Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

BUANA BINAR

ShaguftaDrias
--
chs / week
--
NOT RATINGS
9.2k
Views
Synopsis
Secangkir kopi hitam pahit mempertemukan Binar, seorang seniman tattoo yang menjual hidupnya pada geng mafia kejam, dan Buana, pemuda barista dengan sekelumit rahasia tak terduga. Keduanya adalah perwujudan dari Yin dan Yang, hidup di dunia yang sungguh-sungguh berbeda dengan setitik persamaan, yaitu kopi dan musik rock. Binar itu manusia tersesat yang butuh pelepasan sesaat, sementara Buana adalah manusia rusak yang menukar tangis dan tawa melawak. Jika mereka dipertemukan, akankah mereka saling memahami dan memperbaiki? Atau malah saling seret ke jurang kerusakan? *** "Aku sering bertanya-tanya, apa jadinya kalau aku memutus semua rantai yang membelenggu hidupku ini." Buana menerawang jauh. "Aku akan lari, jauh meninggalkan Yogyakarta. Aku hendak mencicipi cafe au lait di Paris! Mungkin juga secangkir kecil kopi ogaswara di pelosok Jepang. Kamu ikut aku ya, Binar?" Binar mengangguk. "Tentu! Aku juga ingin bebas seperti burung yang mengejar angin."
VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog

Orang-orang di komplek mengenalinya sebagai 'Bara anak Pak Jun'. Mereka memperlakukan Bara sewajarnya tetangga, sesekali mencemooh kebiasaannya membawa seorang perempuan malam berdandanan menor pada dini hari, saling berbisik-bisik mempertanyakan apa kegiatan Bara sekarang selain kelayapan di kelab-kelab malam, lantas melempar senyum kaku sewaktu Bara berlalu di depan mereka. Terkadang pula, kumpulan ibu-ibu berkasak-kusuk mempertanyakan siapa ibu Bara.

"Anak siapa toh si Bara itu?" mulai Herlina, wanita bersahaja yang menikahi seorang ketua paroki. Biasanya, dis menggawangi segala macam acara gosip.

Dana, wanita jelmaan rubah yang terkenal akan kelicikannya, berkata lirih seperti pendongeng tengah malam. "Dengar-dengar, dia itu anak haramnya Pak Jun dengan adik perempuannya sendiri."

Serentak, para nyonya rumah yag sedang berkerumun di depan teras rumah gedongan milik suami Maryam berseru. "Heh! Anak hasil hubungan incest!"

Sementara itu, Bara, aktor utama perbincangan ini, berjalan santai melewati mereka. Dia menoleh sejenak. Dengan kesopanan khas anak muda Yogyakarta, Bara melempar senyum. "Mari, ibu-ibu."

Herlina, Maryam, dan Dana membalas senyuman Bara. Bibir mereka bergetar ketika berusaha mengulas senyum.

Seseorang, entah siapa, berkata di belakang punggung Bara. "Lihat tuh, gayanya saja perlente gitu! Jas armani, Jeng! Kerjanya Pak Jun memang apa sih?" Ketiga pasang mata itu mengikuti ekor jas Bara yang berkibar seiring dengan langkah kakinya.

"Punya banyak investasi katanya!"

"Pasti orang itu mainnya curang. Coba nanti aku tanya suamiku yang sama-sama pebisnis."

Persetan. Bara tak mau ambil pusing. Perempuan-perempuan bodoh itu hanyalah pemain figuran yang menyanyikan sebait lagu dalam pertunjukan opera, dan menghasilkan uang dengan melelang selangkangan kepada laki-laki bangsawan yang kerap mampir ke ruang ganti baju. Kepala mereka kosong, mudah sekali menuangkan kata-kata manis, janji akan sebidang tanah dan perhiasan, juga harapan untuk dijadikan nyonya ke dalam situ. Namun, diam-diam Bara merajut seulas seringai puas ketika mendengar dirinya dibilang perlente. Bagi Bara, itu adalah pujian. Sejak kecil, Bunda selalu mendandaninya dengan tuksedo necis, kemeja linen, dasi-dasi mewah, dan sepatu pantofel hitam mengkilap ala pengusaha.

Biar mirip Ayah, kata Bunda.

