*****
Ujian demi ujian sebentar lagi kami akan lewati. Masalah aku, Ihsan, dan Riska pun sudah berakhir. Aku dan Riska kembali seperti biasa. Bersahabat. Walaupun sebenarnya aku masih memiliki rasa ingin bisa bersama dengan Ihsan, dan terdapat rasa iri sedikit terhadap Riska yang sudah berhasil mendapatkan hati Ihsan dengan mudahnya.
Aku tahu, Riska memang lebih cantik dariku, lebih pintar, bahkan dia juga adalah seorang ketua OSIS yang menjabat dua periode berturut-turut. Aku? Tidak pantas untuk dibandingkan dengan Riska.
Belajar bersama setiap pulang sekolah menjadi salah satu kebiasaan kami berempat. Di mana lagi kalau bukan di rumahku. Di tambah setiap hari Sabtu kami akan mengikuti PM (Pendalaman Materi) di sekolah mulai dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang. Semua itu di lakukan hingga kami selesesai melewati Ujian Nasional nanti.
Walaupun berbagai cara belajar telah di lakukan oleh pihak sekolah, tetap ada saja di antara kami yang melakukan kecurangan dengan cara mencontek atau menulis kunci jawaban. Ada yang menulisnya di kertas lalu kemudian di taruh di dalam kaos kaki, sepatu. Bahkan ada yang menulis kunci jawaban di atas paha mereka sendiri. Namun aku tidak melakukan kecurangan tersebut. Aku lebih memilih untuk mengerjakan semua soal dengan jujur. Hasilnya bagaimana itu urusan belakangan. Yang terpenting aku sudah berusaha dengan semaksimal mungkin untuk mengerjakan semua soal tersebut sendiri.
*****
Ujian demi ujian telah kami lewati. Pengumuman kelulusan akan kami dengarkan bersamaan dengan acara wisuda. Yap, pengumuman kali ini berbarengan dengan acara wisuda. Aku juga tidak tahu kenapa kebijakan dari sekolah seperti itu. Mungkin untuk berjaga-jaga supaya tidak ada yang melakukan aksi coret-coretan dan hal lainnya yang dapat merugikan diri sendiri.
Hari yang di nanti-nanti telah tiba. Kami akan mendendengarkan pengumuman kelulusan dan melaksanakan wisuda secara berbarengan di sebuah gedung yang telah di sewa oleh pihak sekolah. Semua datang bersama kedua orangtua.
Pengumuman di bacakan langsung oleh kepala sekolah SMPN 09 Jakarta. Hasilnya adalah seluruh murid SMPN 09 Jakarta lulus 100% tanpa ada yang tertinggal. Tangis haru dan bahagia telah kami rasakan karena kami bisa lulus dan akan melanjutkan ke pendidikan selanjutnya yang lebih tinggi.
Acara tersebut berlangsung dari pagi hingga sore hari. Berakhir pada pukul 3 sore, dan kemudian kami di perbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing. Sebelum pulang kami semua berfoto terlebih dahulu di depan gedung tersebut bersama kedua orangtua, teman, ataupun kekasihnya. Dengam tujuan untuk mengabadikan moment yang di laksanakan sekali seumur hidup selama masa sekolah menengan pertama ini.
"Ihsan."
"Iya, kenapa Ki?"
"Gua boleh minta foto ga sama lu?"
"Boleh dong. Boleh banget. Ari, tolong fotoin gua sana Kia ya."
Aril, teman dekat Ihsan pun mengambil gambar kami berdua. Tangan kanan Ihsan tiba-tiba melingkar sempurna di pinggangku. Namun aku hanya bisa bergaya kaku karena malu sekaligus kaget mendapatkan perilaku tersebut dari Ihsan.
"Semangat ya Ki, lanjut sekolahnya."
"I.. Iya. Semangat juga San."
Setelah itu aku pergi meninggalkan Ihsan dan menuju ke sebuah mobil, mobil Ayahku untuk pulang ke rumah.
*****
Kini aku dan ketiga sahabatku berpisah. Semuanya terpencar. Tidak ada yang satu sekolah lagi. Aku sedang mencoba masuk di SMAN 21 Jakarta dengan jurusan MIPA/IPA. Karena aku ingin sekali menjadi seorang dokter, dan jurusan tersebut tepat menurutku.
"Ihsan?"
"Eh, Kia."
"Lu ikut tes di sekolah ini juga?"
"Iya. Lu ternyata ikut tes di sini juga?"
"Iya nih, wah ga nyangka. Kayanya kita bakalan satu sekolah lagi nih, haha."
"Haha, iya nih."
"Lu pilih jurusan apa Ki?"
"IPA. Lu San?"
"Gua agama."
"Oh gitu, semoga lolos deh ya."
"Aamiin. Semoga lu juga lolos."
"Aamiim."
Aku juga ternyata satu ruangan ujian dengan Ihsan. Justru sampingan, karena nomor ujian kami berdua hanya berbeda satu angka.
"Kia lagi, bosen gua, haha."
"Yeh, gua juga bosen sama lu, haha."
"Aduh, yang ada gua ga konsen ini ujiannya kalo duduk sampingan sama Ihsan," ucapku di dalam hati.
Ujian berlangsung selama 2 jam. Di mulai dari pukul 09.00 hingga pukul 11.00 siang. Soal ujian pun menurutku tidak begitu susah.
