teman-temannya yang lain, kini ia lebih suka pulang awal dan menghabiskan waktu bersama kekasihnya di rumah.

"Hi, Kitten. Wah kita mau makan malam ya? Hhmm... aromanya enak sekali!" Emily hanya tersenyum kecil ketika Arya berkomentar sambil mencium keningnya.

"Tunggu aku ya, aku mandi dulu sebentar!" ujarnya lagi sambil tersenyum lebar. Ketika Arya sedang berada di kamar mandi, Emily mengganti pakaiannya dan menyiapkan jaket di dekatnya. Arya keluar kamar dalam keadaan segar dan memakai baju yang lebih santai. Kaos lengan panjang warna abu-abu dan celana jeans hitam.

"Ayo kita makan. Aku sangat lapar," ujar Arya sambil tersenyum lebar. Emily pun mengambil piring penuh makanan untuk Arya lalu meletakkan di depannya sambil tersenyum. Mereka mulai makan malam saling berhadapan. Emily terlihat sangat pendiam dan tidak bicara sama sekali selama makan malam. Dan Arya mulai merasa Emily agak sedikit aneh.

"Kamu baik-baik saja, Kitten?" tanya Arya masih sedang makan. Emily hanya mengangguk dan sedikit tersenyum.

"Kenapa kamu sangat pendiam, ada apa?" tambah Arya lagi. Dan Emily hanya membalasnya dengan senyuman kecil. Belum selesai makan, Arya bangkit dari kursinya. Ia merasa ada yang salah dengan Emily. Ia menarik kursinya untuk pindah ke samping Emily.

"Apa ada yang terjadi, apa kamu sakit Kitten?" tanya Arya lagi. Wajahnya mulai khawatir. Kali ini Emily diam dan memandang Arya.

"Aku ingin... keluar sendirian!" sahut Emily dengan suara kecil. Kening Arya lantas mengernyit heran mendengar jawaban Emily.

"Kenapa? Kemana?"

"Kemana saja selain disini!" jawab Emily singkat sambil meminum air. Ia mengelap dengan cepat sudut bibirnya dan berdiri lalu mengambil jaket serta memakainya. Arya spontan panik dan ikut berdiri.

"Hey, apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Arya makin bingung.

"Aku perlu tempat untuk berfikir, aku tidak akan pulang malam ini!" sahut Emily membuat Arya makin panik dan menahan lengan Emily.

"Apa! Tidak... kamu mau kemana? Jelaskan padaku, apa yang sebenarnya terjadi!"

"Ini tidak akan berhasil, Arya!" ujar Emily dengan mata berkaca-kaca.

"Apanya yang tidak berhasil?"

"Hubungan kita! Aku tidak sanggup melakukan ini lagi!"

"Tunggu dulu! Apa yang sedang kamu bicarakan, Kitten... aku..." suara Arya mulai meninggi dan frustasi.

"Apa yang kamu harapkan dariku? Pada akhirnya kita hanya teman tidur saja, aku tidak bisa lagi melakukan ini!" Emily mulai menangis dan berjalan ke arah pintu.

"Tunggu Sayang, jangan pergi beritahu aku kenapa kamu tiba-tiba berpikir seperti ini?" tanya Arya memelas sambil menahan lengan Emily.

"Hubungan apa yang kita punya saat ini? Kita hanya punya hubungan biasa dengan seks. Aku tidak ingin jadi mainanmu lagi Arya, aku tidak bisa. Aku harus pergi!"

"Kamu bukan mainanku, Emily. Apa yang sedang kamu katakan?"

"Jadi perasaan apa yang kamu miliki untukku saat ini?" Emily langsung memberi Arya pertanyaan yang membuatnya malah terdiam. Ia bingung harus menjawab apa.

"Itulah jawabanmu," sahut Emily lagi. Emily memandang Arya sambil menangis membuka pintu dan langsung pergi. Arya tidak tau harus berbuat apa. Dia bingung harus seperti apa menahan Emily. Hal yang ditakutkannya akhirnya terjadi. Saat ia ragu apa yang ia rasakan pada Emily, saat itu Emily bisa membaca ketidakpastian dari hubungan mereka. Benarkah Arya hanya memanfaatkan gadis itu untuk kepentingannya saja. Ia bertindak seperti seorang kekasih tapi tidak tahu apa yang ia rasa dalam hatinya.

Arya lalu duduk di sofa sambil memegang wajah dengan kedua tangannya. Apa yang harus ia lakukan? Kemana Emily akan pergi dan tidak pulang. Setelah lama berpikir akhirnya Arya memutuskan untuk tidak mengganggu Emily sementara agar ia tenang. Esok dia akan berbicara lagi dengan Emily. Arya lalu membereskan meja dan mencuci piring bekas makan malam. Setelah mengeringkan tangan ia pun keluar penthouse menuju tempat Bryan. Ia butuh teman bicara.