BANDARA INTERNASIONAL LOMBOK
Bryan duduk sendiri menunggu keberangkatan pesawatnya malam ini. Sedangkan Nisa memilih duduk jauh darinya bersama Arya. Dua bangku dari Bryan duduk pengawalnya dan Juan yang sedang menelepon. Bryan hanya bisa melipat kedua tangannya di dada memandang Nisa dan Arya yang mendiamkannya sejak siang.
Hal itu terjadi usai Nisa dan Arya melihat Bryan keluar dari kamar Berlian tadi pagi. Bryan jadi mendapat hukuman dengan didiamkan seperti itu. Hanya bisa mengatupkan bibir tanpa bisa berbuat apapun cukup menyiksa bagi Bryan, karena tak hanya Nisa namun Arya juga ikut ikutan marah padanya.
Padahal Bryan sebenarnya ingin menjelaskan bahwa ia tertidur di kamar Berlian karena bermain catur semalaman bersama Lian. Ia bahkan tertidur di sofa dan Lian tidur dikamar sendiri dengan pintu kamar terkunci. Namun sepertinya, baik Arya maupun Nisa tidak memberikan Bryan kesempatan untuk bicara dan menjelaskan semuanya.
Malangnya nasib Bryan, Nisa bahkan terus menghindar untuk bicara dengannya. Rencana Lian malah menjadi boomerang baginya. Tapi Lian mungkin ada benarnya, dia merasa Nisa mulai memiliki perasaan padanya. Jika tidak mengapa ia harus marah. Bagi Bryan, Nisa terlihat seperti tengah cemburu. Bryan jadi senyum senyum sendiri membayangkan kecemburuan Nisa. Jika memang benar ia cemburu maka selangkah lagi Bryan bisa melakukan rencananya.
Bryan memang sudah merencanakan sesuatu di kepalanya soal hubungannya dengan Nisa. Rencana itu tinggal sedikit lagi sampai ia kembali ke Jakarta dan berbicara dengan Hans Ayahnya dan jika bisa ia juga ingin mengatakannya pada Darren.
Bryan terus memandangi Nisa yang duduk tepat di depannya dan berusaha tidak menoleh pada Bryan. Ketika Nisa tidak sengaja menoleh pada Bryan, Bryan tersenyum manis padanya. Nisa tidak mau membalas dan memilih membuang pandangannya ke arah lain. Bryan hanya bisa menghela napas dan menurunkan bahu karena kecewa.
Sampai di pesawat, Nisa tidak melepaskan Arya duduk di tempat lain. Dengan terpaksa akhirnya Bryan harus duduk bersama Juan sementara Nisa duduk bersama Arya. Nisa juga bisa beristirahat dengan tenang karena tidak ada yang mengganggunya tak sama seperti saat berangkat. Sampai pesawat itu tiba di Jakarta, Nisa tidak mau dekat-dekat dengan Bryan.
"Snowflakes..." panggil Bryan dengan nada lembut ketika di lobi bandara. Tapi Nisa tak mau menjawab dan meninggalkan Bryan begitu saja. Mulut Bryan sampai terbuka karena Nisa tak kunjung mau bicara dengannya. Sedangkan Arya hanya melirik saja dan ikut-ikutan mencueki Bryan.
Nisa akhirnya pulang diantar oleh salah satu mobil Bryan sementara Arya pun pulang dengan mobil terpisah. Tinggallah Bryan di pintu keluar sendirian dengan mobilnya. Ia hanya bisa menarik napas dan masuk ke salah satu mobil SUV yang menjemputnya dan pulang. Besok saja Bryan berencana akan menyelesaikan semuanya.
Senin pagi Nisa masuk seperti biasa ke ruangan Bryan. Sementara oleh Karl, Juan diperintahkan terus menempel pada Bryan sehingga sekarang ia bahkan berada dalam kantor Bryan dan hanya sesekali keluar untuk minum kopi sambil menempatkan dua orang di pintu masuk ruangannya. Setelah selesai Nisa membacakan jadwal Bryan hari ini, Bryan pun hanya diam belum bicara hingga Nisa akhirnya meminta ijin kembali ke ruangannya.
"Tunggu, kamu disini dulu. Juan, aku ingin bicara secara pribadi dengan Nisa sebentar," ujar Bryan kemudian diberi anggukan oleh Juan. Setelah Juan keluar dan Nisa masih berdiri di depan Bryan dengan wajah datar tanpa senyuman sama sekali.
"Kamu masih marah sama Kakak?" tanya Bryan pelan masih duduk dan bersandar pada kursinya.
"Gak!" jawab Nisa ketus dan singkat.
"Lalu kenapa kamu mendiamkan Kakak, Snowflakes?"
"Nisa gak mendiamkan, Nisa baru saja membaca jadwal Kakak." Bryan menghela napas berat dan membuang pandangan ke arah lain sesaat. Ia kemudian memandang Nisa lagi berharap gadis itu akan memaafkannya.
