Chereads / BUANA BINAR / Chapter 2 - Barista Bernama Buana

Chapter 2 - Barista Bernama Buana

Pulang itu mengerikan. Tak peduli apakah ada anjing yang menjilati wajahmu atau tidak, apakah kamu memiliki istri yang menyambutmu dengan resep-resep oma atau hanya entitas berwujud kesepian yang kamu kawini. Buana membencinya, pulang.

Rumah klasik bergaya kolonial yang sudah ditinggali keluarga Buana selama tiga generasi terasa dingin memilukan. Di ruangan-ruangan simetris berdinding tebalnya yang berwarna putih, angin dingin berdesir menyayat tulang. Baik hari masih subuh maupun siang bolong, rumah selalu sunyi dan mencekam. Yang Buana dengar cuma nyanyian lembut Gibson bersaudara dari gramofon antik yang memutar hanya satu piringan hitam dari hari ke hari, juga gelegak air galon yang merisaukan pada tengah malam. Satu-satunya kesemarakan di rumah adalah perbincangan Mami dengan hantu Bapak.

Buana berusia limabelas tahun ketika Bapak diusir dari rumah bersama Mbak Marina, perempuan muda cantik asal Wonosari yang bekerja sebagai pramurukti untuk Mami yang sakit-sakitan. Rumah yang kala itu masih menentramkan mendadak terasa asing. Buana baru saja pulang sekolah. Didapatinya rumah sudah seperti kapal pecah: retak-retak piring keramik yang dibanting bertebaran di teras, satu kursi di ruang makan terjungkir, dan sebatang rotan yang biasa digunakan Bapak untuk memukulinya berguling hingga ke pintu depan. Adik perempuan Buana yang masih begitu belia, berlari memeluknya. Dia menangis.

Oma, nenek Buana dari pihak Mami, menjelaskan semuanya kepada Buana dan adiknya, begitu lugas tanpa sensor. "Ik usir indiren kurang ajar itu. Dia kedapatan sedang mencumbu si pembantu Wonosari." Oma, yang berdarah Belanda-China-Jawa, mendengus kesal. Hidung besarnya kembang kempis menahan emosi. "Mamimu juga bodoh, keterlaluan. Seharusnya sonder dikasih tahu, Lukito itu hidung belang berengsek."

Kesakitan Mami kian bertambah. Nafsu makannya berkurang. Mami mulai memuntahkan bubur ayam yang disuapkan Oma sampai daging dan lemak tubuhnya habis direnggut penyakit dan kesedihan, tersisa tengkorak yang dibalut kulit pucat berbintik-bintik. Kendati ibu kandungnya sendiri sudah tinggal menanti jemputan maut, Buana tidak merasakan kesedihan mendalam. Buana tidak pernah menaruh perasaan yang lebih dalam daripada sekedar kehormatan saja kepada ibunya itu. Namun, ketika suatu hari Mami mendadak bangun meninggalkan kamarnya, lalu memasak untuk mereka sekeluarga, Buana turut meneteskan air mata juga.

Buana, adiknya, dan Oma berkumpul menduduki meja kayu jati di ruang makan yang telah dilapisi debu setebal seperempat senti karena tak pernah digunakan—semenjak Bapak pergi, mereka tidak lagi makan di waktu yang sama—dengan perasaan berdebar. Seakan-akan kembali muda, Mami berdandan cantik. Ia mengenakan terusan berwarna kuning aster ala bintang film Hongkong 90-an, menjepit rambut bergelombangnya ke samping, bahkan ia juga membubuhkan bedak putih ke wajahnya yang tirus. Malam itu, di meja terhidang satu panci besar boerenkoolstamppot, sup belanda berbahan dasar kubis yang direndam dalam saus, mustar, dan sosis bakar, juga beberapa bongkah keju edam. Anehnya, ada lima piring kosong yang tergeletak di meja.

Sembari menyenandungkan sebait lirik pembuka lagu How Deep is Your Love, Mami mengambilkan makanan untuk semua orang. Begitu tiba di piring kelima yang tak bertuan, Mami membungkukkan badannya. Dia mengecup udara kosong seakan-akan ada seseorang yang duduk di kursi kosong itu. "Selamat pulang, Luki. Saya tahu, kamu pasti kembali."

