Bryan mengenggam tangan Nisa sewaktu masuk ke hotel untuk memenuhi janji makan malam dengan Arya dan Emily. Malam ini adalah malam ulang tahun Arya dan Bryan ingin merayakannya bersama. Karena esok hari ia akan pulang ke rumah dan merayakan bersama keluarga. Maka malam ini Bryan, Nisa, Arya dan Emily memutuskan untuk merayakannya dengan makan malam di salah satu hotel.
Sampai di meja, Arya dan Emily sudah berada lebih dulu. Bryan langsung semringah memeluk dan mengucapkan selamat ulang tahun pada Arya. Demikian pula Nisa yang memberi ciuman di pipi Arya. Arya pun akhirnya memperkenalkan Bryan dan Nisa pada Emily. Mereka berempat akhirnya duduk dan mulai makan malam. Emily yang baru pertama kali bertemu Nisa langsung akrab dengannya.
"Kamu tau tidak, mereka akan menikah bulan depan," ujar Arya seolah berbisik pada Emily meski suaranya masih bisa terdengar jelas oleh Nisa dan Bryan. Emily langsung menepuk kedua tangannya dengan antusias mengucapkan selamat.
"Oh, selamat Nisa. Aku sangat senang mendengarnya!" Nisa tersenyum tapi tidak terlihat bahagia, sementara Bryan terus semringah mendengar Arya bicara. Bryan tidak bisa menyembunyikan rona bahagianya menjelang hari-hari pernikahannya. Ia lebih banyak tersenyum dan begitu bahagia.
Nisa tidak menjawab ia hanya memilih minum air putih dan tersenyum tipis. Semua orang kini sudah tau bahwa ia akan menikah dengan Bryan, meski Nisa sendiri bahkan belum menyatakan akan menikah dengan Bryan. Situasi yang membingungkan. Tanggal pernikahan sudah ditetapkan sebelum dia menerima lamaran. Kini Bryan tidak pernah pergi kemana pun tanpa Nisa. Nisa sebenarnya risih tapi belum bisa berbuat apa-apa.
Emily adalah kenalan yang menyenangkan. Nisa senang bisa berkenalan dengannya. Selama makan malam, hanya mengobrol dengan Emily yang menjadi hiburannya. Mereka bahkan bertukar nomor ponsel dan mengobrol banyak hal. Nisa sangat tertarik dengan pekerjaan Emily sebagai dokter hewan. Ia jadi ingin mengunjungi tempat kerja Emily jika weekend nanti.
Sementara Bryan dan Arya masih asik terus mengobrol urusan pria. Tak jarang keduanya kadang tertawa satu sama lain. Mereka tinggal satu tower, bekerja di satu kantor tapi masih tak habis bahan untuk mengobrol. Meskipun begitu belakangan mereka jarang bertemu. Semenjak menjadi anggota dewan direksi di salah satu bank, Arya sudah sulit ditemui di Penthouse. Sehingga untuk makan malam saja mereka harus membuat janji.
Makan malam itu dilewati dengan sangat menyenangkan, sampai tiba kejutan dari Bryan yang memesan kue, mengucapkan permintaan dan meniup lilin. Pukul 10 malam mereka berpisah, Emily bahkan memeluk Nisa sebelum ia masuk ke mobil.
Bryan dan Nisa lalu diantar oleh beberapa pengawal Bryan seperti biasa. Sedangkan Arya dan Emily mengendarai mobil sendiri. Perjalanan mengantar Nisa pulang dilalui tanpa bicara. Bryan masih sibuk dengan ponselnya membalas beberapa email penting mengenai pekerjaan. Sedangkan Nisa hanya memandang keluar jendela melihat gemerlapnya lampu jalanan ibu kota.
"Apa yang kamu pikirkan, Snowflakes?" bisik Bryan tiba-tiba memeluk pinggang Nisa. Nisa refleks ingin melepaskan pelukan Bryan. Ia melirik pada dua pengawal yang duduk di kursi depan diam dan hanya tersenyum. Tapi Bryan tidak melepaskan pelukannya
"Nisa gak pikirin apa-apa, cuma melihat pemandangan di luar aja." Bryan tersenyum lalu mencium pundak dan leher Nisa.
"Kak, gak enak dilihat mereka," bisik Nisa takut terlihat oleh pengawal Bryan sambil tangannya berusaha melepaskan rangkulan. Tapi Bryan tidak mau melepaskannya.
"Dua jam Kakak gak ketemu kamu hari ini. Kamu malah minta Kakak gak peluk dan cium kamu, kamu gak tau kalo Kakak kangen, Snowflakes," balas Bryan lembut. Nisa memandang tidak percaya. Mau berapa lama Bryan akan menempel seperti itu?