"Apa yang harus Kakak lakukan supaya kamu gak marah lagi?"
"Gak ada, kita tidak punya urusan lain selain soal pekerjaan. Jadi Nisa gak berhak marah sama Kakak, Nisa permisi!" Nisa langsung berbalik hendak meninggalkan ruangan Bryan.
"Siapa yang kasih ijin kamu keluar!" sahut Bryan cepat setengah mernghardik pada Nisa. Nisa berhenti berjalan dan tak berbalik lagi. Ia menahan kekesalan dari raut wajahnya. Melihat Nisa bahkan tak mau kembali berbalik, Bryan terpaksa memakai mode bos nya untuk memberi perintah.
"Berbalik kemari Snowflakes, lihat Kakak!" Nisa pun berbalik, wajahnya masih sama tanpa ekspresi. Bryan beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke depan Nisa. Awalnya ia berjalan dengan sikap dingin tapi begitu berada di depan Nisa, sikap memelasnya muncul.
"Maafin Kakak, jangan marah lagi Snowflakes," ujar Bryan dengan suara rendah sambil memiringkan kepalanya melihat mata Nisa. Namun Nisa masih memasang wajah yang sama.
"Nisa gak marah. Tolong jangan campurkan urusan pribadi sama pekerjaan, dan jangan ganggu Nisa jika bukan urusan kantor, permisi!" Nisa langsung berbalik dan keluar. Bryan hanya bisa menggeleng dan memijat keningnya. Ia kemudian mengambil botol minum air mineral di atas meja dan meminumnya sampai habis satu botol sekaligus.
Jika perempuan lain yang marah dan ngambek begitu pada Bryan maka ia akan langsung meninggalkannya, tapi Nisa membuat Bryan haus dan tidak berkutik. Juan kemudian masuk kembali setelah Nisa keluar dari ruangan. Bryan pun menghampiri Juan sebelum ia duduk di sofa lagi.
"Mana Uncle Darren?" tanya Bryan ketus sambil memasukkan kedua tangan di saku celananya
"Seharusnya dia tiba sore ini, Pak!" jawab Juan.
"Bagus, katakan padanya jika aku ingin bertemu dengannya dan Daddy malam ini!" balas Bryan langsung berbalik kemudian.
"Baik Pak!" jawab Juan yang kemudian mengambil telpon dan menghubungi seseorang.
Setelah pukul 6 sore, Bryan tiba di rumah kediaman Alexander. Dan Alisha yang melihat langsung datang memeluk adiknya.
"My baby, I miss you!" ujar Alisha sambil memeluk Bryan.
"I miss you too, Alisha," balas Bryan mencium kening kakaknya.
"Kamu kok keliatan lesu. Kecapean ya? kayak sedang stres," sahut Alisha merangkul Bryan bersamanya. Bryan jadi mendengus kesal, Kakaknya sangat tau keadaannya dari hanay melihat saja.
"Alisha berhenti membacaku, kamu selalu lebih tau aku daripada diriku sendiri." Alisha menyengir.
"Tell me Baby, kenapa kamu stress?" Bryan menarik napas panjang.
"Gak ada cuma urusan kantor. Pekerjaan numpuk!" Alisha menaikkan alisnya ia tau adiknya berbohong. Ia kemudian menarik Bryan dan mengajaknya duduk di salah satu sofa panjang. Alisha lalu duduk di sebelahnya, melipat kaki dan siap mendengarkan Bryan.
"Kamu tau kan kamu bisa percaya sama Alisha, cerita Sayang!" pinta Alisha sekali lagi. Bryan masih belum mau buka mulut, ia malah menundukkan kepala.
"Masalah cinta ya?" mata Bryan melebar, bagaimana Alisha menebak setepat itu? Alisha hanya membalas dengan tersenyum.
"Apa yang udah kamu lakuin, Bryan?" tanya Alisha lagi.
"Bryan buat dia marah, jadi sekarang dia gak mau memaafkan Bryan," ujar Bryan sambil memajukan bibirnya. Wajah bayinya terlihat sangat lucu. Alisha jadi gemas.
"Oh my poor Baby. Dengar ya, Bry. Cewek itu kalau ngambek harus sabar, senangkan hatinya biar dia cepat memaafkan kamu!"
"Caranya?"
"Kasih dia bunga, coklat atau semua yang dia suka sambil terus berusaha menjelaskan kesalahpahaman," jawab Alisha sambil membelai rambut Bryan lembut. Senyum Bryan mulai mengembang, sekarang ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk Nisa esok hari.
"Thanks Alisha, kamu adalah Kakak terhebat yang aku punya dalam hidupku," ujar Bryan sambil memeluk dan mencium pipi Kakaknya.
"Good luck!" balas Alisha lagi.
"Kamu gak nanya, siapa orangnya?"
"Kalau Alisha bilang, kamu marah gak?" Bryan menggeleng
"Apa dia... Deanisa?".