Arya menarik napas panjang sebelum bicara lagi. Ini akan jadi berat untuknya menjelaskan karena sepertinya Dira akan sangat sulit diberi pengertian.
"Listen to me, aku minta maaf atas yang terjadi malam itu diantara kita. Itu salahku harusnya aku gak membiarkan hal itu terjadi. Aku benar benar minta maaf, aku gak bermaksud menyakiti kamu," ujar Arya berbalik menatap Dira.
"Tapi kamu sudah melakukannya Arya, dan kamu menyakitiku dengan membuangku setelah kita bercinta," sahut Dira. Arya jadi makin sulit menjelaskan pada Dira.
"Itu bukan bercinta, Dira. Itu hanya hubungan seks biasa!" Dira terdiam dan wajahnya mulai tak suka.
"No, I don't mean that way. Aku gak seharusnya tidur sama kamu. Itu sangat salah, aku tau dan aku minta maaf. Tapi aku gak bisa menerima perasaan kamu."
"Kenapa?" Arya terdiam sesaat sedang menimbang apa dia harus memberi tau Dira tentang perasaannya.
"Aku menyukai orang lain, dan aku sudah lama gak mencintai kamu lagi," ujar Arya membuat airmata menggenang pada pelupuk mata Dira.
"Dan perempuan itu bisa bikin kamu menghapus aku dari hati kamu?" Arya tidak tau harus menjawab apa.
"Sebenarnya sebelum dia datang, kamu sudah lama pergi dari hatiku, Dira."
"Apa maksud kamu?"
"Kamu ingat sewaktu kamu bilang ke aku, jika orang sepertiku tidak akan pernah bisa dicintai sama orang seperti kamu? Saat itu rasa cintaku mulai perlahan hilang untuk kamu. Aku... sudah jauh berubah Dira, aku bukan Arya yang dulu." Arya menggelengkan kepalanya dan mulai membuang pandangan ke arah lain.
"Jadi kamu belum mau memafkan aku?"
"Aku sudah memafkan kamu jauh sebelum kamu minta, tapi aku gak bisa kembali seperti 12 tahun yang lalu, yang memuja kamu atau yang mencintai kamu sepenuh hati. Aku benar-benar minta maaf. Aku sudah tidak memikirkan kamu lagi." Arya menegaskan lagi dan langsung bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan ke mobil.
Ia perlu menenangkan diri. Arya tau ia sudah melukai perasaan Dira tapi ia tidak punya pilihan. Arya tidak ingin Dira mengharapkan seseorang yang sudah melepaskan perasaan padanya. Dihati Arya saat ini hanya ada Emily. Mungkin saja saat ini ia mulai jatuh cinta pada Emily. Jika pun memang iya, itu lebih baik, Arya pasti akan lebih memilih Emily.
HARI KEDUA
Bryan mulai sering mengobrol dengan Lian. Dan Nisa hanya bisa melihat saja. Ia merasa mulai 'ditinggal' oleh Bryan. Lian bahkan bisa menantang Bryan bermain catur dan mereka menghabiskan waktu hampir setengah hari berdebat dan bercanda soal permainan itu.
Juan agak sibuk hari ini karena ia harus memberi laporan pada Darren mengenai perkembangan pengamanan Bryan. Sedangkan Arya masih bertemu dengan beberapa pihak untuk menyelesaikan tanggung jawab pekerjaannya. Jadi tinggallah Nisa bosan sendirian. Tidak ada yang mengajaknya bicara. Ia mulai merindukan Bryan dan keusilannya.
"Menurut lo mereka cocok gak?" tanya Dira tiba tiba duduk di sebelah Nisa. Nisa langsung memperbaiki posisi duduk dan menoleh pada Dira. Nisa tidak menjawab dan hanya menunduk pada akhirnya.
"Kalo gue sih mikirnya mereka tu cocok, satunya ganteng satunya cantik dan yang paling penting dua-duanya temen gue!" Nisa masih diam.
"Eh sori, lo gak masalah kan gue ajak ngobrol?" tanya Dira sambil melipat kakinya dan meminum cocktail sambil melihat ke arah Bryan dan Lian yang masih asik bercanda.
"Gue tau lo siapa Nisa. Lo anak tirinya om Hans adik tirinya Bryan, tapi kenapa lo mau jadi asistennya Bryan?" tanya Dira melihat pada Nisa.
"Papa Hans yang minta," jawab Nisa akhirnya. Ia merasa hatinya mulai sakit.
"Oh, gue pikir kenapa!" sahut Dira sedikit terkekeh. Sebenarnya apa maksud Dira menanyakan hal seperti itu. Dia seolah ingin mengatakan jika bukan karena permintaan Hans Alexander maka tidak mungkin Nisa bisa bekerja di HG.
"Setahu gue, Bryan itu orangnya perfeksionis banget. Kalo dia milih lo sebagai asisten karena diminta bokapnya gue baru ngerti." Nisa tidak ingin menanggapi pernyataan Dira. Ia sudah sering mendengar jika ia mendapatkan sesuatu itu hanya karena keluarga Alexander bukan karena ia punya kemampuan sendiri.