Adik Buana membisu, sementara Buana menggenggam gelas kacanya sampai pecah. Oma mencubit paha Buana. "Biarkan. Dia menemukan kesembuhannya sendiri," kata Oma tegas tanpa melirik telapak tangan Buana yang bersimbah darah. Sepuluh tahun berlalu, acara makan malam janggal itu kini menjadi rutinitas di rumah Buana.

Buana benci pulang. Pintu putih gading dengan celah bergaris-garis itu bagaikan gerbang neraka. Saat ia menyentuh daun pintunya, sengatan kesengsaraan membakar kulit. Ia enggan pulang. Setiap kali dia pulang di jam menjelang petang, yang ia temukan adalah Mami dalam balutan gaun jambon bermodel tumpuk sedang menari di ruang tengah. Lagi-lagi gramofon memutarkan lagu yang sama selama sepuluh tahun terakhir, How Deep is Your Love yang dinyanyikan oleh suara tinggi Bee Gees. Mami tidak berdansa sendirian. Tangannya merengkuh angin dan kakinya bergerak mengikuti bimbingan dansa Bapak yang tak terlihat. Dalam pengelihatan Mami, tentu ada sosok Bapak dari jaman muda yang masih mencintainya sepenuh hati.

Buana jengah. Ia enggan pulang. Andai saja adik perempuannya, Mayang, tidak menahannya, mungkin Buana tidak akan kembali ke rumah itu.

"Mas, aku juga muak di sini," keluh Mayang. "Jangan pergi, Mas. Mayang nggak mau sendirian di sini." Jemari Mayang menggamit siku Buana, ia takut abangnya itu langsung pergi meninggalkan rumah seperti Bapak.

"Ada Oma." Buana mencari-cari alasan.

Jeritan Mami tiba-tiba mencabik keheningan rumah. "Lukito! Lukito! Kamu di mana, Sayang?! Ke mana? Tega kamu ninggal saya!" Sekejap kemudian, terdengar debuman langkah renta Oma yang berat tergopoh-gopoh menghampiri Mami, berjuang menenangkannya.

Mayang cemberut. "Harusnya Mami masuk rumah sakit jiwa saja."

Sambil lalu, Buana menyahut. "Oma nggak bakal kasih ijin." Benaknya sibuk mencari cara supaya bisa meninggalkan rumah beserta tragedinya.

Hingga akhirnya Buana mengenalnya, Luna, gadis barista jelita yang menyuguhkan dunia baru. Perkumpulan anak muda seiman di gereja mempertemukan Buana dan Luna, satu-satunya orang yang mengetahui apa isi benaknya hanya dengan sekali tatap.

"Mata kamu bagus." Dari balik lensa kacamatanya yang dilumuri semu-semu lembayung, Luna menerawang mata Buana. "Hangat dan kental seperti cappucino."

"Cappucino?"

"Iya, kopi cappucino. Kopi kesukaanku."

Luna adalah seorang barista, jelas sekali ia memuja secangkir kopi layaknya kurator yang mengagumi karya seni agung sang maestro. Lewat Luna pula, Buana belajar menikmati rasa pahit kopi yang ternyata menggugah gairah.

Pada suatu sore yang bergelimangkan cahaya kuning lemah matahari di fasad suatu kafe, Luna menyeruput secangkir cappucino kental. Buana terkejut melihat Luna yang lahap meminum kopi pahit tanpa gula, sementara ia masih memangku secangkir susu manis

"Nggak pakai gula?"

Luna menggeleng. Sepasang anting-anting plastik berbandul bintang biru yang menjuntai di telinganya ikut berayun. "Ibarat kehidupan. Seandainya kamu bisa menemukan kenikmatan dalam segelas kopi pahit, artinya kamu sudah bisa berdamai dengan kehidupan. Menerima segala kepahitan hidup."

Seperti senapan yang pelatuknya ditarik, perkataan Buana meluncur selancar sebutir peluru. "Tolong ajari aku, Lun. Untuk mencintai pahitnya kopi."

Sedari hari itu, Buana menemukan pelarian ternikmatnya: Luna, kopi, dan barista. Buana berlindung di balik selubung magisnya itu, sampai akhirnya Tuhan mengirimkan seorang perusuh ulung bernama Sabda Binar yang memporakporandakan hidupnya.