Sudah hampir 1 semester aku berkuliah di kampus baruku. Seharusnya aku kini telah memasuki semester 3 seperti teman-temanku yang lainnya, tetapi karena aku berhenti kuliah di tengah jalan dan mengulang kuliah kembali, jadi aku harus kembali mengulang menjalani semester 1 ku ini.
Aku merasa begitu lebih senang dan menikmati kehidupanku yang sekarang ini karena aku dapat melakukan apa yang aku sukai. Menjadi diriku sendiri, bukan menjadi orang lain.
Hubunganku dengan Randi sekarang tidak cukup baik. Aku sudah tidak pernah bertukar kabar lagi dengannya. Namun bukan berarti aku juga tidak meperhatikan dia begitu saja. Aku tetap memiliki kontak whatsappnya, aku tetap melihat story whatsapp dan instagramnya. Jadi aku tetap mengetahui cukup banyak hal tentang Randi. Walaupun memang sekarang ini aku tidak begitu dekat lagi dengan Randi. Ketemu juga sudah tidak pernah lagi. Apalagi untuk jalan bersama.
Terakhir kali waktu itu aku jalan bersama Randi ke taman yang berada dekat dari rumahku. Kami berdua pada saat itu ingin jogging bersama. Randi yang pada waktu itu datang ke rumahku untuk menjemputku dan pergi ke taman tersebut dengan sepeda motornya.
Sesampainya di taman, kami berdua langsung melakukan pemanasan dan berlari-lari kecil mengelilingi taman tersebut.
"Tu wa ga pat ma nem juh pan lan luh."
"Lu ngitung apaan si? Kaya main petak umpet aja," ucap Randi yang menegorku karena aku berhitung dengan cukup cepat. Karena sebenarnya memang aku tidak begitu suka dengan olahraga. Namun karena olahraga kali ini bersama Randi, aku tiba-tiba saja ingin berolahraga.
"Ya udah sekarang langsung lari kelilingin taman ini aja Ki."
"Engap gua kalo lari."
"Pelan-pelan aja dulu, santai. Ayo."
Baru satu putaran, perutku terasa sangat mual. Nafasku juga tidak beraturan. Randi yang melihat ekspresiku yang kecapean langsung membalikan badannya sambil berlari kecil di hadapanku dan dia kini berlali dengan cara mundur.
"Ayo lah, semangat."
Kemudian dia tersenyum, dan memberikan tangannya kepadaku.
Bukannya meraihnya, justru aku menutupi seluruh wajahku dengan telapak tanganku. Aku merasa malu. Karena di taman banyak sekali orang yang sedang berolahraga justru sekarang fokus mereka beralih untuk melihat kami berdua.
"Kenapa?" Tanya Randi.
"Malu. Di liatin banyak orang tuh."
"Biarin aja. Mereka iri, ga bisa dekat sama cowok kaya gua, beruntung lu, haha."
"Idih, pede banget."
Aku tetap tidak meraih tangannya. Sampai pada akhirnya aku merasa sudah tidak kuat lagi untuk berlari, dan aku memutuskan untuk memberhentikan olahraga lari kaki ini dengan menarik kaos Randi dari belakang.
"Apaan si Ki, main tarik-tarik aja."
"Cape gua."
"Olahraga apaan lu kaya gitu doang, haha. Ya udah, masuk ke tamannya aja, kita istirahat."
"Randi... Loh, kemana dia? Tadi suruh gua masuk ke taman. Sekarang dia nya ngilang."
"Nih."
Tiba-tiba terdapat uluran tangan yang sedang menggenggam sebotol minuman dingin dari arah belakang tubuhku.
"Gua cariin juga. Eh gua laper dah Ran."
"Habis olahraga makan, sama aja."
"Kan gua mah ga mau diet, jadi ga apa-apa dong."
"Mau apa emang?"
"Cari aja jajanan sekitar taman, banyak tuh. Naik motor aja tapi ya?"
"Manja banget lu."
"Kaki gua lemas. Abis muter tiga putaran nih."
"Baru juga tiga."
"Eh... Eh..."
Tiba-tiba saja Randi mengendongku ala bridal style.
"Malu Ran..."
"Tadi katanya lemas. Nanti kalo lu pingsan yang repot gua juga."
Aku tidak di gendong sambil mencari makanan oleh Randi. Namun aku di gendong oleh Randi sampai ke parkiran motor saja. Sisanya aku dan Randi mencari jajanan dengan menggunakan sepeda motor miliknya.