"Gue pengen liat seberapa lama Bryan bisa mempertahankan lo sebagai asistennya, gue yakin lo gak punya sesuatu yang spesial yang bisa bikin Bryan terus memakai lo sebagai PA. Gue malah lebih setuju kalo Lian aja yang jadi PA-nya Bryan, dia jauh lebih mengerti Bryan," sahut Dira lagi makin menyakiti Nisa. Oh kali ini Dira sudah melewati batas dan Nisa semakin tidak suka dengannya. Nisa mengernyitkan kening dan menoleh pada Dira.
"Mba Dira, Nisa jadi PA atas kehendak papa Hans dan kak Bryan yang menandatangani kontraknya. Jadi kalo Kak Bryan mau memecat Nisa dia punya hak penuh bukan orang lain yang gak ada hubungannya dengan HG!" Nisa menyahut membela harga dirinya pada akhirnya. Dira mendelik pada Nisa ketika ia berani menjawab seperti itu.
"Lo gak usah sombong. Lo cuma orang luar yang masuk ke rumah Bryan. Satu saat sewaktu dia sadar lo gak bisa apa-apa lo akan ditendang dari HG!" jawab Dira dengan nada emosi. Sebenarnya apa masalah Dira pada Nisa. Nisa kemudian memilih beranjak dari duduknya tapi sebelumnya, ia ingin Dira tau apa posisinya.
"Dia punya hak 100 persen untuk memecat Nisa, dan jika dia mau dia sudah melakukannya dari dulu!" jawab Nisa langsung pergi. Ingin rasanya Dira menarik rambut Nisa dan mendorongnya keluar dari hotel itu. Nisa sudah berani menjawabnya, ia merasa Nisa sudah kurang ajar.
Sementara Bryan melihat dari ujung matanya Nisa pergi dengan marah menuju kamarnya. Apa yang terjadi? Matanya lalu melirik gadis di depannya. Lian memainkan alisnya pada Bryan.
'Berhasil!' bibir Lian memberi tanda pada Bryan.
SEBELUM SARAPAN
"Kenapa lo kayak orang kesel Bryan?" tanya Lian sewaktu melihat Bryan hanya memainkan makanannya.
"Jangan ganggu gue!"
"Oho... Ada apaan sih? Kasih tau dong!"
"Buat apa gue kasih tau!"
"Lo jangan kayak cewek PMS deh Bryan!" Bryan melotot pada Lian yang akhirnya menertawai wajah pada Bryan. Bryan yang kesal semapt membuang mukanya lalu menatap Berlian lagi.
"Lo kan cewek, Lian. Gimana caranya lo tau kalau ada yang suka sama lo atau gak?" Berlian memicingkan matanya menatap Bryan.
"Lo naksir siapa, jangan bilang Dira?" Bryan spontan berdecak.
"Oh hell no!" mata Lian langsung membesar lalu kemudian dia cemberut. Tapi kemudian ia menggeleng. Bryan hanya memandanginya bingung
"Kalo lo mau tau dia punya perasaan atau gak ke elo, lo harus bikin dia cemburu!" ujar Lian mengancungkan garpu ke Bryan.
"Haa... maksudnya?" Bryan melipat tangan dan mengernyitkan kening. Lian tersenyum licik.
"Kalo lo mau tau, lo ikut permainan gue!" Lian tersenyum licik dan menakutkan sambil mengedipkan matanya.
JAM MAKAN MALAM
Dira masih berusaha menarik perhatian Arya. Dia bahkan memakai pakaian yang jauh lebih terbuka dari sebelumnya. Beberapa orang tamu pria yang lewat bahkan berani terang-terangan memandang Dira nakal dan itu membuat Arya tidak nyaman.
Bukan karena ia punya perasaan pada Dira tapi karena ia mengingat orang tua Dira yang ia hormati pernah memberi pesan agar menjaga Dira. Arya mengambil sebuah syal dan meletakkannya di paha Dira yang sangat terbuka. Dira yang mendapat perlakukan seperti itu merasa Arya mulai memperhatikannya. Sementara Bryan sedang mencari cara untuk bisa mengobrol dengan Nisa.
"Snowflakes, kamu mau makan apa? Sini Kakak ambilkan!"
"Gak usah Kak, Nisa sudah pesan makanan," jawabnya dengan Bryan masih duduk di sebelahnya.
"Kamu ngapain hari in?, kakak jarang liat kamu keluar?" tanya Bryan. Tentu saja ia terlalu sibuk dengan Lian hingga tidak tau jika Nisa bahkan sudah mengunjungi pasar lokal sendirian.
"Nisa gak kemana-mana" ujar Nisa berbohong. Pesanan makanan Nisa datang dan dia hanya makan salad dengan jus buah.
"Kamu hanya makan itu?" Nisa mengangguk
"Snowflakes, kamu harus makan lebih banyak, tubuh kamu kelihatan lebih kurus sekarang," ujar Bryan dengan wajah penuh perhatian. Nisa tertegun sejenak pada perhatian Bryan. Ia memang sedikit merindukan perhatian Bryan padanya. Sedikit? Apakah hanya sedikit?
"Nisa pesankan makanan buat Kakak ya?" tanya Nisa dan Bryan mengangguk. Bryan pun memberi tahu Nisa apa yang ia inginkan untuk makan malam.