Selagi Bara terus berjalan menyusuri bulevar komplek yang ditumbuhi rerumputan wangi dan bunga-bunga mawar merah merona di pesisirnya, ia mengamati pantulan dirinya di jendela-jendela tinggi rumah tetangga. Sosok pemuda tinggi tegap berjas hitam yang melangkah cepat-cepat seakan-akan diburu waktu tergambar di situ. Rambut Bara yang cokelat kemerahan dipangkas cepak dan disisir ke belakang, menampilkan wajah dewasa berahang tegas dan bertulang pipi tinggi yang tampak aristokrat. Bara sadar, dirinya berpenampilan jauh lebih tua dibandingkan umurnya. Dia jelas cocok menduduki bangku putar berbantalan empuk di belakang meja marmer di sebuah firma hukum terkenal atau berdiri gagah di tengah ruang sidang, dengan garang menebas lidah lawan demi kebebasan kliennya.

'Biar mirip Ayah.'

Benak Bara mengulang-ulang perkataan Bunda, selagi telunjuknya meraba gagang pistol yang tersembunyi di saku jas.

***

Preman-preman senior piaraan ayahnya yang memanggil Bara 'ajudikator' selalu menunjukkan tata krama halus di depannya, memperlakukannya begitu hormat. Memandang matanya terlalu lama saja, mereka tidak berani, takut mata tajam Bara menelisik pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan. Akan tetapi, dua pemuda tengil yang baru belajar menyesap bong di depan Bara sekarang ini diam-diam menjulukinya 'Anak Manja'. Cuma bergaya dengan kekuasaan papa, kata mereka sebelum Bara tiba di sini . Lancang, kata yang tepat untuk menjelaskan bagaimana kedua pemuda punk ini bertingkah di depan Bara.

Daru, anak punk yang bertubuh lebih tinggi dan kurus kering, menggaruk-garuk telinganya yang dibebani beragam tindikan logam. Dia menguap lebar. "Nggak tahu, Bar. Kami kira cewek itu cuma pelacur biasa di rumah bordil," jelasnya santai sewaktu Bara datang. Andai saja Bara si anak manja tidak datang bersama Pakdhe Mus, preman sangar sebesar gunung yang bersedekap di sebelahnya, pasti Daru sudah menghajar Bara. Rasanya akan menyenangkan mencabik-cabik jas mahal anak manja itu.

"Dia juga pasrah-pasrah aja kok waktu kami pake." Jalu yang pendek tetapi bertangan kekar dan panjang seperti kera membela diri. Dagunya terangkat tinggi, hendak menantang. Mulut Bara bergerak-gerak cepat, mencecarkan betapa tololnya mereka. Jalu tergelitik, Bara mengingatkannya pada ibunya yang cerewet. 'Jalu, anak bebal! Kan sudah ibu bilang...'

Mencari ketenangan, Bara menyugar helaian rambut kemerahannya yang ditata klimis. Ekor matanya melirik ke seonggok tumpukan kain kumal di sudut gelap trotoar yang dinaungi dinding dan atap terowongan underpass. Berkat temaram lampu jalanan yang sedikit mengusir kegelapan pekat di sepanjang terowongan yang melubangi jalan ring road utara Yogyakarta ini, Bara bisa melihat sesosok gadis telanjang berkulit sangat pucat terbaring meringkuk, teronggok seperti barang rusak di bawah berlembar-lembar kain di sebekah tong sampah yang berada di tepi jalan. Jika diamati lebih cermat, luka-luka bekas kekerasan terlihat, tercetak jelas di kulitnya yang nyaris translulens. Kulit seputih bihun itu tampak membiru dicap memar-memar. Segaris luka sayat yang masih basah meneteskan darah segar melintang di lengannya.

Bara mual. Rasa asam cairan lambung tercecap di tenggorokannya. Tidak, bukan karena luka-luka mengenaskan di tubuh gadis itu. Sketsa bunga kantil kuncup yang merajahi telapak tangan si gadis lah yang mempelatuk ketakutan dan kecemasan dalam diri Bara.