"Lu mau apaan?"
"Pingin pempek."
"Dasar cewek, yang ga ada aja di cariin."
Dari sekian banyaknya jajanan di sekitar taman, justru aku menginginkan pempek yang jelas-jelas tidak ada yang menjualnya di sana. Namun entah kenapa lagi dengan Randi, dia selalu menrutiku keinginanku. Randi mengendarai sepeda motornya terus sampai keluar dari daerah taman tersebut untuk mencari pempek. Sampai akhirnya ketemu tukang pempek yang berada di dekat daerah rumah Randi.
"Hahaha."
"Kenapa lu ketawa?"
"Kocak juga ya. Cari tukang pempek sampe ke rumah lu. Jauh..."
"Lu... Maunya aneh-aneh aja."
Pada saat itu kami berdua memesan dua porsi pempek dengan minuman kesukaanku, yaitu capcin.
Hari sudah semakin sore. Matahari juga sudah mulai tenggelam. Tetapi aku masih berada di tempat penjual pempek tersebut bersama Randi.
"Udah mau Maghrib."
"Iya nih, balik yuk."
"Ke rumah gua dulu dah ya?"
"Engga ah. Ngapain? Malu gua nanti ketemu orangtua lu gua ga bawa apa-apa."
"Santai aja si. Macet soalnya. Nanti ga keburu shalat magrib dosa lu."
Tanpa membalas perkataannya, Randi melajukan kendaraan roda duanya untuk ke arah rumahnya. Aku sangat deg-degan sekali. Karena aku sebelumnya belum pernah bertemu dengan orangtua Randi. Bertemu dengan Abang dan kakak iparnya saja waktu itu jantungku terasa mau copot.
"Assalamualaikum," ucap salam Randi dan di ikuti oleh aku..
"Waalaikumsallam. Siapa kamu Ran?"
"Teman Bu."
"Ohh, masuk-masuk."
"Makasih Ibu."
"Belum shalat kan? Shalat dulu yuk. Randi nanti kamu imamnya ya. Ayah belum pulang."
"Oh iya Bu."
"Randi jadi imam?" ucapku di dalam hati dengan berbagai pertanyaan. Baru kali ini aku akan shalat di imami oleh Randi.
"Wudhu dulu yu nak. Oh iya nama kamu siapa?"
"Kia, Bu."
"Oh Kia. Ya udah wudhu dulu yu."
"Iya, Bu."
Setelah semua siap. Kami semua melakukan shalat berjamaah di rumah Randi. Dengan di imami oleh Randi sendiri. Di sini juga ada Ibunya Randi dan kedua adiknya.
Ternyata suara Randi lumayan merdu, dan enak di dengar. Bacaannya juga cukup bagus.
Setelah shalat berjamaah, aku sempat mengobrol sebentar bersama Ibu dan adik perempuannya Randi. Ternyata Ibunya Randi sangat ramah. Adiknya juga cepat sekali akur dengan aku. Padahal kami baru bertemu kali ini.
Sampai pada saatnya aku harus pulang, karena sudah malam juga. Aku pasti akan di tanyai oleh Ibu dan Ayahku. Sebelumnya aku sudah izin bersama Randi kepada Ibu dan Ayahku untuk olahraga bersama, tetapi aku belum sempat mengabarinya lagi jika aku pergi ke rumah Randi. Karena hpku lowbat, dan di rumah Randi aku sudah tidak terpikirkan untuk mengecas hpku. Lagi pula sepertinya Ayah dan Ibuku tidak begitu khawatir jika aku jalan bersama Randi. Karena mereka sudah mempercayai Randi.
Sesampainya di rumahku.
"Lu mampir dulu ga Ran? Ga usah lah ya."
"Jahat banget."
"Hahaha. Mau mampir emang?"
"Engga deh. Udah malam. Besok juga sekolah."
"Ohh, okedeh. Thanks ya."
"Yoi."
Begitulah pertemuan terakhirku bersama Randi sampai akhirnya suatu ketika aku sedang melihat story whatsapp Randi, tiba-tiba aku menemui dia sedang berfoto di sebuah rumah dengan seorang perempuan. Sepertinya aku mengenali rumah tersebut. Rumah itu adalah rumah Randi.
"Itu siapa lu Ran?"
Aku berkomentar di status whatsaapnya itu. Sangat lama sekali dia membalas pesanku. Membutuhkan waktu 4 jam untuk membalasnya.
"Pacar gua dong."
"Hah? Pacar? Teman kerja lu?"