"Soalnya ga susah-susah banget ya Ki?"
Ternyata Ihsan pun mengakuinya jika soal tersebut memang tidak begitu susah.
"Iya. Lumayan lah."
"Lu pulang sama siapa?"
"Di jemput."
"Udah bilang kalo lu udah pulang?"
"Belum."
"Ya udah sama gua aja yu."
"Ga usah, repot-repot aja."
"Engga apa-apa kok. Yu, kabarin aja ke orangtua lu, kalo lu pulang sama gua. Takutnya mereka nyariin. Sebelum mereka sampai di sini juga."
"Seriusn ga ngerepotin nih?"
"Engg kok, santai aja. Yu."
"Iya udah deh."
Kami berdua akhirnya segera melangkahkan kaki menuju ke parkiran sekolah yang berada di lapangan bawah. Lapangan di sekolah ini memiliki dua lapangan. Yang satu berada di atas berfungsi untuk seluruh murid melakukan kegiatan olahraga, dan yang satunya lagi berada di bawah untuk memarkirkan kendaraan murid dan juga pengurus sekolah yang lainnya.
Ihsan menyalahkan motornya, dan aku menaiki motornya tepat di belakang Ihsan. Ihsan mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu pelan juga. Namun hanya membutuhkan waktu 10 menit aku sampai di rumah. Karena rumahku dengan sekolah tidak begitu jauh.
"Mampir dulu San?"
"Ga usah Ki, makasih. Gua langsung balik aja ya."
"Oh gitu. Ya udah, makasih ya."
"Sama-sama. Assalamualikum Ki."
"Waalaikumsallam."
"Apa bisa gua satu sekolah lagi sama Ihsan?"
"Ran, ternyata Ihsan ikutan tes di sekolah yang sama tau sama gua."
"Gua juga tadinya di suruh Ibu gua di situ. Tapi gua ga mau, gua mau sekolah di SMK aja, deket rumah gua. Males juga gua nanti satu sekolaha sama lu, wkwk."
"Bagus lah. Pusing gua juga yang ada kalo ada lu. Wkwwk."
Padahal yang aku pikirkan adalah, bagaimana jika Randi berada di satu sekolah yang sama dengan Ihsan juga? Untung saja kenyataannya tidak seperti itu.
*****
Ternyata sahabatku yang lainnya ada juga yang bersekolah di SMAN dan ada yang di SMKN ternama di Jakarta. Semenjak hari kelulusan itu kami berempat sudah jarang bertemu lagi. Terakhir kali kami bertemu di acara wisuda pelepasan kelas 9 SMPN 09 Jakarta. Setelah itu kami hanya bertukar kabar melalui pesan singkat saja.
Ternyata aku lolos ri SMAN 21 Jakarta. Kini saatnya aku melakukan daftar ulang di sekolahku yang baru. Yang aku tahu, bahwa Ihsan juga lulus di SMAN 21 Jakarta. Namun aku tidak melihat tanda-tanda kehadirannya.
"San, lu ga daftar ulang? Dikit lagi tutup loh waktunya."
"Ga jadi gua Ki sekolah di situ."
"Loh, bukannya lu lulus ya?"
"Iya. Tapi Umi (Ibu) gua tetap kekeh supaya gua sekolah di pesantren."
"Pesantren? Pesantren dimana?"
"Di Sukabumi."
"Oh gitu. Ya udah lu turutin aja apa kata Ibu lu. Insyaallah berkah San."
"Iya Ki, aamiin. Makasih Ki."
"Sama-sama. Jangan sombong-sombong lu, wkwk."
"Haha iya. Saling tukar kabar aja kita."
Akhirnya Ihsan membatalkan sekolahnya yang sama denganku, di Jakarta. Karena Umi atau Ibunya sangat kekeh sekali supaya Ihsan bisa bersekolah di pesantren yang berada ei Sukabumi. Wajar saja Ibunya menyuruhnya masuk di pesantren, karena kakak-kakak Ihsan terdahulu juga bersekolah di pesantren, bahkan semenja sekolah menengah pertamanya. Anak yang sangat penurut dan berbakti kepada kedua orangtuanya. Rasanya aku semakin mengaguminya.
Aku dan sahabatku yang lainnya mulai terpisah jarak dan waktu, tetapi aku justru semakin dekat dengan laki-laki yang bernama Randi. Aku dan Randi semakin sering chatan. Tidak ada hari yang tertinggal untuk bisa chatan dengannya. Pagi, siang, sore, malam. Walaupun hanya membahas hal-hal konyol, tetapi dia selalu berhasil menghiburku jika aku sedang merasa sedih. Bersamanya, hari-hariku terasa berwarna.
Walaupun aku dan Randi tidak satu sekolah, tetapi tidak membuat kami bedua semakin jauh. Justru semakin dekat. Dia yang semakin sering ke rumahku, atau sesekali kita main ke luar bersama. Entah itu untuk jogging sore, menonton film di bioskop bersama, atau hanya makan di luar bersama. Aku dengannya lebih sering menghabiskan waktu berdua dengan menonton film di bioskop yang berada di mall favorite kami berdua. Mall yang terletak tidak jauh dari rumah kami.
Sepertinya aku harus berhenti untuk bersama Randi. Karena ini... Berbahaya!! Aku tidak ingin kejadianku dengan Riska terulang kembali, dan kali ini dengan Elina.
-TBC-