"Itu cuma dua jam bukan dua hari!"
"Kalo dua hari Kakak bisa mati!" sahut Bryan cepat. Nisa tergelak sinis mendengar jawaban Bryan. Yang benar saja! Tak sanggup berdebat, akhirnya Nisa menyerah membiarkan Bryan memeluknya. Tapi Nisa tak mau melihat Bryan dan lebih memilih pemandangan di luar.
"Apa kakak selalu seperti ini sama pacar-pacar Kakak yang dulu?" tanya Nisa tiba-tiba
"Gak!"
"Lalu apa yang Kakak lakukan?" Bryan terdiam sejenak sambil mengernyitkan keningnya. Ia masih memandang sisi wajah cantik Nisa yang tak mau melihatnya.
"Sesuatu yang kamu gak perlu tau," jawab Bryan. Nisa diam sejenak lalu menoleh pada Bryan yang berada begitu dekat dengannya.
"Seks? Apa itu yang Kakak lakukan?" tanya Nisa dengan nada suara setengah berbisik. Bryan diam saja ia tidak tau harus merespon seperti apa.
"Kakak gak pernah melakukannya lagi setelah bertemu kamu, Snowflakes." Nisa memalingkan wajahnya lagi menatap pemandangan keluar yang sempat ia tinggalkan. Bryan masih menerka-nerka apa yang dipikirkan calon istrinya. Nisa menyembunyikan banyak hal dan Bryan masih menunggu dengan sabar agar ia mau menceritakannya sendiri.
Jemari Bryan lalu menyentuh pipi Nisa, dan Nisa menoleh lagi memandang mata coklat Bryan.
'Apa yang aku harapkan dari Bryan Alexander sebenarnya?' tanya Nisa dalam hatinya tiap saat.
"Kamu masih anggap Kakak mempermainkan kamu, Snowflakes?" Nisa tidak menjawab dan hanya terus memandangi Bryan.
"Apa yang harus Kakak lakukan agar kamu percaya Kakak hanya mencintai kamu?" wajah Bryan mulai sendu. Ia tau jika Nisa tak merasakan hal yang sama.
"Kenapa Kakak tidak melepaskan Nisa?" Bryan menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Sudah, selama 12 tahun Kakak kabur ke New York. Kakak mencoba menghilangkan kamu dari hati, tapi gak berhasil. Kakak pikir tidur dengan banyak wanita bisa buat kamu hilang dari hati kakak, gak Snowflakes. Gak sedikitpun!" jawab Bryan setengah berbisik.
"Lalu kenapa Kakak dulu mencium Nisa tapi malah pergi?" tanya Nisa lagi dengan mata berkaca-kaca.
"Karena Kakak ingin memiliki kamu tapi gak bisa." Nisa mendengus sinis dan tergelak lalu membuang pandangannya keluar jendela. Seketika ada keinginan di hati Nisa yang ingin dilakukannya untuk Bryan. Rasa sakit karena kepergian Bryan muncul lagi.
Sementara Bryan akhirnya hanya bisa menegakkan lagi tubuhnya, ia melepaskan pelukannya pada Nisa. Ada rasa sakit di tolak Nisa yang Bryan rasakan dalam hatinya. Bryan merasa ia sudah menyakiti Nisa dan tapi ia tak tau apa.
Perjalanan pulang sampai rumah Nisa hanya dihiasi sepi. Tak ada satupun dari mereka yang bicara lagi. Bryan sesekali hanya bisa melirik Nisa yang terus memandang keluar. Bryan tengah berpikir keras tentang apa yang harus ia lakukan agar Nisa percaya padanya. Sementara Nisa terus berpikir bagaimana caranya membalas rasa sakit yang diberi Bryan selama 12 tahun lebih padanya.
Sampai di rumah Nisa, Bryan mengantarnya sampai pintu masuk. Sebelum Nisa masuk, Bryan tersenyum kecil dan mencium kening Nisa.
"Good night my Snowflakes, mimpi indah Sayang," ujarnya sambil memegang pipi Nisa lembut. Nisa sejenak terdiam lalu kemudian merespon
"Nisa gak pernah lagi mimpi indah," jawab Nisa kemudian langsung berbalik masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Bryan yang mengernyitkan kening kebingungan di depan pintu yang tertutup. Beberapa saat kemudian baru Bryan berjalan kembali ke mobilnya dengan pikiran yang penuh tanda tanya. Mengapa Nisa bisa bicara seperti itu? Firasatnya mengatakan akan ada hal yang tidak ia inginkan akan terjadi pada hubungan mereka. Dan ia terus berdoa dalam hati semoga itu bukanlah perpisahan.