"Bukan, adik kelas gua waktu di SMK. Yang pernah gua ceritain."
"Si Eka bukan si?"
"Iya."
Randi memang pernah bercerita kepadaku tentang seorang wanita yang bernama Eka. Eka adalah adik kelas Randi di SMK nya. Dia sangat menyuki Randi, sama seperti Elina yang sangat menyukai Randi. Eka sering kepoin seluruh sosial media Randi dan mengirim pesan singkat kepadanya. Walaupun Randi jarang sekali membalasnya, atau hanya di balas dengan sangat singkat, tetapi tetap saja dia terus berusaha untuk mendekati Randi dengan berbagai macam cara.
Dia permah bertanya kepada ransi ada hubungan apa aku dengan Randi. Dia terus bertanya kepada Randi, dan Randi menjawab hanya teman biasa saja. Eka bahkan juga pernah bertanya kepadaku melalui dm di instagram, dan aku juga menjawabnya hanya sekedar teman. Eka selalu saja kepoin Randi dan aku.
Yang aku tahu Randi tidak suka dengan Eka. Bahkan merasa sangat risih jika ada Eka. Namun kini dia telah berpacaran dengan Eka. Namanya hati manusia memang tidak ada yang tahu. Bisa berbulak balik begitu saja.
"Bukannya lu ga suka sama dia ya?"
"Berubah pikiran, wkwk."
"Dasar cowok, gampang banget pikirannya berubah."
"Bukan begitu ki."
"Terus gimana?"
"Kalau kita ga bisa mendapatkan seseorang yang kita perjuangi, seengganya kita mendapatkan orang yang berjuang untuk kita. Kaya gua sekarang. Gua ga bisa dapetin Caca, orang yang selalu gua perjuangin, tapi gua bisa dapetin Eka yang udah berjuang buat gua."
"Kenapa ga sama Elina? Kan dia juga berjuang buat lu."
"Kenapa juga lu ga sama gua? Kan lu tau perjuangan gua ke lu kaya gimana," ucapku hanya di dalam hati.
"Elina mah beda."
"Beda apanya?"
"Dia ga berjuang secara langsung. Ketemu gua aja dia nunduk. Kalo Eka kan jelas."
"Ohh gitu?"
"Iya lah."
Sebenarnya ucapan Randi ada benarnya juga. Buat apa kita memperjuangkan seseorang yang tidak berjuang juga untuk kita. Ucapan Randi barusan juga seperti menampar diriku sendiri untuk sadar jika Randi tidak memperjuangkan aku. Maka untuk apa aku memperjuangkannya.
Tetapi apakah aku akan seperti Randi juga? Aku juga akan mendapatkan lelaki yang memperjuangkan aku setelah aku tidak mendapatkan lelaki yang telah aku perjuangkan selama ini? Namun kenyataannya aku tidak pernah bertemu dengan lelaki yang memperjuangkanku. Aku selalu berjuang sendiri, dan berakhir menyakitkan.
"Lu sama Ihsan gimana? Emang dia udah nikah beneran ya?"
"Iya udah."
"Kuat lu dateng ke acara nikahan dia? Wkwk."
"Ga mau gua awalnya. Eh di paksa sama teman-teman gua."
"Iya lah. Ga boleh gitu. Nanti nikahan gua sama Caca lu juga dateng ya, haha."
"Lah Caca, cewek lu Eka. Inget tuh."
"Hahaha, dua kan boleh."
"Dasar cowok, otak poligami."
"Hahaha."
Sepertinya walaupun Randi sekarang sudah berpacaran dengan Eka, tetapi hati Randi tetap untuk Caca. Namun aku tidak bisa memastikan hal itu. Yang tahu hatinya hanya dirinya sendiri, Randi.
Semenjak aku mengetahui jika Randi sudah memiliki kekasih, yaitu Eka. Aku sudah tidak pernah kontakan lagi dengannya. Bahkan untuk mengetahui kabarnya melalui status-statusnya saja sudah tidak aku pedulikan lagi. Selalu aku abaikan begitu saja dan aku tidak mau untuk melihatnya. Sekarang aku hanya berharap, semoga aku bisa lulus kuliah dengan tepat waktu dan dengan IPK yang bagus, serta memperbaiki diri untuk memantaskan diriku kepada jodohku nanti. Karena pada sejatinya, jodoh itu adalah cerminan diri kita sendiri. Dan aku yakin jodoh akan datang di waktu yang tepat.
-TBC-