Bara beralih memandang Daru dan Jalu. Entah sejak kapan mereka kabur dari rumah, meninggalkan para ibu yang tidur dengan bantal basah setiap malam karena merindu pada anak-anaknya. Yang jelas, penampilan mereka sudah kelewat tak terurus: kulit gosong yang terpanggang matahari sepanjang siang selagi mengamen, gigi kuning kehitaman yang mulai membusuk, rambut kusut melewati tengkuk. "Kalian tahu nggak, dia itu siapa?"

Daru dan Jalu membisu. Bibir mereka terkatup rapat seperti dijahit erat.

"Dia ini Sabda Binar, putri Gita Arun, mafia alusan yang mendirikan kerajaan bisnisnya sendiri di bidang pendidikan. Paham kan? Gita Arun menguasai jalur gelap masuk universitas, akademi militer atau kepolisian selama satu dekade terakhir." Bara terus melanjutkan. "Lihat tattoo bunga kantil di telapak tangannya? Itu logo Trah Kantil, jaringan milik Gita Arun."

Bunga kantil di telapak Sabda Binar yang pucat berdenyut-denyut seakan hendak mekar.

Bara melanjutkan. "Gita Arun bersahabat dengan Pak Jun ejak mereka SMA, sempat satu geng di grup lawas Trah Butek. Nggak tahu karena alasan apa, dia menitipkan putrinya ini buat diasuh Pak Jun. Pak Jun menyelundupkannya sementara di rumah bordil."

Intonasi suara Bara merendah, hampir menggeram. "Otak kalian itu dangkal sekali! Apa kalian nggak pernah mikir, Gita Arun bakal bertindak bagaimana kalau sampai tahu kalian memerkosa putrinya?" Bara menyalak galak. "Hubungan bisnisnya dengan kita bisa retak, goblok!" Suaranya menggema. Dinding-dinding terowongan memantulkan suara Bara, menyusulkan paduan suara mistis yang bebarengan menggeramkan kata 'goblok'.

Bara kembali melembut. Sedikit manis, nyaris keibuan. "Selain itu, anak-anak, tahukah kalian siapa yang harus mati di bawah hukum kami? Bukan pemnbunuh, pencuri ataupun pengkhianat, tapi pemerkosa. Kami mengutuk segala bentuk pemerkosaan." Bara mendesis keji. "Iblis berahi tak beradab. Memperlakukan seorang manusia sehina sepotong daging." Ia meludahi tanah. Kata 'pemerkosa' sepahit racun di ujung lidahnya.

Bara maju satu langkah. Bayangan dirinya yang ditorehkan lampu jalan kekuningan di dinding terowongan kian meninggi.

Jalu dan Daru dirundung.

Sekonyong-konyong, Jalu melihat mata Bara yang sepekat langit malam mberkilau seperti batu jet yang baru saja digosok, tersambar kilat kemarahan. Nyali Jalu menciut. Dia salah. Orang yang Pak Jun Esa kirim untuk menangani kenakalan mereka bukan sekedar anak manja yang berlindung di ketiak orangtuanya. Dia adalah Bara Esa sang ajudikator, malaikat maut yang menghakimi dosa penghuni dunia bawah seperti Jalu dan Daru.

Segalanya terjadi begitu cepat. Bara menarik sepucuk pistol Glock 19 dari saku kemejanya, mengacungkannya ke Daru terlebih dahulu. Selang beberapa tarikan napas kemudian, bunyi ledakan terdengar, dan Daru terkapar di sebelah Jalu. Jalu hendak berlari, tapi kakinya seperti dipakukan ke aspal. Saat sebutir timah panas menembus keningnya, tiada rasa sakit yang Jalu rasakan. Maut tidak memberinya waktu lama untuk mencemaskan rasa sakit. Tubuhnya mendingin dan mati rasa, mulai dari ujung kaki hingga leher. Sebelum rambatan kematian menggerayangi lidahnya, Jalu sempat bergumam lirih memanggil ibu.

Telunjuk Bara memanas. Pelatuk yang baru saja ia tarik menyengatkan kehangatan yang menyenangkan, membelai-bulai kulitnya, merasuki setiap sel tubuhnya, dan mendekap hati Bara yang semula gelisah. Ah, Bara mencintai perasaan ini: campuran antara kepuasan, kekuasaan, kebahagiaan. Bara mengangkat kedua tangannya, salah satunya masih menggenggam pistol, lantas memandanginya penuh kekaguman.

Semulia tangan Raja Midas, kuubah raga bernyawa menjadi jasad keras.

"Pak Mus." Bara memanggil Pak Mus, preman dengan rambut panjang dan janggut hitam sepinggang dikepang yang membuatnya terlihat seperti tiruan lokal Khal Drogo. "Tolong beresin mereka." Telunjuknya menunjuk dua jasad berdaeah yang bergelimpangan seperti serdadu mainan di tengah jalan.

Pak Mus, yang menonton tragedi penghakiman dari sebelah mobil, mengangguk singkat. Dia terlatih untuk mengunci mulutnya. Tukang bersih-bersih banyak tanya tidak ditoleransi. Pak Mus patuh layaknya kerbau yang dicucuk hidungnya, tetap berjalan menghampiri kedua mayat sekalipun diam-diam ia bertanya. Siapakah gerangan gadis malang korban kekejian dua anak punk ini sampai-sampai Bara rela membunuh anggota rekrutan baru? Duo Daru-Jalu menyumbangkan cukup banyak pundi-pundi uang dari pengedaran ganja, ampethamine, dan lem aibon ke anak-anak jalanan.

***

Sabda Binar tidak pernah memusuhi kegelapan. Baginya, kegelapan ialah sahabat yang senantiasa menemaninya, merengkuh dirinya ketika ia teraniaya. Dalam pelukan erat kegelapan, jiwa Sabda Binar tidak lagi menggigil, ia merasakan kehangatan yang nyaman. Hantu-hantu dari masa lalu melebur bersama kegelapan, mereka tidak akan pernah menemukan Sabda Binar di baliknya.

Hari ini, entah siang atau malam, Sabda Binar meringkuk di belakang sebelah tong sampah berbau amis. Butir-butir kerikil yang bertebaran di aspal menggesek kulit telanjangnya sampai lecet dan tipis. Sedikit lagi, dagingnya akan langsung bersentuhan dengan bumi. Tubuh Sabda Binar telanjang bulat, tapi ia tak sedikit pun merasa malu. Kegelapan telah memasangkan jubah hitam hangat kepadanya.

Setelah dua pemuda punk bermulut busuk itu mencumbui dan merudapaksa dirinya, Sabda Binar merasa kelelahan. Kegelapan yang terasa akrab menimangnya. Ia ingin sekali menyerahkan diri, lalu terlelap, tetapi sebisa mungkin Sabda Binar tetap terjaga. Sekuat tenaga, ia menjaga kelopak matanya supaya tidak berayun menutup. Ia harus menyaksikan kemenangan kecilnya.

Dari balik bulu matanya yang dibasahi air mata, Sabda Binar menonton aksi ciamik sang ajudikator mencabut nyawa kedua pemerkosanya. Sabda Binar mengenali siapa pribad ajudikator yang terkenal ini, namanya begitu tenar di kalangan dunia bawah. Bara Esa, sang ajudikator bertangan dingin yang tega melemparkan pelanggar peraturan tanpa pandang bulu ke ambang kematian. Baik preman, pengedar narkoba, pemburu nyawa maupun klien akan merasakan bulu-bulu roma di tengkuknya berdiri dan membayangkan kematian bila mendengar nama Bara Esa disebut.

Sosok berjas sang ajudikator menghampiri Sabda Binar berbaring memeluk lutut. Ia berlutut di sampingnya. Samar-samar, Sabda Binar melihat wajah ajudikator ini. Genangan air mata mengaburkan pandangan Sabda Binar, tapi ia dapat dengan jelas menatap sepasang mata hitam sempurna. Sungguh, begitu pekat, tiada warna lain di pupil itu.

"Hiduplah." Suara tegas yang menunjukkan dominasi mutlak itu memerintahkan, bukan meminta. "Sabda Binar."

Sabda Binar patuh, dipejamkannya mata erat-erat.

'Hiduplah. Sabda Binar.'

Selarik kalimat itu ia genggam erat-erat selagi kesadarannya mulai terenggut alam mimpi. Di mata Sabda Binar, Bara adalah malaikat penyelamat.